Kota Jakarta, kendati kini dikendalikan oleh seorang gubernur yang secara akademis ahli tata ruang, toh visi pembangunan kota Jakarta belum mengindikasikan ke arah pembangunan yang mematuhi etika tata ruang yang sesungguhnya. Dan, tampaknya, akan makin sulit mewujudkan kota Jakarta sebagai kota yang manusiawi (human city). Yang terjadi malah sebaliknya, arah pembangunan Kota Jakarta menunjukkan pada sebuah potret tata ruang kota yang amat “jungkir balik”. Pembangunan jalan layang Antasari (menghubungkan jalan Antasari-Blok M) dan jalan layang Dr. Satrio (menghubungkan Kampung Melayu-Tanah Abang), membuktikan dengan amat gamblang betapa pengambil kebijakan Kota Jakarta nyaris melumpuhkan seluruh aspek tata ruang. Total jenderal biaya untuk membangun kedua jalan layang tersebut sebesar Rp 2,1 triliun.

Sungguh paradoks dan bahkan absurd kalau argumen untuk membangun kedua jalan layang itu adalah untuk mengatasi kemacetan di Jakarta yang makin parah, mencontoh pembangunan jalan layang serupa di kota-kota besar dunia seperti Tokyo, dan bahkan ramah lingkungan. Dan, aneh bin ajaib, jika argumen itu dilontarkan oleh Gubernur Fauzi Bowo, seorang ahli tata ruang jebolan Jerman!

Mengatasi kemacetan?

Kota Jakarta memang super macet. Konon, jika tak dilakukan langkah radikal untuk mengatasinya, maka pada 2014 akan terjadi gridlock. Sebuah kondisi kemacetan lalu-lintas yang nyaris tidak bisa diatasi lagi. Namun, pertanyaannya, apakah membangun jalan layang merupakan kebijakan radikal untuk mengatasi kemacetan? Jelas tidak. Bahkan, membangun jalan layang di dalam kota tak lebih merupakan “kebijakan sampah”. Disebut kebijakan sampah, karena hanya akan membangkitkan kemacetan baru. Pembangunan jalan raya, tak lebih merupakan “karpet merah” untuk menciptakan eskalasi kemacetan. Kalau pun jalan layang bisa mengatasi kemacetan, hanyalah bersifat sesaat (instant). Jadi, membangun jalan layang Antasari dan jalan layang Dr Satrio, jelas bukan instrumen dan bukan argumen tepat untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Bahkan merupakan kebijakan yang keblinger.

Mencontoh Tokyo?

Ironisme yang kedua, pembangunan kedua jalan layang itu juga diklaim sebagai bentuk modernitas, karena hal serupa juga dilakukan di kota-kota besar dunia, semisal Tokyo, Jepang. Okelah, di Tokyo dan kota-kota besar lain di dunia banyak dibangun jalan layang yang sejenis, tetapi jangan lupa; kota-kota besar tersebut terlebih dahulu dilengkapi dengan sarana transportasi masal (mass rapid transportation). Siapa yang meragukan MRT di Tokyo, dengan kereta Shinkansen, yang kecepatannya setara dengan pesawat terbang? Selain itu, tata ruang di kotanya sejak awal didesain sedemikian rupa sehingga menjadi sangat ramah bagi warga kotanya. Sedangkan di Jakarta, sejak awal memang tidak ada tata ruang (yang ada adalah “tata uang”). Jadi, membangun jalan layang, bukanlah cara modern untuk mengatasi kemacetan. Tetapi justru cara yang paling primitif.

Ramah lingkungan?

Dalil ketiga yang tak kalah paradoks dan ironis adalah bahwa kedua jalan layang itu dibangun dengan memperhatikan kaidah lingkungan (tidak merusak lingkungan). Alasannya hanya satu, kedua jalan layang tersebut dibangun setinggi 12 m, sehingga tidak memangkas pohon-pohon yang tinggi. Klaim ini sangat meragukan. Karena bagaimana pun tapak tower dari jalan susun dimaksud pasti memerlukan lahan yang cukup banyak. Dan lahan tersebut adalah jalur hijau, tempat pohon-pohon besar bertumbuh. Jadi, klaim bahwa kedua jalan layang ini “ramah lingkungan”, sangat mudah dirontokkan. Jadi, dengan tegas bisa dikatakan pembangunan kedua jalan layang itu merusak lingkungan. Titik!

Kesimpulan

Tak terlalu sulit untuk menyimpulkan betapa tidak efektifnya pembangunan jalan layang Antari dan Dr Satrio. Tidak akan afektif, karena kemacetan di Jakarta akan terus mengular, dan menganga. Bahkan, pembangunan kedua jalan layang itu justru akan memperparah kemacetan di Jakarta. Bahkan berpotensi menjadi jalan pintas bencana lalu-lintas yang tak terbantahkan. Membangun jalan layang atau juga jalan tol, patut diduga, adalah atas hasil lobi yang sangat kuat dari kalangan industri otomotif. Industri otomotif sangat berkepentingan untuk terus mendorong agar kebijakan pembangunan infrastuktur transportasi berbasiskan jalan raya, bukan jalan rel (railway).

Padahal, jika kebijakan yang digulirkan adalah managemen transportasi yang berkelanjutan, maka seharusnya akses yang diperbanyak adalah pembangunan infrastuktur transportasi yang basisnya adalah rel. Atau setidaknya perbaiki sarana bus rapid transit ala Transjakarta.   Bagaimana mungkin Pemerintah Jakarta mengatakan tak punya cukup dana untuk mensubsidi Transjakarta, tetapi dengan entengnya menggelontorkan dana Rp 2,1 triliun untuk membangun jalan layang? Dimanakah keberpihakannya?

Hal ini makin mengukuhkan, bahwa Gubernur Jakarta—sekalipun seorang ahli tata ruang jebolan Eropa, terbukti tidak mempunyai visi jangka panjang untuk mengelola kota Jakarta. Pembangunan jalan layang menunjukkan betapa pendeknya visi “sang ahli” tersebut. Di beberapa kota besar di dunia (misalnya di Seoul), beberapa jalan layang yang membentang di dalam kota justru dirobohkan, karena terbukti tidak bisa mengatasi kemacetan. Dan bahkan merusak tata ruang kota. Jalan layang tersebut akhirnya dikembalikan menjadi lahan terbuka hijau, tempat bagi warga kota bermain (bercengkerama), berinteraksi dengan warga kota lainnya. Sejatinya, kebijakan semacam ini yang dibutuhkan warga Jakarta. Bukan sebuah kebijakan sampah yang justru menimbulkan bencana baru. ***

 

Tulus Abadi – Anggota Pengurus Harian YLKI