Baru sehari kemarin UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disahkan oleh DPR. Dengan diundangkan regulasi ini, DPR pun menugaskan Menteri Pertanian (Mentan), Suswono untuk mensosialisasikan dan melaksanakan peraturan ini. Kementrian Pertanian adalah otoritas kompeten masalah petani dan pertanian di Indonesia.
Dan bersamaan dengan disahkannya UU itu, kemaren (Rabu, 10 Juli’13) kami dari Pokja OKPO (Otoritas Kompeten Pangan Organik) juga hadir untuk audiensi kepada Mentan, masalah pertanian organik. Penting sekali memang pertanian organik ini untuk diterapkan di Indonesia, terutama demi melindungi kesehatan petani, lingkungan dan keberlanjutan produktivitas pertanian.
Juga sangat penting bagi kemandirian petani, sehingga tidak perlu tergantung kepada ketersediaan pupuk anorganik & pestisida kimia dari korporasi besar. Dengan sistem ini, pupuk & pestisida bisa dibuat oleh petani sendiri.
Audiensi ini adalah tindak lanjut dari keluarnya Permentan soal pertanian organik. Selain itu, Mentan memang sempat ‘ditegur’ oleh Prof. Emil Salim, soal Indonesia yang menjadi ’sampah’ penjualan pestisida dunia. Menindak lanjuti ini, Kementan dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) akan membuat Permentan bersama soal pertanian ramah lingkungan.
Mengapa sistem pertanian ramah lingkungan penting sekali diterapkan? Ada beberapa alasan:
1. Lahan kritis pertanian Indonesia sudah sangat meluas. Lahan kritis ini akan dipetakan oleh kementan (smeoga gak lama hasilnya dah ada…:D). Memang, revolusi hijau yang diterapkan hampir 40 tahun yang lalu itu diawal penerapannya membuahkan hasil peningkatan produktivitas pertanian.
Tetapi akumulasi pupuk kimia dan pestisida kimia telah membuat lahan menjadi kritis, tidak mampu lagi memberikan hasil produksi yang sama. Lahan itu butuh ‘disembuhkan’ oleh pupuk kompos yang kaya unsur hara dan kaya bakteri penggembur tanah.
Selain itu, ‘penyembuhan’ lahan dengan sistem pertanian ramah lingkungan/organik juga ternyata bisa meningkatkan produktivitas pertanian. IPB, melalu Prof. Ahmad Sulaeman (yang juga hadir di audiensi ini) mempunyai banyak hasil studi mengenai peningkatan produksi pangan melalui sistem organik. Jadi tidak perlu kekhawatiran soal ketahanan pangan jika beralih ke sistem pertanian ramah lingkungan.
2. Pestisida kimia telah mencemarkan tanah, sumber air dan lingkungan sekitarnya. Residu kimia yang tidak bisa diurai oleh mikroba ini mencemarkan lingkungan dengan bahan kimia aktif yang berbahaya bagi kesehatan manusia yang bukan saja petani, tetapi semuanya yang mengkonsumsi air tersebut.
3. Dampak pestisida nyata mempengaruhi kesehatan petani. Studi yang dilakukan oleh Badan Litbang Kementrian Kesehatan bekerjasama dengan Undip, dengan studi kasus keluarga petani di Brebes dan Malang, menunjukkan bahwa 97% anak-anak sekolah di Brebes terkena penyakit gondongan, IQ rendah, tubuh pendek (tidak tumbuh sesuai usianya atau stunting), dan beresiko lebih tinggi terkena kanker. Bukan saja anak-anak, tetapi WUS (Wanita Usia Subur) disini juga sudah terkontaminasi pestisida, sehingga jika hamil, bayinya bisa cacat, atau mengalami berat bayi lahir rendah.
Studi di Batu, Malang juga menunjukkan dampak paparan pestisida ini. Bahkan di suatu desa (Giripurno), hampir semuanya anak-anaknya lahir cacat, down syndrom, berkebutuhan khusus, akibat paparan pestisida yang sangat pekat.
Memang, jika diukur darah petani, kandungan pestisidanya sudah ‘mengerikan’ (masukan Prof.Agus dipertemuan ini). Pas di Bandung, aku juga pernah baca hasil penelitian yang dilakukan Unpad (kalo gak salah), mengenai tangan petani yang mati rasa, terkena stroke, keracunan, karena paparan pestisida.
Yang jelas, WHO sendiri menyatakan, ada sekitar 3 juta petani di dunia yang terkena dampak pestisida berupa terkena stroke, kanker, dan seterusnya. Sementara sekitar 200.000 langsung wafat karena keracunan akut (dikira air, ternyata pestisida).
Perlindungan petani terhadap paparan pestisida memang tidak ada. Petani menjadi korban penjualan agen-agen terselubung yang berbungkus penyuluhan (diakui oleh kementan sendiri). Bahkan sering bantuan kepada petani dari kementan berupa pestisida kimia ini.
Selain itu, seharusnya penggunaan pestisida dilakukan dengan pelatihan khusus, peralatan khusus dengan masker, sarung tangan. Tetapi di Indoensia, bahkan petani mencampur adukkan pestisida dengan tangan, tanpa masker, didekat sumber-sumber air minum.
Dan hasil audiensi ini, tampaknya mentan mempertimbangkannya. Dan sempat tercetus bahwa subsidi pupuk Rp 20 Trilyun kepada pabrik pupuk semacam PT. Petrokimia seharusnya langsung saja diberikan kepada kelompok tani. Mungkin bisa berupa hewan ternak, dihitung dengan kajian ilmiah, berapa ekor sapi/kambing yang dibutuhkan untuk membuat pupuk kompos bagi lahan sekian hektar.
Memang, selama ini subsidi Rp 143 Trilyun di APBN hanya dinikmati korporasi besar, perusahaan pupuk, perusahaan benih bahkan ke perusahaan Multi Nasional pestisida asing. Ketika sampai ke petani, harga pupuk bisa mahal, atau terjadi kelangkaan.
Semoga kepedulian itu terwujud.
– Ilyani S. Andang –
Anggota Pengurus Harian – YLKI
0 Comments on "Menggugat Kepedulian Mentan terhadap Pangan Organik"