Minuman berasa, khususnya rasa manis, seolah sudah menjadi tradisi bahkan budaya sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan minuman manis dianggap suatu nilai lebih dan kemewahan, dari pada air putih, atau sekadar teh tawar hangat. Kini fenomena minuman manis makin kuat, makin menjadi kegandrungan masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, remaja, dan generasi muda. Penguatan fenomena ini tersebab oleh adanya intervensi korporasi melalui iklan, promosi, dan sponsorship di semua lini media. Dengan gempuran iklan dan promosi ini makin meneguhkan bahwa minuman manis menjadi ikon dalam berkonsumsi, bahkan dalam pergaulan sosial.

Guna memotret secara lebih gamblang fenomena yang kian mengkhawatirkan itu, YLKI telah melakukan survei “Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di 10 Kota”. Survei dilakukan pada awal-pertengahan Juni 2023, di 10 kota di Indonesia, meliputi: Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Balikpapan, Makassar dan Kupang. Survei dilakukan dengan cara wawancara, pemilihan responden secara acak berjenjang, dari mulai tingkat kelurahan, RT/RW, kemudian memilih rumah tangga, dan memilih individu. Responden adalah orang yang pernah mengonsumsi minuman manis dalam kemasan dalam sebulan terakhir. Total responden yang terjaring adalah 800 responden, dan masing masing RT dijaring 10 responden.

Lalu hal menarik apa dari temuan survei dimaksud? Berikut ini beberapa temuan penting survei YLKI, yaitu:

  1. Anak dan remaja Indonesia gemar mengkonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Terbukti 1 dari 4 (25,9 persen) anak usia kurang dari 17 tahun mengkonsumsi MBDK setiap hari, bahkan 1 dari 3 (31,6 persen) anak mengkonsumsi MBDK 2-6 kali dalam seminggu. Tentu ini fenomena yang sangat mengkhawatirkan.
  2. Mudahnya akses pembelian MBDK menjadi salah satu pemicu utama anak dan remaja mengkonsumsi MBDK. MBDK sangat mudah diakses dan bisa dibeli dalam jarak 2 sampai 10 menit. Responden membeli MBDK via warung (38 persen), minimarket (28 persen), supermarket (17 persen), dan akses lainnya (termasuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, lalu fasilitas umum lainnya seperti sekolah) sebesar 18 persen.
  3. Selain akses pembelian yang sangat mudah, aspek motivasi menjadi faktor penentu bagi anak dan remaja dalam mengkonsumsi MBDK. Hasil survei menunjukkan, rasa penasaran menjadi faktor yang paling tinggi sebesar 32,4 persen, kemudian disusul faktor enak rasanya sebesar 27,1 persen, dan faktor ketiga adalah aspek harga sebesar 14,4 persen. Sedangkan aspek aspek lainnya meliputi, influencer (6,4 persen), pengaruh anggota rumah tangga (5,8 persen), iklan di media massa (3,8 persen), aspek teman (3,6 persen), media sosial (3,4 persen), dan ada juga pengaruh tetangga, sebesar 3,3 persen.
  4. Atas tingginya anak dan remaja mengkonsumsi MBDK tersebut, persepsi mereka terhadap kesehatan sebetulnya seperti apa.
  5. Relevan dengan poin ke-4, apakah responden memahami dampak jangka panjangnya? Ternyata mereka memahami risikonya, karena 78 persen memahami konsumsi MBDK akan berdampak terhadap peningkatan obesitas. Bahkan, sebanyak 81 persen memahami bahwa mengkonsumsi MBDK mempunyai dampak jangka panjang terhadap kesehatan secara keseluruhan.
  6. Lalu bagaimana respon responden terhadap wacana pemerintah yang akan mengenakan cukai MBDK? Ternyata jawabannya positif, terbukti 58 persen responden mendukung terhadap wacana pengenaan cukai pada MBDK. Sekitar 18% responden menjawab mereka akan mengurangi konsumsi MBDK jika terjadi kenaikan harga sebesar 25%.

Simpulan dan Rekomendasi:

  1. Pemerintah harus segera menindaklanjuti penerapan cukai MBDK di tahun 2024 sebagai langkah untuk mengontrol pola konsumsi dan mencegah prevalensi diabetes pada anak dan remaja. Menurut Laporan Global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang implementasi cukai MBDK yang baru dirilis bulan ini, setidaknya per Juli 2022, sudah ada 108 negara di dunia yang memberlakukan cukai MBDK.
  2. Dukungan publik terhadap wacana pengenaan cukai MBDK cukup signifikan. Dan dari sisi perilaku, 1 dari 5 konsumen yang disurvei mengatakan bahwa dirinya akan mengurangi konsumsi MBDK, bahkan meninggalkan konsumsi MBDK. Dengan kata lain, pengenaan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi MBDK cukup efektif. Pengenaan cukai pada MBDK sudah sangat urgen untuk melindungi konsumen Indonesia. Supaya efektif, penerapan cukai MBDK perlu tanpa pengecualian, dan diberlakukan secara komprehensif.
  3. Pemerintah seharusnya tidak ambigu untuk mengenakan cukai MBDK, sebagai bentuk kebijakan untuk melindungi masyarakat dari tingginya prevalensi penyakit tidak menular, khususnya diabetes melitus. Pemerintah pun seharusnya tidak bergeming dengan upaya intervensi oleh pihak industri, tersebab pengenaan cukai pada MBDK tidak akan menggerus produksi MBDK.  Berdasarkan hasil studi di negara lain yang sudah menerapkan cukai MBDK seperti Meksiko dan Peru, cukai MBDK tidak menimbulkan pengangguran.
  4. Mendesak pada industri MBDK agar melakukan pemasaran yang bertanggung jawab dalam melakukan pemasaran, distribusi, iklan, promosi dan sponsorship, khususnya pada kelompok rentan yakni anak-anak dan remaja. Tidak hanya itu, Pemerintah harus membuat peraturan dan kebijakan yang mengatur pembatasan MBDK kepada anak-anak dan remaja yang dapat membantu mengurangi dampak pemasaran agresif, termasuk informasi label yang tidak menyesatkan.

Salam,

Tulus Abadi, SH