Kalimat ‘cintai produk dalam negeri’, ‘gunakan produk Indonesia’ atau kalimat lain sejenis acap kita dengar. ‘Mantra’ tersebut bukan saja didengungkan oleh pemerintah semata, tetapi juga oleh pelaku usaha swasta, bahkan masyarakat konsumen. Tentu tak ada yang salah dengan kalimat itu. Bahkan, di negara maju pun, seperti di Australia, hal semacam itu masih lazim didengungkan.

 

Untuk memperkuat hal tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian membuat suatu jargon bertajuk “100% cinta produk Indonesia”. Jargon itu diluncurkan tentu bukan karena tak ada sebab musabab. Semenjak meratifikasi WTO dan ditandatanganinya perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN (termasuk Indonesia) dengan negara lain seperti Korea (ASEAN Korea Free Trade Agreement/AKFTA), Australia (ASEAN Australia New Zeland FTA), ASEAN China (ACFTA) serta negara Uni Eropa dan Amerika Serikat, kini pasar Indonesia telah terkepung oleh berbagai produk impor. Baik berupa barang dan atau bahkan sektor jasa. Apalagi produk barang yang berasal dari negeri tirai bambu, sedemikian melimpah ruah. Atas dasar itu, kampanye “ayo cintai produk Indonesia” menjadi sangat relevan dilakukan.

 

Tetapi, beberapa pertanyaan sederhana dan mendasar ini, patut direnungkan. Misalnya, apakah kebijakan dan regulasi yang ditelorkan pemerintah juga kondusif untuk pelaksanaan kampanye tersebut, atau malah sebaliknya? Selain itu, apakah sejatinya yang disebut dengan produk asli Indonesia, apakah hanya karena barang (dan atau jasa) tersebut diolah dan didistribusikan di pasar Indonesia?

 

Redefinisi Produk Indonesia

 

Lantas, bagaimana suatu barang/jasa dapat dikatakan produk Indonesia? Untuk itu, kita perlu mendefinisi ulang tentang produk Indoensia. Boleh saja suatu barang dibuat di negeri Indonesia. Pasarnya pun juga di Indonesia. Tetapi sangat boleh jadi barang/jasa tersebut bukan produk asli Indonesia. Mengapa demikian? Ada dua hal mendasar yang patut dikemukakan.

 

Pertama, seberapa tinggikah kandungan impor barang tersebut, dan sebaliknya, berapa persen pula kandungan lokalnya. Ambil contoh produk yang bernama tempe, sebuah makanan tradisional kegemaran masyarakat Indonesia. Sangat boleh jadi tempe yang kita konsumsi saat ini bukan merupakan produk (asli) Indonesia, karena bahan baku utama tempe (yaitu kedelai) 70 persen masih dimpor dari Amerika, dan negara lainnya. Juga dengan komoditas lainnya. Jadi, jika kandungan impornya sangat dominan, terhadap barang apapun, masih layakkah disebut sebagai produk Indonesia?.

 

Kedua, siapakah gerangan pemilik saham perusahaan pembuat barang/jasa tersebut? Sangat boleh jadi bahan baku utama, proses pembuatannya, dan pendistribusian barang tersebut di Indonesia. Tetapi, faktanya perusahaan tersebut dimiliki oleh pihak asing. Misalnya, kita tentu amat lazim dengan air mineral Aqua. Bahan baku utama Aqua adalah mata air pegunungan di Indonesia. Tetapi 100 persen kepemilikan saham perusahaan yang memproduksi Aqua adalah pihak asing (Danone). Demikian juga dengan merek rokok yang bernama Djisamsoe. Benar rokok tersebut dibuat oleh PT HM Sampoerna, yang berlokasi di Sidoarjo, Jawa Timur. Tapi kini, PT HM Sampoerna 100 persen sahamnya telah dimiliki oleh PT Philip Morris Internasional (Amerika Serikat). Dan seabrek contoh lainnya, termasuk komoditas yang bernama garam. Lagi-lagi, sebuah produk yang berkarakter demikian, sejatinya tak layak menyandang predikat sebagai produk (asli) Indonesia.

