Tenggelamnya dua buah kapal dalam tempo berdekatan, menjadi potret yang sangat buram bagi sektor pelayaran di Indonesia.

Pemerintah mengklaim managemen mudik Lebaran tahun ini (2018) berjalan lebih baik dan  lancar daripada tahun sebelumnya. Hal ini ditandai dengan menurunnya tingkat kecelakaan, menurunnya penggunaan sepeda motor, lalu lintas lebih lancar, bahkan peningkatan penumpang angkutan umum. Klaim tersebut bisa jadi ada benarnya, karena mudik Lebaran tahun ini ditopang dengan perpanjangan waktu libur Lebaran dan atau tersambungnya tol Trans Jawa. sebagian pemudik mengatakan mudik Lebaran 2018 lebih enjoy, sebagian yang lain mengatakan masih seperti “neraka”…

Namun jika dilihat pada sektor angkutan pelayaran, maka klaim pemerintah tersebut berbalik 180 derajad. Bagaimana tidak, jika pada satu bulan Lebaran saja, dua buah kapal manusia tenggelam, dengan korban masal. Pertama, Kapal Sinar Bangun 5 di perairan Danau Toba, pada H plus 3 !ebaran. Korban meninggal/hilang tak kurang dari 170-an orang. Hingga kini bangkai kapal berikut korbannya belum bisa di evakuasi, walau titik lokasinya sudah ditemukan. Kedua, masih pada suasana Lebaran, pada 02 Juli 2018 sebuah kapal bernama Maju Lestari tenggelam di Selat Selayar, Sulawesi Selatan. Korban meninggal/hilang juga tak kurang dari 130 orang. Jadi selama musim Lebaran sektor angkutan pelayaran menelan korban meninggal karena kecelakaan/kapal tenggelam mencapai lebih dari 300 orang. Penyebab utamanya pun sama: over kapasitas! Dengan dua kejadian tersebut, di sektor angkutan pelayaran, managemen transportasi pemerintah terbukti masih kedodoran, jika tidak boleh dibilang gagal.

Lalu, pertanyaannya, kenapa hal itu masih terjadi, dan berpotensi terus terjadi? Secara kasat mata tidak sulit untuk menjawabnya;

1. Masih lemahnya pengawasan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Perhubungan setempat. Bahkan mungkin memang tidak ada pengawasan. Bagaimana ada pengawasan, jika kapal Sinar Bangun 5 yang hanya berkapasitas 43 orang, ternyata memuat lebih dari 200 orang? Juga kapal yang tenggelam di perairan Selayar, tenggelam karena over kapasitas. Kemana itu petugas pengawas pelabuhan, kemana itu syahbandar? Hal yang amat primitif jika sebuah kapal tenggelam karena over kapasitas.

2. Masih minimnya infrastruktur transportasi di sektor ini, khususnya sektor pelayaran rakyat. Terbukti rata-rata kapal yang digunakan adalah jenis kapal kayu, yang jauh dari standar kelaikan. Sudah tidak standar, memuat melebihi kapasitas yang ditentukan pula. Aspek keselamatan benar-benar dicampakkan ke comberan. Selain kapal yang tidak terstandardisasi, awak kapal pun tidak tersertifikasi pula, termasuk nakhoda. Kapal berlayar tanpa mengantongi surat laik layar, baik kapalnya dan atau awak kapalnya (nakhoda);

3. Patut diduga kuat, karena masih maraknya tindakan koruptif, kolutif dan pungli di sekitar pelabuhan. Kongkalikong antara kepala pelabuhan dengan pemilik kapal, atau nakhoda; seolah menjadi rahasia umum. Praktik inilah yang kemudian menjadi legitimasi standar keselamatan di sektor pelayaran di Indonesia nyaris nihil, khususnya yang berbasis pelayaran rakyat. Manifes penumpang kapal menjadi tidak jelas, bahkan tidak ada sama sekali. Bahkan angkutan pelayaran yang dikelola PT ASDP pun mulai menunjukkan gejala yang sama.

4. Khusus untuk pelayaran yang dikelola PT ASDP, akhir-akhir ini juga menunjukkan gejala kemunduran, khususnya dari sistem ticketing. Pada era 2016, sistem ticketing di PT ASDP sudah cukup baik, sudah berbasis elektronik. Namun, semenjak ditiggalkan Pak Danang (Dirut, alm), karena dipindah menjadi Dirut AP1, kondisi sistem ticketing di PT ASPD berantakan lagi, mundur, menjadi tiket manual lagi. YLKI menerima pengaduan/laporan yang cukup akurat terkait hal ini dari konsumen yang amat kredibel. Bahkan, di ASDP kini muncul lagi fenomena “tiket muter”, yakni tiket yang sudah dijual, bisa dijual lagi untuk penumpang berikutnya. Akibat dari ini: manifes kapal menjadi kacau, koruptif, dan pendapatan negara yang hilang. Tiket elektronik yang diinisiasi Pak Danang, tentu saja menjadikan banyak pihak kehilangan pendapatan (ilegal).

5. Masih tumpang tindihnya regulasi yang ada, khususnya dilevel pemerintah pusat, Kemenhub. Pihak pemda mengklaim banyak kewenangan pemda yang diambil pusat lagi, sehingga pemda tak punya kewenangan. Di sisi lain, Kemenhub tak cukup mampu melakukan pengawasan di lapangan.

Tenggelamnya dua buah kapal tersebut, menjadi potret yang sangat buram bagi sektor pelayaran di Indonesia. Hal ini menjadi anti klimaks bagi program Presiden Joko Widodo, yang katanya berorientasi pada sektor kelautan. Oleh karena itu, fenomena ini harus menjadi pekerjaan rumah yang paling serius bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Indonesia adalah negara kepulauan, seharusnya sistem transportasi yang paling kuat adalah di sektor maritim, bukan malah sebaliknya. Jika tak ada pembenahan total di sektor angkutan pelayaran, setidaknya pada 5 (lima) poin tersebut, maka jatuhnya korban masal karena kapal tenggelam hanyalah soal waktu saja.

Jangan biarkan hal ini menjadi bom waktu. Jangan biarkan masyarakat sebagai penumpang/konsumen, menjadi tumbal atas kelalaian dan keteledoran ini. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bahu membahu mengatasi hal ini. Tak usah jauh jauh ke pelosok Indonesia bagian timur, selesaikanlah segera yang ada di pelupuk mata, yakni angkutan penyeberangan di Kepulauan Seribu, yang sampai detik ini masih sangat rentan untuk terjadinya petaka.Dan terbukti beberapa tahun silam menelan korban masal. Kurang apalagi? *
Demikian catatan dan refleksi singkat angkutan mudik Lebaran di sektor pelayaran.

Jakarta, 07 Juli 2018,

TULUS ABADI,
Ketua Pengurus Harian YLKI