Pengakuan dan jaminan hak-hak konsumen secara legal internasional tidak muncul secara tiba-tiba, namun melalui perjuangan panjang. Presiden legendaris Amerika Serikat, John F Kennedy, di depan Kongres pada 15 Maret 1962, menyatakan konsumen merupakan kelompok terpenting dalam roda perekonomian, tetapi suaranya jarang didengar dalam mengambil keputusan publik. Padahal, dampaknya juga akan dirasakan konsumen.

Pidato itu kemudian menjadi tonggak Hari Hak Konsumen Sedunia. Sang presiden juga mengungkapkan-untuk pertama kalinya-empat hak dasar konsumen, yaitu hak atas keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak atas informasi, dan hak atas tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa konsumen.

Dua puluh tiga tahun kemudian, atas lobi Consumers International (organisasi konsumen sedunia), PBB mengeluarkan deklarasi United Nation (UN) tentang Guidelines for Consumer Protection yang tertuang dalam General Assembely Resolution No 39/248. Secara spesifik, resolusi PBB menambah hak-hak konsumen yang harus dipenuhi serta dijamin negara dan sektor privat, termasuk hak-hak dasar (basic needs) konsumen.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, hak-hak dasar minimum secara teoretis dikonstruksikan sebagai hak atas makanan, pakaian, dan perumahan (kebutuhan primer). Di samping ketiga kebutuhan tersebut, secara absolut, untuk mempertahankan martabat kehidupan, diperlukan hak-hak kesehatan, pendidikan, informasi, kemudahan akses transportasi, dan energi.

Namun, pilihan atas barang dan jasa yang hendak dikonsumsi ternyata tidak sekadar ditentukan kebutuhan individu, tetapi juga mekanisme pasar, kebijakan pemerintah, serta masyarakat internasional. Dengan kondisi itu, posisi konsumen Indonesia semakin rumit karena sesungguhnya dia tidak hanya berinteraksi dengan produsen, namun juga dengan negara dan masyarakat global. Celakanya, posisi dan kedudukan konsumen sangat timpang dibanding kekuatan produsen, negara, dan masyarakat internasional.

Pasar Bebas

Sebagai negara yang dianugerahi sumber daya alam luar biasa serta iklim hujan tropis, Indonesia memiliki potensi industri pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Ini menjadi andalan utama untuk komoditas jangka panjang. Di sisi lain, Indonesia juga merupakan pasar yang sangat prospektif, yaitu jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 230 juta. Dengan kata lain, ada 230 juta lebih konsumen. Ini sungguh sebuah keadaan yang sangat menakjubkan dilihat dari peta pasar.

Dengan prospek yang amat menggiurkan itu, Indonesia ibarat gadis cantik yang memikat para jejaka. Tak heran bila kemudian negeri ini menjadi target pemasaran para produsen dari negara-negara maju yang disokong kebijakan pemerintah.
Sebagai anggota ASEAN, Indonesia telah ikut bersepakat membuka diri dalam kancah perdagangan global dengan ditandatanganinya perdagangan bebas ASEAN dengan China, Australia, dan Korea Selatan. Belum lagi rencana pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) mulai tahun 2020. Jadi, suka tidak suka, Indonesia harus menempatkan diri sebagai pasar yang terbuka.

Terbukanya pintu pasar global itulah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Kekhawatiran itu tentu beralasan jika melihat kondisi makro perekonomian. Produk dan komoditas umumnya masih disetir pemerintah dengan kebijakan-kebijakan tak berpihak sehingga akan sulit bersaing dengan produk negara-negara lain.

Barang-barang impor seperti garam, gula, beras, buah, dan produk tekstil saat ini saja telah menguasai pasar dalam negeri. Tampaknya pemerintah cenderung mengambil jalan instan ketimbang mengoptimalkan produk daerah yang berwawasan jangka panjang. Akibatnya, tentu produsen dalam negeri semakin terpukul dan perlahan-lahan gulung tikar.

Dalam jangka pendek, mungkin konsumen merasa diuntungkan dengan kondisi itu karena untuk sementara dapat memperoleh harga murah dan berkualitas. Namun, jika produk dalam negeri tinggal kenangan, cepat atau lambat, kebergantungan pada impor semakin besar. Harga komoditas tersebut akan mendikte karena gejolak pasar. Konsumen terpaksa menerima karena tak ada alternatif.

Pasar akan sehat jika mekanisme kontrol telah berjalan baik. Maka, 230 juta konsumen merupakan sasaran empuk berbagai komoditas, tak terkecuali produk-produk cacat maupun yang tak memenuhi persyaratan keamanan untuk dikonsumsi. Kasus susu bermelamin, mainan anak dengan kandungan kimia berbahaya, merupakan contoh mudahnya produk tak layak masuk, baik secara langsung dari negara produsen maupun lewat negara ketiga, termasuk anggota ASEAN.

Dalam jangka panjang, hal-hal semacam itu bukan lagi merupakan kejadian insidental, melainkan sudah menjadi strategi pemasaran negara-negara industri. Mereka selalu mengambil keuntungan penggunaan standar ganda: berkualitas untuk rakyatnya, sampah bagi warga negara lain.

Pelengkap

Potensi pasar Indonesia yang menggiurkan ternyata tidak serta-merta menguatkan posisi konsumen. Kedudukan konsumen Indonesia cuma diletakkan pada posisi pelengkap penderita. Dalam peta politik Tanah Air, perlindungan konsumen hanya dimasukkan pada persoalan perdagangan. Institusinya juga masih menginduk pada Kementerian Perdagangan tanpa ada sinergi lintas kementerian.

Institusi yang notabene merupakan organ pemerintah, pada praktiknya, terbatas dalam melindungi konsumen karena secara substansial hampir tidak mungkin lembaga itu membela kepentingan konsumen dengan menerapkan sanksi keras pada produsen.
Padahal, pada awal bergulirnya Undang-Undang No 8 Tahun 2009 tentang Perlindungan Konsumen, keberadaan konsumen penting. Dengan demikian, mestinya perlindungan konsumen menjadi ruh kebijakan dan selayaknya diletakkan pada arus utama, bukan sekadar pelengkap.

Hal itu penting sebab cara pandang dalam membangun kebijakan akan berbeda kala keberadaan sebagian besar konsumen menjadi titik tolak. Pilihan pada penyediaan barang dan jasa serta pergerakan modal maupun investasi akan memperhitungkan kepentingan besar konsumen.

Dengan cara pandang semacam itu, perlindungan konsumen bukan semata-mata dilihat dari sudut kompetisi, melainkan harus menjadi prasyarat pada proses bisnis dan pengelolaan kebijakan sektor ekonomi.

***

Agus Sujatno, Staf Edukasi dan Publikasi YLKI

(Dimuat di Koran Jakarta, 14 Maret 2012)

Sumber : koran-jakarta.com