Roda pemerintahan Presiden Joko Widodo, tak terasa sudah berjalan tiga tahun. Dengan segala dinamika dan hingar-bingarnya, baik pada konteks politik, hukum, sosial dan ekonomi, eksistensi pemerintahan Presiden Joko Widodo layak diberikan apresiasi. Salah satu hal terpenting yang patut disorot selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo adalah masalah pemenuhan hak-hak publik dan perlindungan konsumen. Dalam hal ini terdapat beberapa kasus/isu perlindungan konsumen yang mengemuka.

Pertama, stabilitas pasokan dan harga pangan. Stabilitas pasokan komoditas pangan relatif stabil, tak ada kekurangan pasokan, walau harus membuka keran impor, termasuk beras. Kebijakan impor pangan sejatinya tidak relevan dengan janji saat kampanye capres bahwa impor pangan adalah hal yang akan dilarang. Soal gejolak harga pangan juga cukup masif, mulai barga beras, daging sapi, cabe keriting bahkan terakhir adalah harga garam. Harga beras relatif terkendali, tapi harga daging sapi tampaknya masih jauh panggang dari api. Titah Presiden Jokowi agar harga daging sapi harus Rp 80.000 per kg. Faktanya sampai detiķ ini harga daging sapi masih bertengger lebih dari Rp 110 ribuan per kg. Harga cabe keriting (cabe rawit) pun sempat menyundul hingga Rp 120.000 per kg. Dan sekarang jatuh kelevel Rp 20.000 per kg. Ini menandakan ketahanan pangan pangan masih rentan. Apalagi masalah kedaulatan pangan, masih remang-remang.

Kedua, terkait kebijakan harga energi, khususnya harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Rezim Jokowi seolah menerima durian runtuh terkait turunnya harga minyak mentah dunia. Sebab dengan turunnya harga minyak mentah dunia, Jokowi tak perlu dipusingkan dengan subsidi bahan bakar minyak, tak perlu menaikkan harganya, yang mayoritas disedot oleh masyarakat menengah perkotaan. Dengan fenomena demikian, bahkan Presiden Jokowi berani menerapkan harga bahan bakar minyak di level retailer dengan standar keekonomiannya. Namun ambruknya harga minyak mentah sejatinya juga merupakan petaka bagi PT Pertamina. Akibat harga minyak mentah ambruk, nett profit PT PT Pertamina nyaris collaps. Beruntung kesehatan finansial PT Pertamina tetap terjaga, tidak seperti perusahaan minyak dunia yang mengalami bleeding serius. Turunnya harga minyak mentah dunia pun berimplikasi terhadap tarif dasar listrik. Sejak 2017 pemerintah memberlakukan tarif otomatis (judmen tariff) pada tarif listrik. Judmen tariff sama dengan (tarif keekonomiannya, sebagaimana harga bahan bakar minyak. Tarif berbasis keekonomiannya adalah formulasi tarif/harga yang mendasarkan pada harga minyak mentah dunia, kurs rupiah terhadap dolar Amerika dan laju inflasi. Model kebijakan tarif seperti ini sebenarnya high risk, sebab pada hakekatnya tarif energi berdasarkan mekanisme pasar secara konstitusional dilarang. Benar UU tentang Energi mengamanatkan bahwa komoditas energi dijual berdasar harga keekonomiannya, namun hal ini bukan berarti berbasis market mechanism tanpa intervensi negara sama sekali.

Ketiga, terkait daya beli konsumen. Penjualan di level retailer menurut data mengalami penurunan. APRINDO merilis bahwa penurunan itu mencapai…. dan disimpulkan bahwa hal itu dipicu oleh merosotnya daya beli konsumen. Terhadap klaim ini pemerintah tidak terima begitu saja. Menurunnya penjualan diretailer modern diklaim karena kalah bersaing dengan sektor perdagangan online, e-commerse. Tetapi jika ditelusuri klaim pemerintah juga tidak cukup sahih, sebab faktanya kontribusi perdagangan online pada sektor retail masih sangat kecil, yakni hanya 3,1 persen saja (2017). Fenomena menurunnya penjualan tampaknya bukan hanya terjadi di retailer modern saja, tetapi juga dialami oleh para pedagang keliling dan warung tradisional. Mereka mengaku omsetnya turun. Apalagi terbukti juga beberapa franchise retailer modern menutup gerainya seperti Seven Eleven, dan terakhir gerai modern Lotus. Apakah hal ini masih akan dibantah? Oleh banyak ekonom/pengamat ekonomi fenomena ini terjadi karena Presiden Jokowi terlalu bernafsu memutar uang APBN untuk kegiatan pembangunan infrastruktur. Jalan tol Trans Jawa, Jalan Tol Trans Sumatera, LRT, pembangkit listrik 35.000 MW, adalah beberapa contoh mega proyek infrastuktur yang pasti rakus anggaran.

