Darsem, wanita berusia 26 tahun ini tiba-tiba terkenal dan menjadi fenomenal. Betapa tidak? Pasca pengadilan di Riyadh menjatuhkan vonis mati kepadanya pada 6 Mei 2009 karena terbukti dan dinyatakan bersalah telah membunuh majikannya, membuat semua pihak kalang kabut. Berbagai pihak seperti pemerintah, LSM buruh migrant dan media melakukan berbagai upaya agar wanita ini lolos dari hukuman mati.
Kasus Darsem semakin dramatis. Pasalnya, belum lama berselang, seorang buruh migrant asal Bekasi bernama Ruyati yang tanpa banyak diketahui masyarakat, termasuk Pemerintah Indonesia, telah menjalani hukuman pancung. Sungguh suatu peristiwa yang mengusik rasa kemanusiaan banyak orang.
Darsem sebenarnya bukan siapa-siapa. Perempuan asal Kampung Truntun, RT 9/RW 4 Desa Patimban, Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, seperti warga kebanyakan yang berusaha merubah nasib ditengah himpitan kesulitan hidup dengan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi.
Ditengah segala keterbatasan, naluri survival sebagai manusialah yang mendorong keberanian menjadi TKW di Arab Saudi. Kalau boleh memilih, Darsem akan lebih senang bekerja di lingkungan tempat kelahiran dan bisa dekat dengan keluarga. Tapi apa daya seorang Darsem, sudah kehabisan akal dapat mencari pekerjaan di kampung halaman. Dengan demikian, Darsem pada dasarnya adalah korban dari sebuah kebijakan yang tidak pro-terhadap penciptaan lapangan kerja di daerah.
***
Atas bantuan Lajnah Islah (Komisi jasa baik untuk perdamaian dan pemberian maaf ) Riyadh dan pejabat Gubernur Riyadh, Darsem telah dimaafkan ahli waris korban, Asim bin Sali Assegaf pada 7 Januari 2011, dengan membayar kompensasi diyat sebesar 2 juta Riyal ( Rp 4,7 M).
Kemudian muncul persoalan ketika harus menyediakan uang diyat sebesar Rp 4,7 M bagi Darsem dan keluarga bagai pungguk merindukan bulan. Setelah melalui publikasi media yang begitu gencar akhirnya Komisi I DPR bersama Kementrian Luar Negeri (Pemerintah) mengambil keputusan politik. Demi bebasnya Darsem uang diyat ditutup oleh negara. Namun pada saat yang sama sejumlah elemen masyarakat dan sebuah stasiun televisi swasta juga telah melakukan penggalangan dana publik untuk membebaskan Darsem dari hukum pancung.
Pada 24 Juni 2011 Pemerintah Indonesia telah membayar diyat sebesar Rp 4,7 M kepada ahli waris korban dan pada 13 Juli 2011 Darsem tiba di tanah air. Pada 14 Juli 2011 dalam sebuah acara hukum, stasiun televisi swasta menyerahkan bantuan pemirsa sebesar Rp 1,2 M kepada Darsem. Bagi Darsem lolos dari hukuman pancung sudah suatu karunia yang tidak ternilai, apalagi ditambah dana sumbangan pemirsa televisi sebesar Rp 1,2 M. Tetapi justru disinilah mulai timbul persoalan.
Adalah hak Darsem untuk membeli perhiasan emas, rumah atau apa saja. Kalau uang untuk membeli emas hasil jerih payah Darsem sebagai TKW di Arab Saudi tidak ada masalah. Namun tidak demikian halnya ketika uang yang dipakai Darsem membeli perhiasan, berasal dari keping demi keping yang dikumpulkan donatur pemirsa televisi yang juga belum tentu punya perhiasan emas, ini yang jadi masalah.
Belajar dari praktik penggalangan dana publik di Amerika, ada Donor Bill of Rights yang dirumuskan oleh National Society of Fund Raising Executives, dimana donatur punya hak-hak sebagai berikut: hak untuk mengetahui misi organisasi yang disumbang, tujuan, dan kemampuan organisasi dalam menggunakan sumbangan; hak untuk mengetahui mereka yang duduk dalam dewan pengurus organisasi yang disumbang, serta meminta dewan pengawas untuk secara cermat menilai tanggung jawab dewan pengurus; hak untuk menerima laporan keuangan organisasi secara transparan.
Masih menurut Donor Bill of Rights, donatur juga mempunyai hak: mendapat kepastian bahwa sumbangan dibelanjakan untuk hal-hal yang telah disepakati bersama; mendapat kepastian bahwa sumbangan yang diberikan dikelola secara benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku; mengetahui apakah pihak yang meminta sumbangan adalah staf organisasi atau sukarelawan; mendapat keleluasaan untuk bertanya dan menerima jawaban secara cepat, tepat, dan jujur; meminta agar nama donatur tidak diumumkan secara terbuka dan donatur berhak mendapat pengakuan dan penghargaan yang layak.
Dalam kasus Darsem, pemirsa televisi mendonasikan dana untuk tujuan pembebasan Darsem dari hukuman pancung. Ketika Darsem sudah bebas dari hukuman pancung, seharunya televisi swasta tersebut mengomunikasikan kepada donatur tentang penggunaan dana, karena tujuan penggalangan dana berupa pembebasan Darsem sudah tercapai.
Dalam hal pertanggungjawaban dana publik, lembaga yang melakukan penggalangan dana publik punya kewajiban mempertanggungjawabkan kepada donatur. Adapun bentuk pertanggungjawaban adalah dana telah disalurkan sesuai dengan kesepakatan awal.
Dalam kasus Darsem, motivasi donatur menyumbang adalah berkaitan dengan persoalan kemanusiaan yang sedang dialami Darsem. Bagi donatur akan lebih tepat sasaran apabila dana yang sudah terkumpul, selain diserahkan kepada Darsem, sebagian dialokasikan untuk membebaskan Darsem-Darsem lain yang juga sedang menunggu penantian bisa bebas dari hukuman pancung.
Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI
0 Comments on "Kasus Darsem dan Hak-hak Donatur"