Awal tahun 2011, obat generik naik pamor lagi, bukan karena hilangnya persepsi minor masyarakat terhadap obat generik, tetapi sebagai solusi dari kenaikkan harga obat- obatan. Kenaikkan obat ini seiring dengan keluarnya Peraturan menteri keuangan terbaru tentang bea impor bahan kimia dan obat-obatan sebesar 5 persen, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. Konon, selain bea impor ada lagi PPN sebesar 10 persen, serta faktor lainnya.
Sejak Januari, pelayanan kesehatan di beberapa rumah sakit telah mengurangi penggunaan obat bermerek agar masyarakat mampu membeli obat yang diresepkan dokter. Khusus untuk rumah sakit pemerintah termasuk Puskesmas kenaikkan harga obat belum berpengaruh, ini karena pengadaan obat-obatan merupakan kewajiban pemerintah. Hanya saja, pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan merasa khawatir dengan ketersediaan atau penyediaan obat jika stok mereka habis.
Padahal rumah sakit dituntut memiliki DOEN (Daftar Obat Essensial Nasional) yang jenis dan jumlahnya sesuai kebutuhannya, bisa obat generik atau non generik. Khusus rumah sakit pemerintah obat yang disediakan adalah obat generik. Masalahnya, dengan kenaikkan bahan baku obat ini, apakah pemerintah bisa menjamin penyediaannya. Jangan sampai terjadi kekosongan obat-obat penting di rumah sakit akibat kurangnya produsen yang mau memproduksi obat generik.
Imbas kenaikan harga obat juga dirasakan para distributor obat, mereka mengaku kesulitan mencapai target penjualan karena transaksi penjualan obat menurun drastis. Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Anthony Sunarjo menyatakan, kenaikan harga obat terjadi setiap tahun seiring dengan inflasi dan kenaikkan biaya produksi. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan GP Farmasi Indonesia Kai Arief Selomulyo menyatakan, masalah harga obat yang mahal tidak akan selesai selama pemerintah tidak mendorong implementasi Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan adanya asuransi kesehatan sosial bagi semua penduduk untuk memastikan keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Asuransi memang salah satu solusi agar masyarakat kurang mampu bisa memperoleh pelayanan kesehatan. Tapi, kapan?
Sedari dulu, mahalnya harga obat memang sudah mengakar dan telah menjadi perdebatan berkepanjangan di Indonesia. Sementara, menurut pengamat farmasi, obat generik saat ini masih sedikit dikomsumsi masyarakat diluar pelayanan kesehatan umum, karena kalangan dokter masih enggan untuk memberikan resep obat generik. Jadi penggunaan obat generik tidak akan naik apabila dokter enggan meresepkannya. Padahal, obat generik yang harganya terjangkau ini akan mengurangi pasar obat bermerek, jika permintaan obat generik tinggi.
Apakah Generik itu ?
Secara harafiah, generik berarti umum atau lazim. Sedangkan yang dimaksud obat generik adalah obat yang dipasarkan dengan nama umum untuk zat berkhasiat yang dikandungnya, meskipun diproduksi oleh berbagai produsen. Sedangkan obat paten merupakan obat milik suatu industri farmasi penemu formulasi obat, memiliki merek terdaftar yang dipatenkan dan dilindungi hukum. Untuk jangka waktu tertentu, industri farmasi tersebut menjadi pemilik sah dari pembuatan dan merek obat. Setelah hak paten habis, industri farmasi lain dapat memproduksinya dengan dengan nama umum (generik) yang ditetapkan WHO untuk zat berkhasiat yang dikandung. Jadilah ia obat generik bila menggunakan nama umum, atau nama bermerek bila diberi nama bukan nama umum.
Penerapan pemakaian obat generik adalah bagian dari kebijakan pemerintah dalam usaha pengadaan obat-obatan bagi masyarakat. Berdasarkan peraturan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) mutu obat generik dan bermerek harus sama. Meskipun sama, biaya pembuatan obat generik jauh lebih murah karena tidak memerlukan biaya kemasan, promosi, dan tambahan-tambahan lainnya yang menghabiskan dana sekitar 65 persen sampai 70 persen dari sebuah produksi. Pelaku usaha farmasi juga terkesan enggan memproduksi obat generik karena secara bisnis kurang menguntungkan.
Menurut penelitian UNIDO (United Nations Industrial Development Organization) kurang populernya pemakaian obat generik di negara berkembang, penyebabnya dilaporkan sebagai berikut;
þ Di negara-negara berkembang pemasok utama pengadaan obat adalah perusahaan multi national company (MNC) dan swasta nasional yang lebih suka menjual obat bermerek.
þ Adanya kesetiaan masyarakat terhadap merek obat tertentu.
þ Masyarakat di negara berkembang kurang terorganisir dengan baik atau sangat awam terhadap masalah obat.
Keadaan seperti ini memang membuat harga obat sangat mahal selain kurang populernya obat generik di Indonesia. Apalagi konsumen tidak memiliki kekuatan untuk tawar-menawar dalam memilih obat, sementara produsen obat bermerek di Indonesia sudah terlanjur berkuasa menjadi penentu harga.
Harapan Konsumen.
Obat merupakan komponen terbesar dalam pelayanan kesehatan, sehingga mahalnya harga obat-obatan dikhawatirkan tidak tersedianya obat-obatan penting di banyak pelayanan kesehatan umum. Jangan sampai Puskesmas dan rumah sakit umum terpaksa harus membatasi pemberian obat-obatan yang seharusnya sudah masuk dalam paket pengobatan. Apalagi mensyaratkan penderita membeli sendiri kebutuhan obatnya diluar, kemudian baru dibantu menggunakannya.
Mahalnya biaya berobat, akan mengalihkan pengobatan modern dengan cara pengobatan tradisional. Kondisi ini membuat masyarakat semakin kurang peduli dengan obat generik, serta menempatkan obat generik tak ubahnya barang langka.
Sosialisasi obat generik harus terus menerus dilakukan dan lebih ditujukan kepada kaum profesional untuk menggurangi pemakaian obat-obat bermerek, bukan hanya masyarakat yang proaktif meminta obat generik saat berobat. Usaha ini tentunya diikuti pengontrolan kualitas dan harga di pasaran sehingga sedikit demi sedikit masyarakat percaya dan beralih ke pemakaian obat generik. Seperti di negara maju yang derajad kesehatan masyarakatnya tinggi, walaupun rasio pemakaiannya kecil, tetapi obat generik lebih populer dibanding di negara berkembang.
Disisi lain, pasal 14 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Seperti mewajibkan para tenaga medis untuk menuliskan resep dan atau menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan pemerintah, yang dikuatkan melalui KepMenkes No 1027 Tahun 2004.
Sebagai penunjang pelaksanaan keterjangkauan obat generik, pemerintah memiliki instrumen untuk mengontrol rasionalisasi harga obat, dan menetapkan harga patokan tertinggi obat generik yang dievaluasi setiap tahun.
Meskipun masyarakat atau konsumen telah bersikap proaktif dalam meminta resep obat generik, kebenaran pemberiannya masih sulit diketahui. Karena itu, komitmen pemerintah tengah diuji dalam menjamin pelayanan kesehatan umum. Bagaimanapun, masyarakat khususnya kalangan bawah lebih berharap bisa memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal dan terjangkau tanpa harus berpikir generik atau bukan, mahal atau murahnya.
Ida Marlinda, Tim Peneliti YLKI
Dari berbagai sumber
0 Comments on "Obat Generik, Tak Segenerik Pemanfaatanya"