Di tengah belum beresnya rehabilitasi dan rekonstruksi dampak gempa di Palu, Donggala, dan Sigi tiba-tiba masyarakat dikejutkan dengan tiga babak “drama”. Drama babak pertama, yakni kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi (Rabu, 10/10/18), khususnya pertamaks, naik Rp900/liter. Semula harga pertamaks Rp9.500, menjadi Rp10.400. Drama babak kedua, masih dalam hari yang sama, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengumumkan harga premium juga dinaikkan sebesar 7% atau Rp500/liter. Tetapi, ini babak ketiga, satu jam kemudian putusan tersebut dianulir dengan alasan belum ada pengarahan dari Presiden Joko Widodo.

Drama babak pertama bisa dipahami hampir dalam semua aspek. Dalam arti tidak menimbulkan kehebohan, kecuali digoreng oleh pihak-pihak tertentu. Namun, drama babak kedua dan ketiga inilah yang menimbulkan sengkarut di mata publik. Pasalnya, sikap pemerintah dianggap plintat-plintut. Masak kebijakan yang begitu strategis dibatalkan dalam satu jam saja. Ini menunjukkan ada mismanagement dalam komunikasi publik oleh pejabat selevel menteri, bahkan presiden.

Alasan Menteri ESDM bahwa pembatalan itu atas arahan Presiden adalah klise belaka. Rasanya tidak mungkin premium yang notabene BBM penugasan tidak “kulo nuwun” dulu pada Presiden saat mengalami perubahan harga mengingat ini musim kampanye, alias musim pencitraan. Apalagi jauh-jauh hari pemerintah telah berjanji bahwa sampai 2019 tidak ada kenaikan harga BBM dan tarif listrik.

Jika kita merujuk pada konteks ekonomi makro, khususnya kondisi moneter, harga minyak mentah dunia plus kemampuan kita memproduksi minyak di dalam negeri; maka perubahan harga pada BBM adalah sebuah keniscayaan. Pertama, kurs rupiah yang tampak makin loyo terhadap dolar Amerika, yang sudah menyundul lebih dari Rp15.000 per dolar. Padahal, rate yang ditentukan dalam APBN per dolar hanya Rp13.500. Kedua, harga minyak mentah dunia, yang kini terkerek menjadi USD75,36 per barel. Padahal, pagu harga yang dipatok di APBN hanya USD35 per barel. Jadi sudah melompat lebih dari 100%. Dan ketiga, produksi minyak mentah nasional yang cenderung stagnan, bahkan turun. Pada 2018 produksi minyak mentah nasional hanya bertengger pada kisaran 630.000 barel per hari.

Jika kita merujuk pada konteks ekonomi makro, khususnya kondisi moneter, harga minyak mentah dunia plus kemampuan kita memproduksi minyak di dalam negeri; maka perubahan harga pada BBM adalah sebuah keniscayaan.

Sementara kebutuhan nasional mencapai 1,7 juta barel per hari. Dengan justifikasi tiga poin itu, rasanya kita tidak bisa berkelit untuk sebuah perubahan/kenaikan harga. Makanya, saat pemerintah berjanji tidak ada kenaikan harga BBM plus tarif listrik hingga 2019 adalah sebuah janji yang setara dengan hoax. Setidaknya pemerintah gagal membaca fenomena global bahwa harga minyak mentah di pasar internasional akan reborn. Bisa saja pemerintah kekeuh dengan harga lama asal pemerintah menambah gelontoran subsidi energi. Saat ini (2018) subsidi energi mencapai Rp94, 5 triliun. Punyakah pemerintah fulus untuk menambah lagi?

Jika merujuk pada indikator-indikator tersebut, adalah cukup rasional jika harga BBM disesuaikan dengan dinamika eksternal yang sangat signifikan itu. Alasan pemerintah untuk menunda kenaikan harga premium untuk menjaga daya beli masyarakat konsumen patut diapresiasi. Namun, terkait daya beli yang dimaksud daya beli masyarakat yang mana? Sebab konsumen BBM 80% lebih adalah pengguna kendaraan pribadi, khususnya roda empat, yang notabene adalah masyarakat yang daya belinya sudah baik. Benar bahwa kenaikan harga BBM juga akan menimbulkan dampak inflasi, ditandai dengan kenaikan harga kebutuhan bahan pangan.

Kenaikan harga bahan pangan memang sesuatu yang rawan sebab bisa memiskinkan masyarakat dengan penghasilan pas-pasan. Tetapi, sudah beberapa tahun ini harga pangan relatif tinggi, padahal tanpa dipicu kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Jadi sejatinya perubahan harga BBM bukan faktor tunggal kenaikan harga kebutuhan bahan pangan. Banyak faktor yang memengaruhi harga bahan pangan seperti faktor buruknya jalur distribusi, percaloan, penimbunan dan dugaan adanya kartel, serta praktik tidak sehat dalam persaingan usaha. Itulah yang seharusnya diberantas oleh pemerintah untuk menurunkan harga bahan pangan.

Selain soal kebijakan harga yang BBM yang masih tersandera tahun politik, ironisnya pemerintah juga tidak konsisten untuk menjual produk BBM yang berkualitas pada masyarakat, yakni menjual BBM dengan standar Euro 2. Bahkan tahun ini (2018) seharusnya sudah menggunakan BBM dengan standar Euro 4. Standar Euro 2 setara dengan produk BBM dengan oktan number (RON) 92 seperti pertamaks. Tetapi, dalam hal ini pemerintah mengalami kemunduran dan inkonsistensi. Dengan mewajibkan SPBU di Pulau Jawa agar menjual bensin premium lagi itulah buktinya. Padahal, sebelumnya roadmap-nya sudah benar bahwa bensin premium hanya untuk memasok masyarakat di luar Pulau Jawa, khususnya kawasan Indonesia bagian timur, bahkan di area terluar, terdepan, dan tertinggal Indonesia.

Jadi, seharusnya pemerintah mengakhiri drama dalam kebijakan BBM, baik dalam konteks harga dan atau kualitas BBM sebab menunda perubahan harga BBM hanyalah menciptakan bom waktu yang justru potensi kerugian ekonominya lebih besar. PT Pertamina sebagai perusahaan migas nasional akan makin kerdil karena kehilangan potensi pendapatan untuk “subsidi internal”, sesuatu yang haram bagi BUMN. Subsidi adalah ranah regulator, bukan operator. Jangan jadikan alasan menjaga daya beli masyarakat, padahal sejatinya hanya untuk menjaga kepentingan politik jangka pendek belaka.

Artikel ini terbit pertama kali di Koran Sindo; Selasa, 16/10/2018 dan SINDONEWS.com

TULUS ABADI
Ketua Pengurus Harian YLKI