Keempat, kasus calon jemaah umroh. Akhir tahun ini publik dihebohkan dengan menyeruaknya kasus umroh murah, yang ujungnya menelan puluhan ribu korban. Yang paling dominan adalah biro umroh First Travel, dengan korban tak kurang dari 62 ribuan calon jemaah, dengan nominal kerugian tak kurang dari Rp 532 milyar. Belum lagi biro umroh lain dengan korban yang sama dan sebangun. Dalam kasus umroh bermasalah YLKI menerima 22.635 pengaduan dari 6 (enam) biro umroh. Belum lagi biro umroh lain yang tidak terdeteksi. Maraknya biro umroh bermasalah lebih dikarenakan lemahnya pengawasan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Kemenag hanya getol memberikan izin operasi biro umroh, tapi letoy dalam pengawasan. Masifnya korban umroh bermasalah adalah bukti nyata gagalnya Kemenag sebagai regulator pengawas umroh. Sampai detik ini korban umroh tak bisa menuntut kerugian apapun atas kasus yang menimpanya. Kemenag pun hanya termangu-mangu dibuatnya.

Kelima, kenaikan cukai rokok. Baru-baru ini Menteri Keungan menaikkan cukai rokok sebesar 10,04 persen. Besaran kenaikan ini mencerminkan Menkeu “gagal paham” dalam dua hal. Yang pertama gagal memahami bahwa cukai adalah sin tax (pajak dosa), dan gagal paham bahwa APBN defisit karena jebloknya pendapatan pajak. Menkeu juga gagal paham bahwa ambruknya finansial BPJS juga akibat konsumsi rokok. Pada 2017 kerugian BPJS diprediksi mencapai Rp 12 teilyun, naik signifikan dibanding kerugian pada 2016 yang mencapai Rp 9 trilyun. Dengan fenomena yang demikian, Menkeu seharusnya berani menaikkan cukai rokok secara progresif, minimal 20 persen. Sebab, kenaikan cukai 10,04 persen pada 2017, adalah suatu kemunduran, karena pada 2016 kenaikan cukai rokok mencapai 11,19 persen. Tragis!

Keenam, transportasi berbasis aplikasi (online). Selama tiga tahun terakhir, sektor transportasi di Indonesia dihebohkan dengan munculnya moda transportasi berbasis aplikasi, atau lazim disebut transportasi online, baik roda empat dan atau roda dua. Hadirnya transportasi online disatu sisi disambut gembira oleh masyarakat konsumen, yang merasa dimudahkan dan tarifnya pun dianggap murah. Namun disisi lain menimbulkan reaksi keras dari transportasi konvensional, yang merasa terancam. Bahkan fenomena ini tak urung menimbulkan konflik horisontal, di berbagai daerah, termasuk di Jakarta. Fenomena ini terjadi karena sikap lamban dan tidak tegasnya dari pemerintah. Bahkan Presiden pun tampak salah kaprah dalam menyikapi kehadiran transportasi online ini. Presiden menganggap bahwa transportasi online adalah usaha mikro. Loh mikro yang mana sih, faktanya pemilik transportasi online adalah pemodal besar, korporasi multinasional? Intinya bahwa transportasi online adalah sebuah keniscayaan, tetapi janganlah dibiarkan tanpa aturan. Di kota-kota lain di dunia juga terjadi hal yang sama, taksi online tetap ada pengaturan tegas. Ini harus menjadi tantangan bagi sektor transportasi konvensional untuk memperbaiki managerialnya guna meningkatkan pelayanannya.

