Setiap menjelang hari besar keagamaan, hampir bisa dipastikan harga sejumlah komoditas akan bertriwikrama. Di pasar tradisional beberapa kota di Indonesia mulai menunjukkan gejala tersebut akhir-akhir ini. Harga cabai rawit yang biasanya Rp 35 – 40 ribu perkilo, melonjak jadi Rp 60 – 70 ribu. Demikian juga dengan telor ayam yang sebelumnya rata-rata Rp 17-18 ribu per kilogram, menembus angka Rp 23 ribu per kilogram di sejumlah daerah.
Pada skala kecil, kondisi seperti ini bisa dipahami. Secara sederhana dapat dijelaskan jika terjadi lonjakan permintaan, maka harga akan bergerak naik. Menjelang bulan Ramadhan dan hari raya, permintaan masyarakat terhadap sejumlah komoditas memang meningkat. Artinya, di level tertentu lonjakan harga sejumlah komoditas tidak perlu disikapi secara berlebihan. Hal ini justru menjadi indikator positif terhadap gerak roda ekonomi.
Bagi konsumen yang terpenting dalam pergerakan harga harus mampu mengakomodasi prinsip ketersediaan dan keandalan. Harus ada jaminan bagi konsumen bahwa komoditas tersebut tersedia di pasar. Ini penting, sebab apalah artinya harga murah tetapi barang tidak ditemukan di pasar. Tanpa diikuti ketersediaan komoditas, justru akan diikuti lonjakan harga secara ilegal, bahkan jauh melebihi batas kewajaran. Selain tersedia di pasar, harus ada jaminan bahwa komoditas dimaksud memiliki keandalan dalam bentuk mutu atau kualitas produk sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tidak ada pengurangan atau penambahan bahan yang dapat membahayakan konsumen.
Tetapi dalam level ekonomi makro, tidak mudah memahami mekanisme lonjakan harga suatu komoditas. Demikian banyak variable yang terkait, rumit dan kompleks. Dalam upaya memahami dinamika harga, setidaknya ada tiga aspek yang dapat dikemukakan. Pertama; adanya gangguan keseimbangan antara demand (permintaan) dan supply (penawaraan). Pergerakan demand atau supply sangat berkontribusi terjadinya dinamika harga.
Dalam hal kecenderungan harga pasar stagnan atau bahkan turun, konsumen akan menunda transaksi. Sebaliknya ketika harga cenderung meningkat, konsumen akan bergegas melakukan transaksi. Kondisi terakhir inilah yang mempengaruhi peningkatan jumlah permintaan secara massif dan dalam jumlah besar yang berdampak pada lonjakan harga secara ekstrem.
Kedua, sistem distribusi. Tata kelola mata rantai distribusi yang berbelit dan cenderung koruptif, membawa dampak signifikan pada pergerakkan harga. Banyaknya pungutan liar yang harus ditanggung oleh pelaku usaha dalam pendistribusian, akan sangat berdampak pada harga jual komoditas. Ujung-ujungnya masyarakat konsumen juga yang harus menanggung bebannya.
Disisi lain, dukungan infrastruktur turut memberi andil dinamika harga suatu komoditas. Kemacetan panjang atau antrian truk di pelabuhan, menjadi contoh konkrit. Tidak adil rasanya jika biaya distribusi komoditas yang tertahan akibat buruknya infrastruktur harus dibebankan kepada konsumen. Harusnya negara yang menanggung biaya distribusi tersebut.
Ketiga, struktur pasar. Ketika berbicara tentang stabilisasi harga, selama ini pemerintah lebih banyak menyinggung cadangan (ketersediaan) komoditas. Pemerintah lebih percaya diri untuk mengungkapkan bahwa ketersediaan suatu komoditas relatif aman, tetapi belum banyak intervensi di struktur pasar. Padahal terjadinya pergerakan harga sejumlah komoditas ditengarai karena struktur pasar yang timpang (distorsif). Terjadi praktik oligopoli misalnya, dimana sejumlah komoditas dikuasai oleh segelintir pelaku usaha. Dengan kemampuan ekonomi tersebut, mereka medikte harga pasar.
Dugaan praktik kartel harga komoditas publik yang kerap mencuat seiring lonjakan harga harus benar-benar diperangi, dengan pemerintah sebagai garda terdepannya. Praktik ini terbukti telah merugikan konsumen dalam bentuk harus membayar lebih mahal dari harga wajar.
Operasi Pasar?
Dalam menyikapi pergerakan harga – khususnya lonjakan, pemerintah cenderung melakukan langkah instan dengan melakukan operasi pasar. Tak ada yang salah sebenarnya, tetapi langkah ini perlu dikritisi. Selama ini operasi dilakukan dengan melepas sejumlah komoditas ke pasar dengan sistem terbuka. Artinya, target operasi pasar tidak jelas. Idealnya operasi dilakukan dengan sistem tertutup dan menyasar konsumen spesifik yang terdampak dari gejolak pergerakan harga.
Dilain pihak, jika asumsi operasi pasar karena terganggunya keseimbangan antara demand dan supply, maka harus ada ukuran pada tingkat kenaikan berapa persen suatu komoditas harus diimbangi dengan operasi pasar. Selama ini tidak pernah ada ukuran, sehingga mengesankan operasi pasar hanya sebagai proyek mengiringi rutinitas hari raya keagamaan.
Agenda kedepan yang perlu dibenahi pemerintah adalah dari sisi hulu dengan membenahi kelembagaan dan melakukan sinergi. Dengan demikian dalam upaya melakukan stabilisasi harga sejumlah komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, semua pihak dapat terlibat. Mulai dari pemerintah, pelaku usaha dan konsumen memiliki kontribusi, kendati dalam tataran yang berbeda.
Agus Sujatno
0 Comments on "Lonjakan Harga, Tangungjawab Siapa?"