Kemacetan masih menjadi momok bagi warga ibukota dan bahkan bagi Pemprov DKI Jakarta selaku pemangku regulasi. Masalah ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum mendapatkan jalan keluar dan penyelesaian. Berbagai upaya kebijakan yang telah digulirkan oleh Pemrov DKI Jakarta agaknya belum mampu menyentuh dan mengurai kemacetan yang kian hari kian bertambah rumit.

 

Tercatat tidak kurang dari 8 (delapan) program telah dilaksanakan untuk mengurangi kemacetan sepanjang jalanan Jakarta. Beberapa tahun lalu Pemprov DKI Jakarta mengenalkan program three in one (3 in 1). Peraturan berkendaraan di sebuah kawasan wajib berpenumpang tiga tersebut diberlakukan pagi mulai pukul 07.00-10.00 dan sore pukul 16.00-20.00 WIB. Tak hanya itu, transportasi berbasis publik pun di sediakan, dengan menggelindingnya bus Trans Jakarta, selanjutnya penataan lahan parkir dan tarifnya, penertiban pedagang kakilima (PKL) yang menggunakan jalur atau badan jalan. Yang masih tergolong segar tentu saja kebijakan memajukan jam sekolah dari pukul 07.00 menjadi 06.30, serta pembedaan jam masuk kantor dilima wilayah DKI.

 

Selain itu, pemprov DKI Jakarta juga mengupayakan sistem pembayaran dengan alat elektronik untuk dapat melewati kawasan tertentu yang dikenal dengan electronic road pricing (ERP), selanjutnya mass rapid transit (MRT) dan waterway, kendati mangkrak tidak dapat berjalan.

 

Kebijakan terkait Kemacetan Jakarta

No

Kebijakan

Keterangan

1

Program three in one Tertuang dalam Perda No 12 Th 2003 tentang Three in one

2

Penataan Parkir dan tarifnya Tertuang dalam Perda No 5 tahun 1999 tentang Perparkiran

3

Pengadaan Sarana transportasi Trans Jakarta Sampai saat ini sudah 10 koridor yang direncanakan, 8 diantaranya sudah berjalan

4

Penertiban PKL Penataan PKL di beberapa jalan utama.

5

Memajukan jam Sekolah Efektif berlaku mulai 5 Januari 2009.

6

Pembedaan jam masuk kantor di 5 wilayahJakarta Membedakan jam masuk karyawan swasta. Wilayah JakPus dan JakUt masuk jam 07.00, JakTim dan JakBar jam 08.00, JakSel jam 09.00. Masih berupa himbauan, akan menjadi sebuah ketetapan.

7

Sistem ERP (Electronic Road Pricing) Program yang mengharuskan pengendara kendaraan bermotor membayar untuk melewati kawasan tertentu dengan menggunakan kartu elektronik. Direncanakan

8

Rencana Pemberlakuan nomor Polisi ganjil-genap di hari berbeda Direncanakan

 

 

Alih-alih mengurangi kemacetan, kebijakan tersebut acapkali menuai pro dan kontra. Bahkan tidak jarang dari kebijakan itu memunculkan permasalahan baru dikemudian harinya. Lihatlah betapa penegak hukum harus bekerja keras untuk menghapus para joki yang menawarkan jasanya sekedar melewati jalan yang berpredikat 3 in 1. Belum lagi masalah lain seperti berkurangnya lebar jalan yang justru memunculkan titik kemacetan baru karena sebagian badan jalan digunakan untuk jalur busway.

 

Program boleh digulirkan, namun data menunjukan bahwa hilir mudik kendaraan pribadi masih tetap memenuhi sepanjang jalan serta pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotorpun berlangsung positif. Coba simak data dari PT Pamintori Cipta, yang merupakan konsultan Pemprov DKI, menyebutkan bahwa pada tahun 2008 yang lalu tercatat jumlah kendaraan di Jakarta mencapai 5,8 juta unit dan kendaraan yang masuk ke Jakarta sekitar 700 ribu unit perhari. Dari sejumlah itu hanya sekitar 2 %-nya atau setara dengan 84.891 unit yang merupakan kendaraan angkutan umum, selebihnya sebanyak 5,4 juta unit (98%) merupakan kendaraan pribadi. Hal ini dapat dimengerti melihat rata-rata pertumbuhan kendaraan bermotor di wilayahJakartamencapai 9,5 % pertahunnya, sementara pertumbuhan jalan sangat jauh dibawahnya, hanya 0,01% pertahun. Sampai tahun ini, panjang jalan diJakartamencapai 7.650 kilometer.

