Dibandingkan dengan media lain, televisi memiliki beberapa kelebihan. Diantara kelebihan tersebut karena media televisi dapat menyampaikan pesan pada pemirsanya dengan penggabungan antara suara, tulisan dan visualisasi bergerak yang tidak didapat di media lain. Maka tak mengherankakan bila dalam perkembangannya, menonton televisi bukan lagi sebuah keinginan, namun lebih dari itu telah menjadi kebutuhan.
Tetapimalang, ketika kebutuhan masyarakat akan televisi semakin tinggi, justru kita direcoki dengan tayangan yang bertentangan dengan akal sehat, tidak membumi, meninggalkan nilai-nilai edukatif, kekerasan dan bias gender. Sajian dari berbagai stasiun televisi di negeri ini, sebagian besar telah mengabaikan pada nilai-nilai dan budaya kesantunan. Mulai dari tayangan infotainment, acara hiburan, iklan sampai pada acara pemberitaan, acapkali menampilkan tayangan diluar kelayakan buat konsumsi publik, khususnya anak-anak.
Seperti diungkapkan oleh banyak pengamat mass media tentang pertelevisian Indonesia, diyakini telah terperangkap oleh roda industri kaum kapitalis. Televisi sebagai konsumsi publik hanya menyisakan sekian persen dari seluruh tayangan yang masih setia pada nurani. Selebihnya, hanyalah tayangan-tayangan “nirguna” yang lebih profit oriented semata.
Tayangan televisi diIndonesiajuga menyajikan ironisme yang begitu kental. Dalam hal ini ketika kecenderungan pertelevisian negara lain di dunia mulai merintis pada upaya pemuliaan harkat dan martabat perempuan, tv kita seolah justru berlomba-lomba mengeksploitasinya. Keindahan dan daya pesona yang melekat secara kodrati pada perempuan, secara sengaja ‘dieksplore’ melalui produk-produk iklan untuk kepentingan kaum kapitalis demi menggemukan kantong-kantong usahanya. Tidak sedikit – untuk tidak menyebut kebanyakan – tayangan di televisi kita, menampilkan sosok perempuan berpakaian seronok dengan kesempurnaan fisik sebagi tema utama. Mulai dari acara yang tayang pagi hingga malam hari.
Fenomena Ibu Tiri
Bukti konkrit dalam berbagai tayangan sinema elektronika (sinetron) kita. salah satu acara yang mampu menyita jutaan pasang mata ini acapkali menampilkan perempuan sebagai sosok ‘menyimpang’ yang sarat dengan tumpukan masalah sosial. Perempuan diejawantahkan dalam peran antagonis dengan sosok yang materialistis, kejam, jahat dan tidak berperikemanusiaan sekaligus juga peran protagonis sebagai sosok yang tak berdaya, teraniaya serta nrimo.
Kita tentu masih bisa mengingat, bagaimana sebuah cerita film tentang anak yang ditinggal mati oleh ibu kandungnya rela memilki ibu pengganti lantaran sang ayah menikah kembali. Ironisnya, dalam alur cerita dikisahkan bahwa sang ibu tiri memiliki perangai jahat dengan perilaku yang suka menyiksa dan menelantarkan anak-anak dibelakang sang ayah. Cerita ini akhirnya menjadi sebuah fenomena penggambaran bagaimana seorang ibu tiri yang dicitrakan dengan perangai jahatnya. Sekali lagi ini menjadi bukti telanjang bagaimana sebuah tontonan telah menggiring opini publik membuat kesimpulan yang salah kaprah.
Memunculkan peran antagonis dalam diri perempuan, seperti kasus cerita ibu tiri, tentunya akan lebih mudah daripada menghapus anggapan masyarakat – khususnya anak-anak – tentang sosok ibu tiri. Masyarakat terlanjur membuat kesimpulan keliru tentang sosok ibu tiri. Untuk itu dibutuhkan waktu yang tidak sebentar serta kearifan sosial guna menghapuskan catatan buruk mengenai sosok ibu tiri.
Setali tiga uang dengan sinetron, tayangan komedipun acapkali mengeksploitasi tubuh perempuan melalui akting-akting konyol dan vulgar untuk memancing tawa. Bahkan belakangan ini presenter beberapa acara termasuk tayangan reality show dan kompetisi on air acapkali memainkan femininitas semu, laki-laki yang berperan sebagai perempuan. Dengan dandanan dan karakter perempuan yang dibuat-buat, para selebritis sesuka hati ‘memelesetkan’ peran perempuan di televisi yang disaksikan publik dari berbagai lapisan dan tingkatan usia. Sungguh, sebuah tayangan yang benar-benar abai terhadap nilai keadilan dan kesetaraan gender.
Campur Tangan Pemerintah
Televisi, sebagai media publik harusnya mampu menjalankan perannya sebagai penyampai informasi dan tayangan hiburan yang dapat mencerahkan dan bukan untuk menggiring pada opini menyesatkan. Kehadiran tayangan televisi secara tidak langsung akan membangun pendapat khalayak terhadap berbagai permasalahan yang semakin kompleks.
Demikian juga dengan penyitraan positif tentang sosok perempuan dalam kiprah kehidupannya di kehidupan sosial, tayangan televisi memilki peran yang sangat strategis. Diharapkan tv mampu menyodorkan tematik perempuan yang dapat membanguin citra positif perempuan.
Dalam konteks demikian, peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sangat diperlukan untuk menjembatani kepentingan publik dengan pengelola media TV. Disatu sisi, jangan sampai televisi hanya menjadi kotak yang menayangkan acara murahan dan dapat berimbas pada kesalahtafsiran publik terhadap peranan perempuan. Disisilain media televisi dapat menjadi tontonan yang mampu menjadi tuntunan masyarkat tanpa mengesampingkan etika bisnis dalam dunia televisi yang semakin kompetitif.
Tanpa hendak menuding, namun keberpihakan KPI terhadap perlindungan konsumen televisi pada tayangan yang bias gender belum dapat didengar gaungnya. Seluruh pemirsa, tanpa kecuali, masih harus rela meyaksikan tayangan menyesatkan yang tanpa permisi masuk kerumah-rumah kita. KPI belum dapat – untuk menghindari istilah gagal, membendung tayangan televisi yang tak memberikan pencerahan pada publik. Demikian juga pengelola media pertelevisian tak seharusnya bersewenang-wenang mengeksploitasi sosok perempuan hanya untuk memuaskan dahaga bisnisnya.
***
Agus Sujatno, Staff YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
Gambar diambil dari sini
1 Comment on "Layak Tontonkah Televisi Kita?"