Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan gedung, baik umum atau kantor memiliki tempat rokok inkonstitusional. Menghirup udara bersih itu hak asasi manusia (HAM), sedang merokok cuma hak.

“Itu hal yang serius, bahkan kami katakan inkonstitusional, karena faktanya menghirup udara sehat dan bersih itu hak asasi masyarakat non-perokok. Merokok itu hak, bukan hak asasi. Derajatnya lebih tinggi non-perokok untuk menghirup udara sehat dan bersih,” jelas aktivis YLKI Tulus Abadi yang juga aktivis anti-rokok.

Hal itu dikatakan Tulus ketika berbincang dengan detikcom, Rabu (18/4/2012).

Kedua, putusan MK ini juga akan menyulitkan pengelola gedung umum menyediakan ruang merokok, menimbulkan biaya sangat tinggi. Tulis menambahkan, pada praktiknya, membuat ruang merokok yang standar itu sangat-sangat sulit.

“Mayoritas tempat umum sekarang rata-rata hanya kayak smoking area abal-abal. Asap rokok tetap terdistribusi ke mana-mana. Non-perokok menghirup udara kotor terpolusi karena asap rokok,” jelas Tulus.

Ketiga, putusan MK ini bisa menimbulkan gugatan masyarakat, baik dari yang perokok maupun non-perokok. Masyarakat perokok bisa menggugat bila suatu tempat atau gedung tidak menyediakan ruang merokok. Sementara bagi masyarakat non-perokok, bisa menggugat bila ruangan merokok itu tidak memenuhi syarat, sehingga asap rokoknya bocor.

“Kalau menurut kajian ilmiah, dari sisi lingkungan dan kesehatan, hampir tidak ada yang memenuhi syarat (ruang merokok). Kalau ruang merokok itu di ruangan ber-AC sentral, dia menyediakan smoking room di ruang yang sama. Asap rokoknya bisa terdistribusi ke seluruh gedung. Jadi yang nggak merokok bisa kena asap rokoknya,” jelas Tulus.

Tulus pernah memiliki pengalaman, naik bus AC dari Jakarta ke Tasikmalaya. Bus ber-AC itu menyediakan ruang merokok.

“Biarpun di angkutan umum nggak boleh. Asap rokoknya terhirup semua penumpang. Walapun di ruangan yang AC-nya terpisah, lagi-lagi (ruangan merokok) itu memerlukan biaya sangat tinggi. Ini beban secara hukum, ekonomi dan sosial,” jelasnya.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menguji penjelasan pasal 115 ayat 1 UU Kesehatan. Awalnya pasal tersebut berbunyi “khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya ‘dapat’ menyediakan tempat khusus untuk merokok”. MK lalu menghapus kata ‘dapat’ dalam penjelasan pasal 115 ayat (1) UU No 36/2009 tentang Kesehatan tersebut.

Sehingga kini bunyi penjelasan pasal tersebut yaitu “khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan tempat khusus untuk merokok”.

UU Kesehatan ini diimplementasikan ke dalam berbagai peraturan teknis yang ada di bawahnya. Seperti keluarnya Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Larangan Merokok. Dalam Pergub tersebut, perokok dilarang merokok di dalam gedung tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya. Alhasil, Pemprov DKI pun pernah merazia gedung-gedung yang masih menyediakan ruang khusus merokok.

Sumber : detik.com

Gambar arsip YLKI