Enam puluh lima tahun sudah bangsa ini merdeka. Enam puluh lima tahun pula Republik Indonesia diakui dunia sebagai suatu negara yang berkedaulatan, tidak berada ‘di bawah’ satu Negara tertentu. Namun, apakah kita benar-benar sudah merdeka? Merdeka dari segala tekanan, khususnya tekanan komersial? Hmm, rasanya masih belum. Bahkan masih jauh dari merdeka. Iklan, promosi, hadiah, gimmick, atau apa pun istilahnya, bertubi-tubi ’menjajah’ kita. Akibatnya, apabila kita tidak cukup cerdas, akan mudah terpedaya, terperangkap dan terjebak dalam membuat keputusan berkonsumsi.
Agustus, bulan dimana bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya, juga menjadi bulan penting bagi para pegiat kampanye air susu ibu (ASI). Pekan pertama Agustus (1-7), diperingati sebagai Pekan ASI Sedunia (World Breastfeeding Week). Sepekan memang tidak cukup untuk berkampanye memerdekakan diri dari tekanan promosi susu formula. Namun paling tidak, ada ruang untuk mencuri perhatian publik terhadap berbagai persoalan menyangkut ASI.
Ya, ASI yang diyakini menjadi sumber pangan paling sempurna bagi sebuah kehidupan baru memang tidak mudah melenggang. Terlalu banyak tekanan, baik tekanan komersial dari produsen susu formula hingga tekanan sosial dari lingkungan sekitar para ibu baru.
Tekanan ini sudah berlangsung lama. Sejak industri mengklaim mampu menghasilkan susu yang dapat menggantikan susu ibu, bahkan lebih baik dari susu ibu. Dan mempromosikannya secara gencar tidak hanya untuk masyarakat di negaranya, tapi melebar jauh ke negara-negara miskin dan sedang berkembang. Tidak peduli apakah rakyat di negara-negara itu mampu memenuhi prasyarat untuk mengonsumsi susu formula agar dapat memberikan hasil maksimal bagi si bayi.
Akibatnya, bayi-bayi yang tak berdosa jadi korban. Bukannya menjadi sehat seperti yang dijanjikan, tetapi justru menjadi kurang gizi dan diare berkepanjangan. Penyebabnya apalagi kalau bukan kemiskinan dan pengetahuan. Saran takaran diabaikan, ketersediaan air bersih terbatas, dan kebersihan perlengkapan tidak terpenuhi.
Hingga akhirnya, tidak tanggung-tanggung, institusi kesehatan dunia (WHO) turun tangan, mengeluarkan sebuah Kode Internasional untuk mengatur pemasaran susu formula ini. Tentu saja hal ini dapat terjadi setelah ada tekanan dari berbagai organisasi yang peduli terhadap pemberian air susu ibu dan kesehatan bayi.
Kode Internasional untuk Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu ini kemudian terus berkembang dalam pertemuan-pertemuan kesehatan dunia (World Health Assembly) dalam bentuk resolusi-resolusi. Kode Internasional ini sudah diratifikasi oleh negara-negara anggota WHO. Namun, adopsi kode ini dalam peraturan nasional sangat bervariasi. Beberapa negara, sebut saja India, Macau, mengadopsinya dalam bentuk peraturan tertinggi, Undang-Undang. Sementara negara lain, seperti Indonesia, hanya mengadopsinya dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan yang tidak jelas sanksinya.
Tahun ini, Tema Pekan ASI Sedunia adalah “Hanya Sepuluh Langkah Untuk Keberhasilan Menyusui”. Ya, sepuluh langkah, tidak lebih. Yang paling berperan di sini tentu saja sarana pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan. Namun masyarakat di lingkungan ibu pun punya peran penting untuk keberhasilan menyusui.
Di Indonesia, kebijakan ini diwujudkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 40/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu Secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia. Dalam SK ini ada Lampiran “10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM)”. Tapi bagaimana kenyataannya? Upaya yang hanya 10 langkah ini ternyata tidak mudah dipraktikkan. Karena setiap unsur yang punya peran masih belum merdeka dari berbagai tekanan komersial. Mari kita urai satu persatu.
Langkah 1: Ada kebijakan tertulis yang selalu dikomunikasikan pada tenaga kesehatan. Kebijakan tertulis tentang 10 langkah ini harus dipajang, menunjukkan komitmen semua untuk menjalankannya. Kenyataan: masih banyak petugas kesehatan yang memberikan susu formula pada bayi, dengan bahkan tanpa sepengetahuan ibu.
Langkah 2: Melatih petugas kesehatan agar trampil menjalankan kebijakan ini. Kenyataan: masih ada petugas kesehatan yang tidak mampu meyakinkan ibu untuk menyusui, bahkan ada yang justru membangun kekhawatiran ibu ketika ASI belum keluar.
Langkah 3: Menginformasikan semua ibu hamil tentang manfaat menyusui termasuk ’manajemen’ menyusui. Sehingga ibu merasa siap dan nyaman untuk menyusui bayinya pada saat lahir. Kenyataan: masih ada sarana pelayanan kesehatan yang membekali ibu dan bayi dengan susu formula.
