Satu kematian membuat heboh, tetapi kematian yang banyak (masal) biasanya hanya menjadi statistik saja; begitu sindir Joseph Stalin. Tampaknya sindiran Joseph Stalin itu sangat relevan untuk menggambarkan jumlah korban meninggal dalam kecelakaan lalu lintas pada prosesi Mudik Lebaran.

Saban tahun, prosesi mudik lebaran menelan ratusan nyawa melayang, tak terkecuali pada mudik Lebaran 2015 ini; 657 orang meninggal dunia! Selebihnya, 1.068 orang mengalami luka berat, dan 3.922 orang mengalami luka ringan. Bahkan, berdasar kalkulasi penulis, selama 5 (lima) tahun terakhir (2011-2015), korban meninggal laka lantas pada mudik Lebaran tidak kurang dari 3.631 orang, korban luka berat 6.759 orang, dan korban luka ringan 20.569 orang. Kecelakaan mudik Lebaran tak ubahnya sebuah bencana yang terulang.

Indikator mengapa ribuan korban meninggal hanya menjadi data statistik, karena nyaris tak ada sense of emergency, sekalipun hanya berupa kalimat verbal! Terbukti, pada kecelakaan mudik 2015, yang jelas-jelas telah menewaskan 657 orang, praktis tak ada respon cepat dari Presiden Jokowi. Fenomena ini sangat berbeda saat terjadi kecelakaan pesawat, lazimnya, Presiden Jokowi langsung menggelar jumpa pers, mengucapkan bela sungkawa, plus berjanji akan memberikan berbagai santunan. Tetapi, ironisnya, terhadap korban lakalantas, yang menelan korban berkali lipat dibanding kecelakaan pesawat, boro-boro menggelar jumpa pers, pun tak terbersit ucapan duka cita dari Presiden Jokowi. Indikator berikutnya, mengapa tak ada sense of emergency terhadap lakalantas mudik Lebaran, terbuki tidak ada kebijakan baru yang bertujuan menekan dan mengurangi atau bahkan menghilangkan korban fatalitas/mortalitas pada mudik Lebaran itu. Padahal mudik Lebaran adalah ritual tahunan, dan permasalahan yang muncul juga tidak mengalami perubahan. Pemerintah, Kemenhub, dan juga pihak kepolisian hanya berkutat pada naik turunnya jumlah serta prosentasi kecelakaan, berikut korban yang ada. Padahal, sekalipun angka lakalantas itu mengalami penurunan, toh hanya sekelumit saja. Terbukti, turunnya angka kecelakaan mudik Lebaran 2015 hanya 8 (delapan) persen untuk angka mortalitas. Apakah turunnya angka korban meninggal yang sangat kecil itu bisa diklaim sebagai sebuah keberhasilan?

Musabab terhadap tingginya korban mortalitas dan fatalitas saat mudik Lebaran, sejatinya sudah terang-benderang. Yakni, pemerintah tidak mampu menyiapkan sarana transportasi publik (masal), sebagai sarana mobilitas mudik. Sarana transportasi publik seperti kereta api, yang akhir-akhir ini sudah mengalami perbaikan dan menjadi primadona masyarakat, kenapa tidak ditambah kapasitasnya? Akibatnya, banyak pemudik yang tidak mampu mengakses kereta api. Belum lagi managemen ticketing yang sangat tidak berpihak pada wong cilik. Harga tiket kereta api yang menyundul langit – karena tidak lagi disubsidi oleh pemerintah, bahkan termasuk harga tiket kereta api ekonomi.

Akibat dari itu semua, pemudik akhirnya berjibaku dengan sepeda motor untuk mudik ke kampung halamannya. Sepeda motor itulah yang terbukti menjadi ‘mesin pembunuh” paling ampuh bagi pemudik. Terbukti, lebih dari 72 persen korban fatalitas pemudik adalah melibatkan pengguna sepeda motor. Terhadap fenomena maraknya mudik dengan sepeda motor, yang mulai marak pada 1997, hingga detik ini belum ada kebijakan konkrit untuk menguranginya, membatasinya. Bahkan pemudik sepeda motor pun makin marak. Produsen sepeda motor pun tampak adem ayem, tanpa sedikitpun bertanggungjawab. Rendahnya edukasi safety riding bagi pengguna sepeda motor, mengakibatkan perilaku pengguna sepeda motor acap tidak menjunjung dan mengedepankan safety, bagi dirinya dan bahkan orang lain.

INFRASTRUKTUR HANDAL 

Pada akhirnya, tanpa sense of emergency yang konkrit, yang terelaborasi dalam kebijakan-kebijakan, maka ratusan nyawa warga Indonesia akan kembali terenggut pada mudik Lebaran berikutnya; 2016, 2017, 2018, dan seterusnya. Ratusan, bahkan ribuan nyawa warga Indonesia akan melayang sia-sia, padahal mereka hanya ingin merayakan Lebaran dengan cara mudik ke kampung halamannya.

Sebagai perbandingan, prosesi mudik ke kampung halaman, bukan hanya tipikal Indonesia, tetapi juga negara-negara lain seperti di Amerika (dengan Thanks Giving Day), di China, dan juga di negara-negara Eropa, saat natal dan tahun baru. Tetapi di negara-negara itu tidak ada korban masal yang merenggut nyawa, seperti di Indonesia. Itu semua karena negara-negara tersebut telah infrastruktur transportasi yang sangat memadai. Sehingga, dengan moda transportasi yang memadai itu, kapasitas dan keselamatan transportasi menjadi sangat terjaga. Akankah Indonesia menjelma menjadi negara barbarian, yang membiarkan rakyatnya mati konyol di jalan raya?

(Penulis : Tulus Abadi)