Jum’at pagi, selepas sholat shubuh, dari sebuah home stay; saya dan keluarga menyusuri Pantai Anyer. Melewati beberapa pantai ternama di sepanjang Anyer, seperti Pantai Sambolo, Pantai Pasir Putih, dan Pantai Karang Bolong. Dan berhentilah saya yang katanya merupakan ujung dari Pantai Anyer, yakni Pantai Matahari Carita, yang berlokasi di Kabupaten Pandeglang. Sebuah pantai yang biasa-biasa saja; tanpa fasilitas yang memadai, dan bahkan pantainya pun tidak bisa dipakai untuk anak-anak bermain. Pantai masih relatif sepi, hanya ada beberapa gelintir pengunjung dengan mobilnya.

Kemudian saya dan rombongan keluarga merapat ke area parkir Pantai Matahari Carita.  Kemudian mendekatlah seorang pemuda bertampang kumal dan agak gelap. Tak berapa jauh ada juga seorang pemuda lain, temannya. “…maaf Pak, satu mobil tarifnya Rp 100.000, jadi kalau 3 mobil Rp 300.000..’, kata pemuda itu, sembari menunjukkan tiket yang memang menyebutkan tarif Rp 100.000. Wow, tentu saya meradang dan menolaknya. “…oke Pak, saya berikan diskon 100 ribu, jadi tarifnya Rp 200.000. Ah, enak amat, tak memberikan prestasi apa-apa, meminta uang seenaknya. Akhirnya saya tinggalkan pantai itu dengan perasaan dongkol: pungli!

Saya pun pindah ke pantai lain, yang sekitar  5 km jaraknya dari Pantai Matahari Carita, yakni Pantai Jambu, karena letaknya dipertigaan Jambu. Tak ada fasilitas apa-apa di pantai itu, selain beberapa saung sederhana yang berdiri di bibir pantai. Merapatlah saya di pantai tersebut, karena terlihat landai, dan beberapa anak kecil pada mandi. Setelah parkir mobil selesai, mendekatlah seorang Bapak, yang langsung menyobek 3 helai kertas, “… per mobil Rp 50.000 Pak, jadi 3 mobil Rp 150.000..”. Kendati tarifnya lebih rendah,saya tetap bersungut-sungut dan hendak meninggalkan pantai itu: pungli lagi!! Aku pun mengajak anak-anak dan keluarga untuk pindah pantai saja, “…yuk, ke Pantai Karang Bolong saja…”. Mendengar saya mau ke Pantai Karang Bolong, tukang pantai itu lantang menukas, “.. di Pantai Karang Bolong lebih mahal Pak, per kepala Rp 15.000, belum parkirnya. Di sini cuma Rp 50.000, sudah komplit. Bapak bisa pakai saung ini…”. Gubrakk, pikirku.

Oh, ini ironi namanya. Apa gunanya tertulis ” Pantai Umum”, tetapi untuk memasuki area pantai itu dikenakan tarif  yang (relatif) mahal. Kalau masuk sebagai setoran PAD, wah, tentu bagus. Lha kalau untuk preman, atawa oknum pemerintah yang berkomplot dengan preman??? Bagaimana dengan rakyat kecil yang tak punya fulus, pupuslah untuk memasuki area pantai.  Sedangkan semua area pantai sudah dikangkangi hotel, resor!  Tak ada lagi pantai milik publik, yang ada hanyalah pantai yang dikangkangi pemilik modal.  Apakah Gubernur  Rano Karno bisa mengatasi hal ini, atau malah membiarkannya?   Salam dari Pantai Anyer.. (Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, 0811 1950 30).