 

Survei dari PT Pamintori Cipta juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2008 terdapat rata-rata 20,7 juta perjalanan setiap hari di Jakarta. Dari sejumlah itu, didominasi penggunan kendaraan bermotor (motorized), baik mobil maupun kendaraan roda dua, yang mencatat 57 %-nya. Sedangkan 40% perjalanan tanpa menggunakan kendaraan bermotor (non motorized) dan 3% sisanya menggunakan jalur kereta api.

 

Berdasarkan jenisnya, dari 20,7 juta perjalanan terklasifikasi menjadi perjalanan ke tempat kerja 6,6 juta perjalanan (32%), sekolah 6,2 juta perjalanan (30%), berbelanja 2,3 juta perjalanan (12%), privacy 3,6 juta perjalanan (18%) dan bisnis 1,6 juta perjalanan (8%). Pada umumnya, semua aktifitas tersebut dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan jalan dalam waktu bersamaan. Hal ini lah yang memunculkan terjadinya kemacetan serius di jalanan ibukota. Survei Dinas Perhubungan DKI menemukan bahwa puncak kemacetan terjadi pada pukul 07.00–09.00.

 

Pembatasan Kendaraan

 

Kendati demikian, seolah tak kehabisan akal dan patah arang, Pemprov DKI kembali berencana mengurai kemacetan dengan membatasi jumlah kendaraan pribadi yang berlalu lalang di jalan-jalan ibukota. Kebijakan membatasi jumlah kendaraan dengan menghidupkan kembali aturan penggunaan kendaraan bernomor polisi ganjil dan genap tersebut rencananya dilaksanakan padi ahkir tahun 2009.

 

Hal ini seperti diungkapkan oleh Gubernur Fauzi Bowo, bahwa untuk mengurangi kemacetan, pihaknya akan mewacanakan peraturan yang membatasi jumlah kendaraan dan meningkatkan pelayanan angkutan umum. Pembatasan tersebut lebih disebabkanJakartamempunyai keterbatasan pengembangan jalan untuk menampung kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan pribadi yang mengaliri jalan ibukota semakin hari kian bertambah banyak, sementara pengembangan jalan hanya statis. Kepadatan ini selain berasal dari kendaraan yang ada di wilayahJakarta, juga ditambah dengan kendaraan yang masuk ke wilayahJakartasetiap harinya.

 

Rencana pemerintah untuk menggulirkan program selanjutnya, patut diapresiasi demi mengatasi kemacetan. Namun, terdapat beberapa catatan yang perlu digaris bawahi terkait dengan wacana menggulirkan program pembatasan kendaraan pribadi.

 

Pertama, meningkatnya jumlah pengguna kendaraan pribadi merupakan bukti ketidakmampuan pemerintah melaksanakan program sebelumnya, yaitu menyediakan sarana angkutan massal yang aman, nyaman, dan murah. Program Trans Jakarta yang sedianya digadang-gadang menjadi angkutan publik ternyata belum memberikan hasil yang memuaskan. Demikian juga dengan pembangunan sarana transportasi lain yang sampai sekarang masih belum menunjukan hasil maksimal, bahkan sebagian diantaranya mandeg.

 

Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap keefektifan program pembatasan kendaraan pribadi. Di satu sisi Pemprov tidak dapat melarang kendaraan dari luar daerah untuk memasuki ibukota, sedang di sisi lain dengan sistem transportasi massal yang selama masih karut marut, sulit untuk menarik minat masyarakat pada sarana transportasi jenis ini.

 

Kedua, rencana pembatasan kendaraan di jalan ibukota, tidak akan mudah diterapkan. Karena selain akan mendapatkan penolakan dari masyarakat, kebijakan tersebut merupakan tindakan represif sebagai akibat ketidak mampuan pemerintah mengatasi kemacetan di Jakarta. Program pembatasan kendaraan pribadi di jalanan ibukota dibutuhkan pemikiran yang lebih elegan dengan penyelesaian win-win solution. Apalagi, jika melongok penerimaan pajak dari kendaraan bermotor yang mencapai 6 triliun pertahun masuk ke kas DKI, masih menjadi sumber utama pemasukan daerah.

 

Nah, kebijakan apapun yang akan digulirkan Pemprov DKI untuk mengatasi kemacetan tidak akan efektif selama tidak dilakukan pembenahan komprehensif di segala lini. Keseriusan pemprov DKI dalam penyediaan angkutan berbasis massal penting menjadi prioritas. Pembenahan Trans Jakarta serta mempercepat pembangunan mass rapid transit (MRT) yang sejauh ini terhenti.

 

Persoalan kemacetan tidak bisa diselesaikan sendiri tanpa melibatkan stakeholder lain, termasuk dalam pengelolaan pendapatan daerah dari pajak kendaraan, parkir dan pemasukan lain terkait tata kelola transportasi. Jika hal ini dilakukan, tidak ada alasan tak berdana bagi Pemprov DKI untuk membenahi sarana transportasi.

 

Agus Sujatno- Staff YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)