 

Arah Kebijakan

 

Telah disinggung sebelumnya, bahwa sudah lama Pemerintah Indonesia meratifikasi WTO (World Trade Organisation). Demikian juga untuk level ASEAN, Indonesia juga sudah terikat kontrak dengan suatu perjanjian perdagangan yang bernama AFTA, ASEAN Free Trade Agreement. Dengan dengan demikian, praktis pasar Indonesia adalah ruang bebas yang siapa pun boleh menjamahnya, tanpa kecuali. Benar, sepertinya fenomena pasar bebas, nyaris tak bisa dihindarkan oleh negara manapun, termasuk Indonesia.

 

Namun persoalannya, inilah perbedaan diametral antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain. Negara lain, termasuk China, sebelum meratifikasi WTO, mereka telah terlebih dahulu membuat regulasi dan kebijakan yang berfungsi untuk melindungi kepentingan nasional, baik pada sektor pelaku usaha, atau bahkan untuk konsumennya. Namun, tidak demikian halnya dengan pemerintah Indonesia. Tidak kurang dari 70 persen, baik produk barang dan atau sektor jasa, praktis telah “dihibahkan” secara penuh demi kepentingan dan kepemilikan asing.

***

 

Usaha mendorong konsumen dan masyarakat Indonesia untuk mencintai dan menggunakan produk dalam negeri, patut didukung. Dan seyogyanya masyarakat konsumen di Indonesia juga harus mulai mereposisi “ideologi” dan politik belanjanya. Kalau masih bisa berbelanja di pasar tradisional, mengapa harus pergi ke hipermarket yang dimiliki oleh asing? Lagi pula, iming-iming harga murah yang oleh promosi hipermarket (dan juga minimarket asing), hanyalah lips service saja.

 

Perubahan perilaku dan politik belanja konsumen, bukan persoalan “nasionalisme” semata,  tapi juga untuk menjaga kontinyuitas perekonomian Indonesia secara umum. Sebab, ketika kita mengonsumsi jeruk santang misalnya, maka yang akan diuntungkan adalah petani di China. Bukan petani jeruk di Medan atau di Pontianak. Malah yang terjadi sebaliknya, petani jeruk di kedua daerah tersebut, akan sekarat, karena jeruknya kalah bersaing dan tidak laku di pasaran.

 

“Mata” seorang konsumen, dalam menggunakan suatu barang dan atau jasa, tidak hanya bersifat tunggal. Tidak hanya memperhatikan aspek kualitasnya saja. Perspektif konsumen musti meluas, dan komprehensif. Aspek lingkungan global, ekonomi makro, bahkan aspek hak asasi manusia juga musti menjadi perhatian konsumen.

 

Oleh karenanya, pemerintah harus konsisten. Janganlah masyarakat dan konsumen Indonesia didorong untuk menggunakan produk barang dan jasa dalam negeri, tetapi kebijakan dan regulasi pemerintah malah sebaliknya; mereduksi pasar dalam negeri secara sistematis. Pemerintah membuka keran pasar impor seluas mungkin, sehingga pasar Indonesia digerojok habis dengan produk impor. Sehingga, konsumen sangat kesulitan untuk memilih dan menentukan barang/jasa mana yang benar-benar produk (asli) Indonesia.

 

Tanpa adanya kebijakan dan regulasi yang berpihak pada kepentingan pasar dan masyarakat Indonesia, maka kampanye untuk mencintai dan menggunakan produk dalam negeri, adalah bentuk kamuflase dan omong kosong belaka. Bahkan merupakan bentuk pengelabuhan dan pengalihan tanggungjawab yang dilakukan oleh negara. ***

 

Tulus Abadi – Pengurus Harian YLKI