Masih ingatkah Anda dengan pernyataan Menko Maritim Rizal Ramli (RR) beberapa bulan lalu, yang menuding ada mafia di balik token listrik pra bayar?. Dalam ucapannya di Istana Negara (07/09/15) yang dikutip berbagai media, pak Mentri menandaskan bahwa masyarakat yang membeli pulsa Rp. 100.000, ternyata hanya mendapatkan Rp.72.000. Sontak pernyataan RR menyulut kegaduhan baru, setelah sebelumnya isu terkait pembangkit 35.000 MW sempat merebak dan terus menjadi topik media masa.

Dari pernyataan Rizal Ramli tersebut, tak urung membuat masyarakat bingung, pusing tujuh keliling. Sebagian masyarakat dengan sinis memandang bahwa negeri ini memang negeri bersemayamnya para mafioso. Mulai mafia daging sapi, mafia ikan, mafia hukum, mafia perkara, dan seabrek mafia lainnya. Tandasnya, bagaimana kita memahami isu mafia token listrik seperti yang dihembuskan oleh Menteri RR?

PUNGUTAN 

Jika yang disebut mafia adalah hilangnya uang konsumen pada pulsa token listrik, pernyataan RR ada benarnya. Mari kita lihat struktur tarif listrik, berikut berbagai pungutan yang ada didalamnya. Baik pasca bayar dan atau pra bayar, yang sejatinya tak ada bedanya, struktur tarif yang sama, termasuk berbagai pungutan yang ada didalamnya. Perbedaan mendasar karena adanya pungutan Uang Jaminan Langganan (UJL) atau biaya abonemen pada listrik pasca bayar, sementara listrik pra bayar tidak terdapat UJL. Tagihan listrik pasca bayar dan pra bayar faktanya terdapat beberapa pungutan, yang cukup menggerus tagihan atau pulsa token konsumen.

Begini rinciannya; pungutan pertama, biaya administrasi bank. Besaran biaya yang dibebankan pada konsumen sangat variatif, bergantung bank apa yang digunakan konsumen. Mulai dari Rp. 1.600 sampai dengan Rp. 3.500 per transaksi. Jika konsumen sering membeli pulsa token, maka akan makin banyak terkena biaya admin bank.

Pungutan kedua, biaya Pajak Penerangan Jalan Umum (PPJU). Besarannya bergantung pada ketentuan Pemda masing-masing, tetapi kisarannya antara 0-10 persen, dari total pemakaian listrik. Sebagai contoh, Pemprov DKI mengenakan Pajak PJU sebesar 5,4 persen, sedangkan Kota Depok mengenakan 10 persen. Jadi kalau tagihan listrik atau pulsa token kita sebesar Rp. 300.000, maka akan terkena Pajak PJU (Kota Depok) sebesar Rp. 26.000-an, setelah dipotong biaya administrasi bank.

Pungutan ketiga, biaya materai. Ini akan dikenakan pada nilai tagihan atau token di atas Rp 300.000, yakni Rp. 3.000 per tagihan atau pulsa token. Dan sebesar Rp. 6.000, jika tagihan atau pulsa tokennya diatas Rp. 1.000.000.

Selanjutnya, pungutan keempat, biaya PPN (Pajak Pertambahan Nilai). PPN sebesar sepuluh persen (10%) hanya dikenakan pada konsumen listrik dengan daya di atas 3.500 Volt Ampere (VA), kurang dari itu tidak terkena PPN, berapa pun tagihan atau pembeli tokennya. Dengan demikian, kini rupiah konsumen untuk kebutuhan tagihan/token listrik minimal akan tergerus dengan 4 (empat) jenis pungutan: biaya admin bank, Pajak PJU, biaya materai, dan PPN.

Sedangkan total kWh yang akan diperoleh konsumen, secara utama, akan dipengaruhi oleh berapa harga rupiah per kWh-nya. Jumlah kWh yang diperoleh konsumen bergantung pada dua hal; pertama, kategori atau jenis sambungan listrik konsumen, apakah 450 VA, 900 VA, 1300 VA, dst. Kedua, khusus untuk tarif 1300 VA ke atas, pemerintah menerapkan tarif otomatif (adjusment tariff), yang sangat fluktuatif, bisa naik-bisa turun, bergantung pada nilai inflasi, nilai rupiah terhadap dollar Amerika, dan harga minyak mentah dunia.

TIDAK ADIL

Jadi, kalau mengacu pada konfigurasi tarif dan rezim pungutan pada pulsa token listrik, bahkan pada tagihan listrik pasca bayar, isu mafia yang digelindingkan RR, adalah hal yang faktual. Tetapi ini mafia yang dilegalisasi oleh negara, berupa rezim pungutan pajak, yang semuanya masuk ke kas negara, bukan ke kas PT PLN. Kecuali untuk biaya administrasi bank yang masuk ke bank masing-masing; baik bank swasta maupun BUMN.

Ini sejatinya kebijakan yang sangat tidak adil dan banyak titik lemahnya. Alasan pertama, seharusnya PT PLN bisa menekan dan bernegosiasi pada pihak bank, agar biaya admin dihapuskan, minimal diturunkan. Ingat, terdapat 46 juta pelanggan PLN, dan semuanya membayar via online. Cash flow dan profit bank sangat terbantu oleh input dari pembayaran tagihan atau pulsa konsumen PLN. Berapa milyar uang yang mengalir di masing-masing bank. Seharusnya free dari biaya admin.

Alasan kedua, Pajak PJU, juga harus direvisi, agar tidak terlalu besar. Memang ini perlu merevisi regulasi, baik via Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD), peraturan pemerintah, dan berbagai Perda di semua daerah. Pemda harus berani merevisi aturan Pajak PJU yang selama ini menjadi PAD (Pendapatan Asli Daerah), yang paling signifikan bagi daerahnya.

Jadi dalam satu tagihan atau pulsa token listrik konsumen terdapat 3 (tiga) jenis pungutan pajak sekaligus: Pajak PJU, materai, dan PPN. Ini namanya triple tax, sebuah multi pajak yang sangat tidak adil, bahkan kejam, sebagaimana diklaim oleh RR.

Oleh karena itu, mari kita tantang Menko RR, agar tingginya rezim pajak pada tagihan atau pulsa token listrik “direvolusi mental”, dikikis, setidaknya dikurangi. Bukan sekedar menurunkan biaya admin bank, sebagaimana dijanjikan Dirut PT PLN; tetapi bagaimana negara (pemerintah) tidak melanggengkan mafia pungutan untuk “memeras” rakyatnya via tagihan listrik. Kejam!

Penulis : Tulus Abadi SH

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen YLKI)