Siapa yang bisa menjamin bahwa pasar pangan berjalan secara “sempurna”, tidak ada pihak-pihak yang karena kekuatannya bisa mendistorsi pasar, bisa meng-create permintaan semu sehingga seolah-olah permintaannya tinggi, padahal ini hasil dari penggelembungan pasar untuk menaikkan harga, dan ujung-ujungnya menaikkan profit. Dengan demikian, pasar yang sempurna hanyalah ilusi. Dalam kenyataan tidak pernah ada.
Fenomena adanya kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok menjelang atau selama hari raya keagamaan, khususnya Idul Fitri dan Natal, semua pihak bisa memahami. Namun apa yang terjadi pada tahun 2015, menunjukkan anomali. Menjelang lebaran, sejumlah kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga. Namun pasca lebaran, bahkan sampai menjelang natal, tidak hanya tidak diikuti penurunan harga ke harga normal, tetapi sebaliknya harga semakin liar.
Paling tidak hal ini terjadi pada komoditas daging sapi di wilayah Jabodetabek, Banten dan sebagian Jawa Barat. Harga daging sapi masih bertengger di atas 100 ribu rupiah per kilogram, bahkan di sejumlah tempat sempat menyentuh harga ke level tertinggi Rp. 130.000/kg. Kehebohan tidak hanya berhenti di sini. Aksi sejumlah pedagang daging sapi di sejumlah wilayah pasar di Jabodetabek mogok tidak berjualan bulan lalu, menambah semakin riuhnya gejolak harga daging.
Gejolak harga daging sapi mulai mereda setelah Pemerintah mengambil sejumlah langkah, termasuk mengerahkan polisi untuk melakukan investigasi ke sejumlah feedlooter, baru pedagang mulai berjualan dan harga cenderung turun, walaupun masih di atas Rp. 100.000/kg. Tak berselang lama, masyarakat dikejutkan kenaikan harga ayam dan aksi mogok pedagang ayam di sejumlah pasar, setidak-tidaknya di kota Bogor. Mereka beralasan tingginya harga ayam potong yang menyentuh ke level Rp. 40.000/kg, padahal harga normal di kisaran Rp. 30.000/kg.
Fenomena liarnya harga daging sapi dan ayam menyisakan sejumlah pertanyaan. Apa saja komoditas yang masuk kategori kebutuhan pokok? Instrumen apa saja yang dimiliki pemerintah dalam menjamin ketersediaan, mutu dan stabilitas harga kebutuhan pokok?
KEBUTUHAN POKOK
Menurut Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok adalah : (1) beras; (2) kedelai, bahan baku tahu/tempe; (3) cabe; (4) bawang merah; (5) gula; (6) minyak goreng; (7) tepung terigu; (8) daging sapi; (9) daging ayam ras; (10) telur ayam ras; (11) ikan segar (bandeng, kembung, tongkol/tuna/cakalan).
Dalam pasal 25 Undang-Undang Perdagangan ditegaskan: “Pemerintah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dengan jumlah memadai, mutu yang baik dan harga yang terjangkau”. Selanjutnya dalam pasal 26 menyatakan: Menteri Perdagangan menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor/impor dalam rangka menjamin stabilisasi harga kebutuhan pokok.
Sementara dalam pasal 51 Undang-undang Pangan disebutkan : Pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan pangan dengan tujuan untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan, terutama pangan pokok, manajemen cadangan pangan serta menciptakan iklim usaha pangan yang sehat. Selanjutnya dalam pasal 52 menyatakan: dalam hal perdagangan pangan pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan.
MEKANISME PASAR VS INTERVENSI NEGARA
Berangkat dari fenomena gejolak harga daging sapi dan ayam akhir-akhir ini, kemudian ditambah beberapa regulasi, baik berupa UU maupun Keputusan Presiden di atas, ada dua persoalan utama.
Pertama, Undang-Undang Pangan mengamanatkan terciptanya iklim usaha yang sehat. Ketentuan ini adalah sinyal bahwa dalam perdagangan pangan diarahkan menuju mekanisme pasar. Ide dari ketentuan ini adalah, mekanisme pasar yang “sempurna” akan menciptakan efisiensi ekonomi, semua pihak akan diuntungkan, konsumen akan memperoleh harga yang kompetitif dengan mutu barang yang bagus.
Pertanyaannya adalah siapa yang bisa menjamin bahwa pasar pangan berjalan secara “sempurna”, tidak ada pihak-pihak yang karena kekuatannya bisa mendistorsi pasar, bisa meng-create permintaan semu sehingga seolah-olah permintaannya tinggi, padahal ini hasil dari penggelembungan pasar untuk menaikkan harga, dan ujung-ujungnya menaikkan profit. Dengan demikian, pasar yang sempurna hanyalah ilusi. Dalam kenyataan tidak pernah ada.
Kedua, intervensi negara macam apa yang diperlukan dalam rangka stabilisasi harga sejumlah kebutuhan pokok. Belajar dari sejumlah negara memiliki model yang berbeda-beda dalam melakukan intervensi dalam rangka menjamin ketersediaan dan stabilisasi harga kebutuhan pokok.
Malaysia memiliki UU kawalan harga (Price Control Act). Ada sekitar 30-an komoditas dimana harganya diawasi pemerintah. Dalam hal ada pelaku usaha yang menaikkan harga, pemerintah dapat memanggil dan meminta penjelasan pelaku usaha alasan dibalik kenaikan harga. Apabila pelaku usaha tidak bisa memberi penjelasan yang memadai, meski kualifikasi pelanggaran tindak pidana ekonomi.
India memiliki Esential Commodity Act (1955), dimana apabila suatu komoditi masuk kategori esensial, Pemerintah India melakukan intervensi sejak dari produksi, distribusi/logistik dan pricing policy.
Sedangkan Australia memiliki Surveillance Act, dimana dalam hal harga sejumlah komoditas strategis mengalami kenaikan tidak wajar (di atas angka inflasi rata-rata tahunan), Pemerintah Australia melakukan intervensi dalam bentuk memberi bantuan langsung tunai kepada kelompok masyarakat rentan.
Amerika Serikat dalam berbagai diplomasi global mendorong negara berkembang untuk menghapus subsidi di sektor pertanian, namun di dalam negeri memberi subsidi di sektor pertanian habis-habisan. Untuk melindungi konsumen dan petani, Pemerintah Amerika menjamin stabilitas harga sejumlah produk pertanian sampai lima tahun ke depan. Apabila ada gejolak harga pangan di level global menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Indonesia memiliki badan penyangga untuk komoditas beras diperankan oleh BULOG, yang berfungsi mengelola cadangan pangan dan stabilisasi harga beras. Pasar sejumlah komoditas pangan di Indonesia (seperti kedelai, gula, terigu, daging sapi) terintegrasi dengan pasar global, sehingga pasar domestik sangat sensitif terhadap gejolak harga di pasar global.
Penulis : Sudaryatmo SH (Wakil Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen YLKI)
0 Comments on "Stabilisasi Harga Kebutuhan Pokok"