Langkah 4: Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 30 menit setelah melahirkan (inisiasi menyusu dini/IMD). Kenyataan: belum semua sarana pelayanan kesehatan, bahkan klinik bersalin, yang menerapkan IMD. Masih ada mitos bahwa cairan kolustrum tidak baik untuk bayi.
Langkah 5: Membantu ibu bagaimana cara menyusui dan tetap menyusui meski ibu terpaksa dipisahkan dari bayi. Ibu perlu dilatih posisi menyusui yang efektif, juga cara memerah ASI menggunakan tangan apabila bayi terpaksa dipisahkan. Kenyataan: penggunaan pompa seringkali dipromosikan dengan alasan lebih praktis.
Langkah 6: Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI pada bayi baru lahir. Yakinkan ibu bahwa bayinya tidak memerlukan tambahan cairan lain, meskipun pada hari-hari pertama ASI yang keluar hanya sedikit. Kenyataan: masih ada mitos bayi perlu diberi cairan pralaktasi, atau setelah menyusu bayi harus diberi air putih untuk membersihkan mulutnya.
Langkah 7: Melaksanakan rawat gabung dan mengupayakan ibu bersama bayi selama 24 jam sehari. Bayi dapat diletakkan pada tempat tidur yang sama atau dalam boks yang ditempatkan di samping ibu sehingga ibu dapat melihat dan menyentuhnya. Kenyataan: masih banyak sarana pelayanan kesehatan yang tidak menyediakan fasilitas ini dan menempatkan bayi dalam ruangan terpisah.
Langkah 8: Medorong ibu menyusui semau bayi. Bayi harus disusui sesuai kebutuhannya, tidak berdasarkan jadwal yang dibuat rumah sakit atau ibu. Petugas kesehatan dan ibu perlu mempelajari tanda-tanda bayi ingin menyusu. Kenyataan: masih ada petugas kesehatan yang memberikan susu formula pada malam hari dengan alasan ibu perlu istirahat.
Langkah 9: Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI. Pada awal kehidupannya, kebutuhan bayi untuk mengisap harus dipenuhi dari dada ibu. Pemberian dot hanya akan membingungkan bayi dan memengaruhi pemenuhan kebutuhan ASI bayi. Kenyataan: seringkali keluarga meyakini dot adalah cara ampuh untuk membuat bayi tenang.
Langkah 10: Mendorong terbentuknya kelompok pendukung ASI dan merujuk ibu pada kelompok ini setelah pulang dari sarana pelayanan kesehatan. Para ibu yang berhasil menyusui bayinya dapat membentuk kelompok untuk saling mendukung. Adanya konselor-konselor ASI di tengah masyarakat sangat penting untuk mendukung keberhasilan menyusui.
Bukti bahwa ASI yang terbaik dan hanya memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan cukup untuk mencapai pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal, diakui oleh banyak pihak. Sejumlah institusi di bidang kesehatan di Amerika juga sepakat dengan hal ini, demikian CNN dalam laporannya pada 6 April yang lalu.
Berita ini melaporkan sebuah studi yang menunjukkan bahwa Amerika bisa berhemat jutaan dolar dan mencegah seribu kematian per tahun apabila para ibu memberi ASI secara ekslusif selama enam bulan pertama pada bayinya. Data di negara ini menunjukkan pola pemberian ASI jauh di bawah yang direkomendasikan. Di tahun 2009, hanya 74 persen perempuan yang menyusui, 33 persen hanya memberikan ASI eksklusif sampai 3 bulan, dan yang bertahan sampai 6 bulan hanya 14 persen.
Banyak hal yang menyebabkan rendahnya angka menyusui. Tampaknya ini menjadi masalah tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga negara maju. Yang paling mendasar adalah para ibu seringkali mendapat informasi yang justru membingungkan, disamping kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar.
Berapa banyak sarana pelayanan kesehatan yang benar-benar melaksanakan proses kelahiran seperti yang direkomendasikan. Tidak dilakukan IMD ternyata dapat membuat bayi lebih sulit untuk mulai menyusu. Sebelum pulang, para ibu seringkali tidak cukup mendapat pendidikan dan informasi bagaimana cara mengatasi masalah yang mungkin muncul selama proses menyusui.
Yang menarik, edukasi dan informasi tidak cukup hanya diberikan pada ibu dan ayah saja, tetapi seharusnya juga pada anggota keluarga lain, seperti nenek si bayi. Tidak jarang, pada saat ibu berusaha keras untuk dapat menyusui dengan baik, orang tua justru melemahkan upaya tersebut dan mendorong penggunaan susu formula.
Jelaslah, banyak pihak yang berperan untuk keberhasilan memberikan yang terbaik bagi bayi, ASI eksklusif selama enam bulan pertama, memberi makanan tambahan setelah enam bulan sambil tetap memberikan ASI sampai dua tahun. Masing-masing harus cerdas menempatkan diri agar mampu terbebas dari berbagai tekanan, khususnya tekanan komersial susu formula.
Huzna G. Zahir – Pengurus Harian YLKI
0 Comments on "ASI dan Pejajahan Susu Formula"