Pangan, YLKI – Dalam konteks internasional, dunia memiliki hari hak konsumen yang diperingati setiap tanggal 15 Maret. Adalah John F. Kennedy yang kali pertama mengenalkan hak konsumen secara resmi di depan kongres. Dalam pidato kenegaraan Kennedy menyampaikan definisi konsumen yang merupakan kelompok terbesar, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi publik dan swasta. Namun, Kennedy juga menegaskan bahwa kelompok penting ini suaranya acapkali tidak didengar oleh pengambil keputusan.
Beranjak dari hal itu, Consumers International (CI) sebuah organisasi konsumen sedunia mengadopsi, mengembangkan dan menjadikan tanggal 15 Maret sebagai tonggak hari hak konsumen sedunia.
Dalam konteks nasional, Indonesia juga telah mencanangkan hari Konsumen Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 April. Tujuan penetapan hari konsumen nasional agar banyak pihak termotivasi membangun kesadaran kritis konsumen atas hak-haknya sekaligus menjadi konsumen yang bertanggungjawab serta pelaku usaha yang semakin memiliki etika dalam usahanya. Tahun 2014 ini tema yang diambil tentang “Gerakan Konsumen Cerdas, Mandiri dan Cinta Produk Dalam Negeri”.
Secara historis, kiprah YLKI dalam mendorong masyarakat konsumen untuk menggunakan produk dalam negeri, sejatinya bukan hanya kali ini saja. Semenjak YLKI berdiri tahun 1973 sampai era 80-an, YLKI gencar menyuarakan agar masyarakat konsumen di Indonesia concern dengan produk dalam negeri. Rasionalitasnya jelas, kala itu produk impor mulai menggejala di pasaran Indonesia. Sementara kualitas produk impor juga belum memberikan jaminan yang memadai. Fenomena maraknya impor kala itu, secara normatif dilatarbelakangi oleh pemberlakuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Inilah yang menjadi cikal bakal betapa pasar Indonesia mulai memasuki era liberalisasi di bidang ekonomi.
Pasar Bebas
Dalam perjalanan sejarah mengindikasikan betapa amat berbeda kontekstualitas pasar bebas pada era kekinian (kontemporer). Semenjak Indonesia menundukkan diri pada era perdagangan bebas, baik pada konteks World Trade Organization (WTO), Asean Free Trade Agreement (AFTA), China AFCTA, serta perjanjian internasional lainnya; inilah klimaks era pasar bebas dalam arti sesungguhnya. Efek paling nyata, masyarakat konsumen Indonesia dihadapkan pada tingkat kesulitan yang amat tinggi, untuk membedakan mana sesungguhnya yang disebut impor dan manapula yang disebut produk dalam negeri.
Kedua terminologi diatas mengalami bias yang amat mendalam. Secara faktual, saat ini yang disebut produk dalam negeri tidak semata produk tersebut diproduksi di dalam negeri Indonesia saja, tetapi juga perlu kajian lainnya. Bahan baku, misalnya. Darimana bahan baku produk diperoleh? Bagaimana proses pembuatannya? Bagaimana pula dengan kepemilikan sahamnya? Boleh jadi kita menyebut produk tersebut merupakan “produk dalam negeri”, padahal sejatinya merupakan produk asing. Bagaimana sebuah mie instan bisa disebut produk dalam negeri, jika di Indonesia tidak seruas pun tanaman gandum sebagai bahan baku mie instan, ditemukan?
Jika mengacu pada program kerja YLKI dalam memperkuat rasa nasionalisme konsumen di era globalisasi dan pola konsumsi berkelanjutan, masih tersisa pertanyaan dari konsumen nasional; masih adakah yang disebut dengan produk asli Indonesia? Pertanyaan ini semakin membuncah manakala YLKI menyuarakan terminologi “produk ïmpor” dan “produk dalam negeri”.
Betapa konsumen saat ini pada posisi yang sulit untuk memilih dan menggunakan produk dalam negeri, sementara di pasaran membanjir produk negara lain. Akal sehat konsumen, sebagai pengguna, tentu akan memilih produk impor yang notabene lebih murah jika disandingkan dengan produk dalam negeri yang mahal. Apalagi, akses untuk mendapatkan produk impor jauh lebih mudah ketimbang mendapatkan produk dalam negeri. Ambil contoh buah-buahan. Lebih gampang mana mendapatkan jeruk Shantang-China, ketimbang jeruk Pontianak atau Medan?
Betapa sulitnya menentukan pilihan terhadap produk dalam negeri, tetapi menyuarakan pada konsumen untuk mengonsumsi produk dalam negeri harus terus dilakukan. Dengan memilih produk dalam negeri, bukan saja menguntungkan perekonomian nasional, merekrut tenaga kerja nasional, tetapi juga turut membantu menyelamatkan lingkungan global. Coba hitung berapa banyak produksi gas karbon untuk mengangkut barang impor dari negara asal ke Indonesia? Sedangkan ketika kita meminum sebotol air minum dalam kemasan (AMDK) ukuran 600 ml, maka gas karbon yang dihasilkan sebanyak 872 ml.
Fenomena cinta produk dalam negeri terbukti juga terjadi di Negara-negara maju. Kalau masyarakat konsumen Jepang, Korea dan di Negara maju lain bisa melakukan hal semacam ini, tentunya masyarakat konsumen Indonesia juga mampu. Tetapi, agak mustahil jika hanya mengandalkan konsumen semata untuk “mencintai” produk dalam negeri, tanpa adanya dorongan perubahan kebijakan dan regulasi. Dengan kata lain; sudah saatnya pemerintah tidak hanya berteriak dengan gerakan 100% cinta produk Indonesia, tanpa dibarengi dengan perubahan kebijakan dan regulasi yang kuat.
Gerakkan konsumen cinta produk dalam negeri memang harus terus digerakkan, tetapi disisi lain, kebutuhan akan adanya perubahan kebijakan dan regulasi pendukung menjadi kebutuhan mutlak yang tak bisa dielakkan. Berbasis perilaku konsumen dan instrumen regulasi/kebijakan itulah kedaulatan perekonomian nasional bisa ditegakkan. Tanpa instrumen tersebut, gerakan cinta produk Indonesia seumpama menulis diatas air; sia-sia belaka.
0 Comments on "Mewujudkan Kedaulatan Ekonomi Konsumen"