Dan ketujuh, soal Meikarta. Dengan promosinya yang sangat masif dan sistematis, Meikarta bak membius konsumen Indonesia. Apalagi dengan iming-iming booking fee yang hanya Rp 1 juta, dan harga produk yang relatif terjangkau, mulai Rp 127 juta. Mega proyek Meikarta bukan hanya berpromosi di media nasional, tapi juga media-media lokal. Artinya jangkauan pemasarannya berskala nasional. Sayangnya, keberadaan Meikarta masih belum terang benar soal perizinan. Pemrov Jabar pun sempat ngamuk karena hal ini. Namun tampaknya Meikarta bergeming, proyek tetap berlanjut dan promosi pun tiada henti. Konsumen dalam posisi risiko tinggi untuk bertransaksi. YLKI pun merilis informasi agar kosumen tak melakukan transaksi apapun dengan Meikarta. Banyaknya pengaduan konsumen ke YLKI membuktikan betapa risiko pelanggaran hak konsumen sangat tinggi. Booking fee yang dijanjikan refundable, terbukti tidak refundable, dengan alasan yang tidak jelas. Tetapi ironisnya pemerintah pusat abai dengan persoalan ini. Kementerian PUPR tak menganggap ada keganjilan. Kementerian PUPR menganggap promosi Meikarta dengan pree project selling-nya dianggap hal lumrah. Pihak perbankan, BTN, malah menganugerahkan ke Meikarta sebagai perusahaan properti yang inovatif. Padahal proyek Meikarta menyimpan bom waktu bagi kota Jakarta. Sungguh ironis, mega proyek sebesar Meikarta hanya mengantongi izin skala lokal saja, yakni perizinan Pemkab Bekasi. Sungguh aneh.

Kesimpulan dan saran
Presiden Joko Widodo, dengan instrumen Nawacita, sejatinya merupakan peta jalan yang cukup komprehensif untuk menuju Indonesia yang lebih baik. Namun dalam praktik tampaknya tak semudah membalik telapak tangan. Bahkan dalam beberapa hal, secara ideologis beberapa kebijakan yang digulirkan  malah bertabrakan dengan Nawacita. Contoh soal impor komoditas pangan, khususnya untuk beras dan daging sapi, jelas tidak sejalan dengan janji Nawacita. Demikian juga dengan menyerahkan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik pada mekanisme pasar, jelas tidak sejalan dengan Nawacita dan janji kampanye. Malah ironisnya, menjelang 2019 tampaknya kebijakan harga kembali ke era politisasi. Sebagai contoh, Kementerian ESDM menyatakan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik tidak akan dinaikkan pada 2017 ini. Padahal jika konsisten dengan mekanisme pasar, pada akhir 2017 seharusnya harga bahan bakar minyak dan tarif listrik mengalami kenaikan. Sebab harga minyak mentah dunia sudah menyundul 50 dolar Amerika per barel, sedangkan pagu di APBN hanya 45 dolar Amerika per barel. Pada 2018 kondisinya akan makin dilematis. Harga minyak dunia diprediksi akan rebound ke level yang lebih tinggi. Sementara pada 2018 sudah dinyakatakan sebagai tahun politis. Yang artinya adalah tahun pencitraan, pendekatan populis, dan endingnya menggelontorkan subsidi. Dampaknya, kesehatan finansial APBN akan berdarah-darah lagi, alias bleeding.

Tahun politik tak bisa dihindari. Namun janganlah kebijakan yang digulirkan nantinya hanya berbasis pencitraan, populisme. Konsisten dengan Nawacita, seharusnya menjadi basis utama dalam kebijakan Presiden Joko Widodo. Memantapkan pangan menuju kedaulatan pangan seharusnya menjadi agenda yang tak boleh dinegosiasikan lagi. Menyehatkan masyarakat, dengan basis preventif promotif, adalah investasi untuk menyelamatkan generasi dan menjaga stabilitas finansial BPJS agar tidak berdarah-darah lagi. Tanpa hal itu, program Nawacita hanya akan menjadi macan kertas belaka. Seharusnya Presiden Joko Widodo tidak mewariskan itu semua. *

 Tulus Abadi,
 Ketua Pengurus Harian YLKI