Istilah big sale, super promo, obral gede dan pesta diskon agaknya menjadi kata yang paling menarik bagi mereka yang suka berbelanja, bahkan yang tidak suka sekalipun. Anggapan bahwa seseorang dengan pengeluaran sesedikit mungkin akan memperoleh barang yang diinginkan, sejurus dengan prisnsip ekonomi yang lebih dulu dikenal. Lewat event tersebut juga, menjadi ajang pelaku usaha menjaring konsumen. Pusat perbelanjaan atau mal menggelar barang dagangan yang konon lebih murah dari harga semestinya. Jurus banting harga seperti ini, bukan merupakan hal baru dalam strategi menarik konsumen. Dan efektivitasnya memang tidak perlu diragukan.

 

Demi lebih banyak menarik minat konsumen, tak pelak iklan pun proaktif dilakukan, bahkan condong provokatif. Hampir disetiap media massa begitu gampang ditemui jenis iklan obral gede-gedean ini. Dengan gambar dan corak mencolok warna warni, iklan big promo begitu mudah dijumpai di media cetak. Mengambil ukuran seperempat halaman, setengah bahkan satu halaman penuh. Tentu saja selain gambar, pemilihan katanya begitu menggoda dan menggiurkan bagi pembaca dengan angka diskon fantastis. Coba tebak siapa yang tidak akan tergoda dan menjadi lapar mata ketika membaca tulisan gede dengan angka diskon mencapai 90%? Inilah yang menjadi bagian strategi pemasaran yang terbilang kreatif nan inovatif.

 

Lewat promo seperti ini, pelaku usaha berhasil menggiring dan merayu calon konsumen agar rela merogoh kocek dan membeli sesuatu yang belum tentu dibutuhkan. Beragam jenis produk branded yang ditawarkan, acap membuat simbol status konsumen akan tergugah. Pada tahap ini, kesadaran akan penting tidaknya suatu produk harus dimiliki seseorang tidak lagi jadi pertimbangan utama, karena simbol status pemiliknya menjadi semacam taruhan dalam interaksi sosial mereka. Konsumen ’terbutakan’ dengan keinginan membeli sesuatu barang ber-merek dibanding pertimbangan kebutuhan mememiliki barang tersebut.

 

Contoh dalam kasus seperti ini adalah ketika akhir bulan April lalu, di salah satu pusat perbelanjaan papan atas Jakarta menggelar promo diskon besar terhadap sebuah perhiasan bermerk ternama. Alhasil, antiran panjang mengular para calon konsumen elit berduit menjadi pemandangan yang lazim ketika itu. Mereka rela berdesakan demi mendapatkan perhiasan berlian merek terkenal di gerai perhiasan mal tersebut.

 

Tidak tanggung tanggung diskon yang ditawarkan untuk mendapatkan berlian itu. Angka diskon hingga mencapai 90 persen. Kendati sebetulnya tidak jelas benar berapa persisnya harga normal sebelum didiskon berlian-berlian yang berupa kalung, gelang, anting dan cincin itu. Harga jual perhiasan setelah diskon mulai dari 100 ribu rupiah hingga mencapai puluhan juta rupiah, bergantung besar kecil, model dan mutu barang yang ditawarkan. Malangnya, masalah klasik dari sebuah promo big sale adalah tidak terdapatnya informasi yang cukup terhadap berapa banyak jumlah masing-masing jenis perhiasan berlian itu yang akan ditawarkan dengan harga diskon.

 

Bukan hanya perhiasan, di tengah pusat perbelanjaan lain di Jakarta, menawarkan pesta diskon terhadap produk alas kaki ternama yang lagi digandrungi. Sandal bermerek yang biasanya ditawarkan dengan harga mencapai ratusan ribu bahkan jutaan, ditawarkan dengan potongan harga hingga 70 persen. Bedanya, kendati tidak menyebutkan berapa jumlah barang yang ditawarkan, pusat perbelanjaan ini memberikan batasan waktu pesta diskon hingga 5 (lima hari) kedepan. Konon, untuk mendapatkan sepatu sandal unik ini, konsumen harus rela mengantri tidak kurang dari 2 jam.

 

Kebutuhan vs Gengsi

 

Berbelanja saat diskon memang menyenangkan dan dapat menguntungkan karena jumlah duit yang harus dikeluarkan lebih sedikit dari semestinya. Tentunnya ini menjadi salah satu cara untuk berhemat. Bila dalam harga normal tercantum 200 ribu rupiah, tetapi karena mendapatkan diskon 50 persen, konsumen tinggal membayar separo dari harga normal. Namun juga patut dicermati, berapakah harga normal sewajarnya sebelum terjadi diskon? Sebab sikap dan perilaku konsumtif konsumen itulah yang diinginkan oleh pelaku usaha.

 

Alhasil konsumen terjebak pada kondisi pemenuhan keinginan dibandingkan dengan kebutuhan. Pada tahap ini dasar pertimbangan seseorang membeli produk berdasar pada terpuaskannya emosi memenuhi hasrat memiliki sesuatu yang bisa bermuara pada gengsi dan harga diri.

 

Melihat fakta yang terjadi disekitar kita sebenarnya terdapat fenomena sosial yang dengan tangkas ditangkap pelaku bisnis. Bahwa pelaku usaha agaknya sengaja menyentuh konsumen dengan cara menjual simbol status, gaya hidup, dan pencitraan. Tanpa pemenuhan konsumsi atas produk yang ditawarkan, dikondisikan seolah-olah hidup seseorang belum lengkap, merasa tidak modern, tidak gaul, tidak modis, tidak progresif dan tidak merasa eksis di lingkungan sosialnya

 

Diskon atau potongan harga pada produk terkenal (branded) untuk kebutuhan sekunder bagi konsumen adalah merupakan pertaruhan gengsi dan status sosial. Jadi berbelanja tidak lagi didasarkan pada kebutuhan tetapi lebih didasarkan pada keinginan yang bermuara pada gengsi. Hal inilah yang membentuk konsumtif bagi konsumen. Jadi berburu diskon produk bermerek (branded) adalah sekedar memburu gengsi dan status sosial.

 

Berburu barang saat pesta diskon memang menguntungkan, namun apakah barang yang dibeli memang merupakan barang yang kita butuhkan atau hanya sekedar membeli untuk gengsi? Hanya kita sendiri yang tahu dan bisa menjawabnya.

*****

Sularsi – Staff YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)