Kisah pilu pengguna jalan tol diIndonesia, nampaknya akan mengalami klimaks. Setelah mencerabut puluhan nyawa pengguna jalan tol di musim mudik Lebaran kemarin, khususnya di ruas tol Cipularang, kini pengguna jalan tol di Indonesiapun harus legowo menerima kado pahit. Pasalnya jika tidak ada aral melintang, Menteri Pekerjaan Umum (PU) akan meluluskan permintaan pengelola jalan tol menaikkan tarif di 14 ruas jalan tol di Indonesia, awal Oktober ini. Namun, mungkin bukan karakter bangsa ini jika sebuah kebijakan public yang hendak ditelorkan tidak dilatarbelakangi oleh fenomena paradoksal. Kebijakan tarif tol jelas mengindentifikasi ha ini. Berikut konfigurasinya.

Kebijakan harga (pricing policy) untuk komoditas publik yang adil, seharusnya memperhatikan banyak dimensi, seharusnya memperhatikan banyak dimensi setidaknya dimensi penyedia jasa (operator) dan dimensi konsumen,pengguna. Dimensi pengguna pun masih bisa dielaborasi lagi,yakni aspek kemampuan membayar (ability to pay) dan aspek kemauan membayar (willingness to pay). Inilah yang menjadi paradoks (ironi), kebijakan tarif tol praktis tidak memerhatikan kepentingan konsumen sebagai pengguna jalan tol.

Di dalam regulasi tentang jalan tol, khususnya yang tertuang dalam UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah (PP) No.44 Tahun 2009 tentang jalan tol membuktikan hal itu. Bahwa,kenaikan tarif tol hanya mempertimbangkan aspek laju inflasi. Berapa persen laju inflasi terkini, maka itu yang menjadi syarat utama menaikkan tarif tol. Aspek ability to pay dan willingness to pay konsumen sebagai pengguna jalan tol teronggok di tong sampah.

UU tentang jalan dan PP tentang jalan tol juga makin mengindikasikan adanya ketidakadilan; mengapa sebuah kebijakan tarif  langsung diatur dengan UU? Ini urgen kita pertanyakan, sebab merupakan ketidaklaziman normative. Dalam hal kebijakan tarif/harga untuk komoditas public di Indonesia, lazimnya hanya diatur/dikukuhkan dengan Peraturan Presiden (Perpres).  Contohnya kenaikan, kenaikan harga bahan baker, tarif dasar listrik kareta ekonomi semuanya dikukuhkan dengan Perpes. Lha kenapa kenaikan tariff tol kok langsung diatur dengan UU? Usut punya usut, patut diduga dengan kuat proses pembahasan UU Jalan Tol di DPR sarat dengan fenomena “patgulipat” antara (oknum) anggota DPR dengan operator dan investor jalan tol. Bahkan, bukan hal yang aneh, lahirnya UU tentang Jalan Tol ini diwarnai dengan tindakan koruptif! Regulasi ini, UU tentang Jalan Tol diluncurkan praktis hanya untuk memuluskan kepentingan operator dan investor jalan tol.

Benar, kini ada desakan revisi oleh segelintir anggota DPR terhadap UU tentang Jalan Tol, terkait dengan kebijakan tariff tol. Sekilas wacana revisi ini bagus, dan patut didukung. Namun, revisi macam apa yang akan didorong? Jangan-jangan hanya kepentingan jangka pendek belaka, dari segelintir anggota DPR.

 

Standar Pelayanan?

Jalan tol adalah jalan berbayar. Idealnya, pengguna mendapatkan benefit yang optimal saat menggunakan jalan tol. Namun faktanya, saat konsumen menggunakan jalan tol di Indonesia, benefit itu lebih banyak menjadi mimpi belaka. Ironinya, hak-hak pengguna jalan tol secara regulasi justru tidak mendapatkan jaminan kuat. Terbukti, hak-hak pengguna jalan tol secara regulasi justru tidak mendapat jaminan kuat. Terbukti, hak-hak pengguna jalan tol diatur hanya dengan sekelumit aturan yang tertuang pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.392/PRT/2005 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol. Secara operasional, substansi Peraturan Menteri PU ini nyaris tak bergigi. Dipatuhi ya monggo, tidak dipatuhi ya tak ada sanksi. Sangat tidak seimbang dengan regulasi yang mengatur hak operator jalan tol. Hak operator jalan begitu kuat diatur dengan UU tentang Jalan dan PP tentang Jalan Tol. Tetapi manakala mengatur tentang hak pengguna jalan tol, hanya diatur dengan aturan yang ecek-ecek : SK Menteri PU! Sangat tidak adil, bukan?

Regulasi jalan tol tidak adil, baik bagi kepentingan operator jalan tol maupun  bahkan kepentingan jalan tol, jangan hanya laju inflasi yang dijadikan parameter untuk menaikkan tarif. Aspek kinerja, baik dalam hal kinerja financial maupun kinerja mewujudkan standar pelayanan pada pengguna jalan tol. Artinya jika operator jalan tol tidak bisa memenuhi hal itu, maka tariff tol tidak bisa dilakukan. Nah, sudahkan Menteri Pekerjaan Umum mengaudit konerja operator jalan tol yang tarifnya akan dinaikkan itu? Kalaupun sudah, seharusnya hasil audit itu dideklarasikan kepada publik, khususnya aspek standar pelayanan minimal itu tidak mampu dipenuhi oleh operator, tak secuilpun alasan untuk menaikkan tariff tol. Bahkan bukan tidak mungkin tarif itu diturunkan!

Dalam konteks tol dalam kota, seharusnya kebijakan pentarifan jalan tol juga sejalan dengan manajemen transportasi publik, khususnya di kota-kota besar, seperti Jakarta. Seberapa pun kuatnya upaya peningkatan starndar pelayanan jalan tol, tak akan mampu merespon tingkat pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi. Sebaliknya, fungsi utama jalan tol akan terus menurun oleh luapan “banjir” kendaraan pribadi.

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Koran Suara Pembaruan, 5 Oktober 2011)