Rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak terasa telah memasuki tahun keempat, nyaris mendekati finis. “Ring tinju” pertarungan babak berikutnya bahkan telah digelar. Jika merujuk pada hasil survei, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi lebih dari 60%. Artinya, kinerja Presiden Jokowi terbilang bagus. Popularitasnya pun masih tampak tinggi, lebih dari 60% juga.

Lalu, bagaimana kita menakar kinerja Presiden Jokowi? Dan, bagaimana Presiden Jokowi menuntaskan pekerjaan rumah yang tersisa? Dalam konteks pembangunan infrastruktur, boleh jadi Presiden Jokowi menangguk sukses. Dalam pertumbuhan ekonomi pun tak buruk-buruk amat, lebih dari 5%, walau angka ini meleset dari target saat kampanye (7%).

Namun ada satu entitas yang masih menyisakan persoalan serius, bahkan bisa menjadi bom waktu, yakni BPJS Kesehatan. Dalam hal ini Presiden Jokowi tampak masih kedodoran. Inilah satu di antara pekerjaan rumah Presiden Jokowi yang paling krusial. Memang dari sisi kepesertaan, BPJS Kesehatan mengalami lonjakan tajam, kini hampir 200 juta peserta. “Hebat nya”, 92 juta di antaranya kate gori Penerima Bantuan Iuran (PBI) alias peserta gratis. Ini menandakan kehadiran negara bahwa pelayanan kesehatan sebagai hak asasi, khususnya bagi warga tidak mampu.

Namun, di sisi lain performa BPJS Kesehatan masih terbelit masalah akut. Dari sisi pelayanan masih minimalis antara lain antrean sangat panjang, tidak semua tindakan medis ditanggung, penggantian jenis obat secara sepihak, tanpa konfir masi konsumen, dan lainnya.

Manfaat BPJS Kesehatan dominan dirasakan bagi golongan PBI. Tapi, bagi peserta lain atau bahkan stakeholder utama seperti fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit) dan profesi ke dokteran, BPJS Kesehatan adalah “benalu”. Banyak rumah sakit yang klaimnya macet, terlambat dibayar oleh BPJS Kesehatan.

Dan, atau profesi dokter yang merasa dipinggirkan, profesionalitasnya direduksi. Intinya, BPJS Kesehatan telah menjadikan pelayanan kesehatan substandar, yang bisa berdam pak pada patient safety. Inilah keluhan utama pelayanan BPJS Kesehatan dari sisi hilir, yang berkelindan dengan pelayanan fasilitas dan profesi kesehatan. Dalam tubuh BPJS Kesehatan bahkan juga menderita penyakit kronis, yakni financial bleeding alias defisit. Dari tahun ke tahun angkanya terus melambung; dari mulai defisit Rp3,3 triliun pada 2014, kemudian Rp5,7 triliun pada 2015, naik lagi menjadi Rp9 triliun pada 2016, sampai akhirnya rugi Rp16,5 triliun pada 2018.

Penyebab utama financial bleeding ini adalah kecilnya jumlah premi/iuran, masih di bawah cost production. Dari sisi finansial, untuk menyelamatkan defisit BPJS Kesehatan secara kasatmata hanya ada dua; pertama, menaikkan besaran tarif/premi, atau ke dua, pemerintah menyuntikkan sejumlah dana. Opsi pertama, menaik kan tarif sepertinya musykil. Pemerintah tak akan berani meng ambil kebijakan yang tidak populis. Pemerintah juga tak punya fulus cukup untuk menambal premi PBI.

Manfaat BPJS Kesehatan dominan dirasakan bagi golongan PBI. Tapi, bagi peserta lain atau bahkan stakeholder utama seperti fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit) dan profesi ke dokteran, BPJS Kesehatan adalah “benalu”. Banyak rumah sakit yang klaimnya macet, terlambat dibayar oleh BPJS Kesehatan.

Menaikkan iuran juga menjadi ancaman bagi kelompok peserta mandiri. Kenaikan iuran bagi kelompok ini hanya akan me ngerek persentase tunggakan, yang mencapai 54%. Solusi yang paling elegan adalah pemerintah menyuntik fulus ke BPJS Kesehatan. Memang injeksi dana sudah dilakukan, tapi hanya Rp4,5 triliun. Masih jauh dari angka defisitnya.

Saat ini alokasi subsidi untuk BPJS Kesehatan baru Rp25 triliun. Bandingkan dengan subsidi energi yang mencapai Rp95 triliun. Padahal, pengguna subsidi energi 60% adalah kelompok mampu, pengguna roda empat. Kalau untuk subsidi orang kaya saja, pemerintah berani menggelontorkan subsidi, kenapa untuk si sakit tidak bernyali?

Solusi lain, yang mempunyai spektrum meluas adalah menaikkan cukai rokok sampai angka maksimal. Saat ini yang sudah dilakukan adalah menyuntik dengan pajak rokok daerah, yang hanya Rp1,1 triliun. Secara regulasi cukai rokok bisa dinaikkan sampai 57%. Jika pemerintah punya nyali menaikkan cukai rokok hingga 57%, potensi pendapatannya bisa melonjak tajam, antara Rp250-300 triliun.

Padahal, defisit BPJS Kesehatan “hanya” Rp16,5 triliun, langsung beres jika digelontori dari sebagian lonjakan cukai rokok, dan sisanya bisa dipakai untuk sisi promotif preventif. Aspek ini sangat penting karena konsumsi rokok yang sangat dominan (35% dari total populasi) terbukti menjadi beban finansial BPJS Kesehatan.

Terbukti, mayoritas penyakit pasien BPJS Ke sehatan adalah dipicu oleh perilaku konsumsi rokok, teruta ma di kalangan rumah tangga miskin. Akhirnya, pada titik inilah performa kinerja Presiden Jokowi masih dipertaruhkan. Da ri sisi pelayanan BPJS Ke sehat an masih dominan dike luhkan konsumen, dan dari sisi kor po rasi BPJS Kesehatan masih de fisit. Seharusnya Presi – den Jo ko wi lebih punya nyali untuk mengambil langkah funda men tal untuk menye la matkan BPJS Ke sehatan, baik pada konteks pricing policy dan atau memasok anggaran ke BPJS Ke sehatan.

Sebabnya, UU SJSN (Pasal 44) dengan tegas mengamanatkan bahwa kesehatan finansial BPJS Kesehatan adalah tanggung jawab negara. Jangan biar kan sistem JKN dengan BPJS Kesehatan mati suri. ***

Artikel ini pertama dimuat di KORANSINDO Edisi 30/10/2018

Tulus Abadi 
Ketua Pengurus Harian YLKI