Harga minyak mentah dunia terus melambung. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei, misalnya, sebesar US$ 67,39 per barel pada Sabtu lalu. Padahal, asumsi makro, harga minyak mentah hanya US$ 48 per barel. Jadi, ada lonjakan pagu harga hampir 50 persen. Akibatnya, pemerintah pun tampak makin zig-zag bak “dewa mabuk” dalam mengambil kebijakan bahan bakar minyak (BBM).
Wujud kebijakan zig-zag itu, antara lain, hendak kembali mewajibkan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jawa, Madura, dan Bali untuk menjual Premium. Padahal, sebelumnya, prioritas Premium adalah untuk pasokan di luar Pulau Jawa. Pemerintah juga ingin intervensi dalam penetapan harga untuk kategori BBM non-subsidi. Padahal selama ini harga BBM non-subsidi ditetapkan operator berdasarkan harga minyak mentah dunia.
Soal penjualan Premium, ada beberapa tanggapan. Pertama, seharusnya pemerintah konsisten bahwa Premium hanya untuk masyarakat di luar tiga pulau tadi. Bahkan, kalau perlu, hanya untuk daerah T3 (terluar, terdepan, dan tertinggal). Saat ini masyarakat di T3 masih kesulitan mendapat BBM karena letak SPBU yang sangat jauh. Kalau pun ada, harganya sangat mahal. Seharusnya Premium difokuskan untuk memasok daerah T3 tersebut guna mempermudah akses dan menekan harga.
Kedua, seharusnya pemerintah konsisten dengan kebijakan dan regulasi bahwa kualitas BBM di Indonesia minimal Euro2 standard. Artinya, kualitas BBM semestinya minimal sudah mencapai nilai RON 92, sedangkan Premium hanya mengantongi nilai RON 88. Ini artinya pemerintah tidak konsisten untuk menjaga lingkungan dari pencemaran akibat penggunaan BBM. Sebab, semakin rendah nilai RON pada BBM, maka semakin buruk kualitasnya dan semakin mencemari lingkungan.
Adapun niat pemerintah untuk mengintervensi penetapan harga BBM non-subsidi bisa dipahami dari sudut regulasi. Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa harga BBM harus ditetapkan oleh pemerintah, tidak bisa ditetapkan oleh operator hanya dengan mekanisme pasar.
Namun penetapan harga BBM non-subsidi oleh pemerintah sejatinya adalah bentuk kepanikan pemerintah. Pemerintah panik karena terserimpung oleh kebijakannya sendiri bahwa sampai 2019 tidak akan ada kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Kebijakan itu mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam membaca fluktuasi harga minyak mentah dunia. Pemerintah lupa atau tidak sadar bahwa BBM bukan hanya BBM bersubsidi, Premium. Market share Premium sudah kalah oleh Pertalite. Sejak kesenjangan harga Premium dengan Pertalite rendah, masyarakat bermigrasi ke Pertalite, yang notabene kualitasnya lebih baik (RON 90).
Dengan dalih untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM dan tarif listrik. Pernyataan ini memang ada benarnya karena kenaikan harga BBM dan tarif listrik bisa mengganggu daya beli dan memicu inflasi. Tapi masyarakat awam pun tahu bahwa alasan yang paling afdal bukan karena ingin menjaga daya beli, melainkan karena faktor politis (pemilihan umum/pemilihan presiden).
Pemerintah (baca: Presiden Jokowi) tidak ingin citranya tergerus oleh dampak kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Padahal, jika mengacu pada data yang dirilis Badan Pusat Statistik, sumber utama pemicu inflasi/daya beli masyarakat adalah melambungnya harga bahan pangan dan bumbu-bumbuan, seperti cabai. Secara keseluruhan, persentase inflasi karena faktor kenaikan harga BBM lebih kecil daripada faktor kenaikan harga bahan pangan.
Karena dominan alasan politik dan pencitraan itulah pemerintah tampak keukeuh untuk tidak menaikkan harga BBM, tidak memberikan subsidi BBM, dan inflasi pun tetap rendah. Sebuah keinginan yang tak masuk akal, bak mimpi di siang bolong.
Pada akhirnya, dalam hal kebijakan BBM, pemerintah seharusnya tetap konsisten, berjalan pada koridor regulasi yang benar dengan sejumlah langkah. Pertama, memasok BBM dengan kualitas yang bagus, yakni minimal dengan nilai RON 92. Di seluruh dunia, nyaris hanya Indonesia yang masih menggunakan BBM dengan RON 88.
Kedua, pasokan Premium hanya untuk luar Jawa, Madura, dan Bali, atau bahkan untuk area T3 saja. Apalagi sampai detik ini program satu harga BBM di Indonesia bagian timur masih porak-poranda (gagal). Ketiga, memasok BBM dengan harga terjangkau sehingga perlu penetapan harga oleh pemerintah. Bagaimanapun, BBM adalah komoditas strategis dan pemerintah harus mengaturnya, baik untuk pasokan maupun harganya.
Keempat, pemerintah harus menjaga agar PT Pertamina tidak merugi dan terus mengerdil karena tidak adanya keberpihakan yang jelas dari pemerintah. Membuat Pertamina merugi karena menjual produknya di bawah harga pokok adalah bentuk pelanggaran undang-undang. Kalau pun Pertamina menjual produknya di bawah harga pokok, selisihnya harus dibayar pemerintah (disubsidi). Kelima, jika subsidi BBM tak bisa dihindari, yang seharusnya disubsidi adalah (minimal) Pertalite, bukan Premium. Menjual Premium di area Jawa, Madura, dan Bali, apalagi mensubsidinya, adalah bentuk kemunduran.
Opini ini pernah dimuat di TEMPO.CO dan KORAN TEMPO edisi cetak Senin, 16 April 2018
Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLKI
0 Comments on "BBM dan Dewa Mabuk"