Setelah penghapusan kebijakan 3 in 1 per 16 Mei 2016 oleh Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), kondisi beberapa ruas jalan mengalami kemacetan parah. Bahkan kemacetan tak hanya terjadi di jalan eks kebijakan 3 in 1 namun juga meluas hingga jalan di sekitarnya. Ini disebabkan pengendara mobil pribadi lebih memilih menuju jalur bekas 3 in 1. Ujung-ujungnya terjadi penumpukan kendaraan hampir di seluruh jalan.
Menghadapi realita bahwa penghapusan kebijakan 3 in 1 tidak mampu mengurai kemacetan, bahkan semakin menambah kemacetan di jalanan wilayah DKI Jakarta, membuat Pemprov DKI harus memutar otak mencari kebijakan pengganti. Dan alternatif tersebut jatuh pada penerapan sistem ganjil genap plat nomor kendaraan. Sistem ini diterapkan di seluruh jalan eks kebijakan 3 in 1 dengan jam operasional yang sama (07.00 – 10.00 dan 16.00 – 19.00). Tak urung kebijakan ini menuai banyak cibiran dan menganggap sebagai kebijakan panik, kendati juga tak sedikit masyarakat yang mendukung.
Sejatinya tidak aneh sebuah kebijakan publik menuai pro dan kontra. Apalagi kebijakan publik yang akan membatasi hak-hak warga Jakarta. Namun demikian, tentu bukan tanpa alasanGubernur Ahok menggulirkan kebijakan ganjil genap di Jakarta. Secara historis, pembatasan kendaraan pribadi dengan sistem ganjil genap telah lama diwacanakan. Pada masa awal kepemimpinan Gubernur Joko Widodo (2012) rencana penerapan sistem ganjil genap telah matang untuk dilaksanakan. Namun batal dieksekusi lantaran memunculkan proyek baru berupa cetak stiker yang konon anggarannya mencapai 2,5 milyar. Artinya, Gubernur Ahok (yang saat itu menjabat Wagub) tinggal meneruskan rencana semula, dengan menghilangkan kewajiban cetak stiker.
Sedangkan pada tataran normatif, kebijakan ganjil genap mempunyai sandaran yangcukup kuat yang tertuang dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULAJ). Benar, bahwa UU tersebut tidak secara spesifik menyebutkan sistem ganjil genap, namun Pasal 133 ayat (1) UULAJ tersebut menandaskan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang lalu-lintas dan mengendalikan pergerakan lalu-lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan lalu-lintas. Bahwa untuk mewujudkan managemen lalu-lintas dimaksud, adalah dengan cara pembatasan lalu-lintas kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu.Kebijakan ganjil genap dalam rangka pembatasan lalu-lintas kendaraan perseorangan/ pribadi.
Migrasi ke Angkutan Umum
Terlepas dari aspek normatif yang mengaturnya, kondisi kemacetan Jakarta saat ini sudah sedemikan akut. Kemacetan tak lagi mengenal waktu, dan tak pandang bulu ruas jalan yang mana. Diperkirakan, kecepatan rata-rata kendaraan bermotor akan terus turun drastis, hingga menyisakan 10 km per jam!. Amat mudah untuk menuding penyebab utamanya, ialah jumlahkendaraan bermotor di Jakarta yang makin tinggi, sementara ruas jalan tidak bertambah secara signifikan. Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metrojaya melansir pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta sebesar 12 persen per tahun.
Kebijakan ganjil genap yang digulirkan Pemprov DKI Jakarta merupakan satu upaya untuk mendorong masyarakat mengurangi kendaraan pribadi. Namun upaya ini akan sia-sia belaka, dengan memindahkan kemacetan di tempat lain atau jam tertentu, jika tidak diimbangi dengan konsep pembangunan public transport. Artinya, ada syarat mutlak yang harus disediakan oleh pemerintah seiring diberlakukan kebijakan ganjil genap. Ialah ketersediaan angkutan umum yang handal, manusiawi dan terintegrasi. Dengan konsep ini, masyarakat bukan hanya didorong untuk meninggalkan kendaraan pribadi, tetapi juga ditarik untuk bermigrasi ke angkutan umum masal.
Oleh karena itu, beberapa catatan kritis ketika sistem ganjil genap mulai diterapkan adalah; pertama, melanjutkan revitalisasi Transjakarta. Tambahan armada perlu terus dilanjutkan dan sterilisasi jalur busway. Dengan demikian pelayanan minimal Transjakarta bisa diwujudkan dan menjadi daya tarik pengguna kendaraan pribadi untuk berpindah ke Transjakarta. Klaim Dinas Perhubungan DKI Jakarta bahwa sistem ganjil genap mampu meningkatkan jumlah penumpang Transjakarta hingga 32,57% dan menurunkan volume lalu lintas 15%, patut diapresiasi dan dicermati. Dalam konteks penegakan hukum dapat “dibaca” bahwa masyarakat Jakarta dan sekitarnya mampu menjalankan peraturan dengan baik, meski tidak menutup kemungkinan masih terjadinya pelanggaran. Revitalisasi angkutan umum yang lain juga wajib dilakukan. Tak kalah penting adalah segera kebut pembangunan MRT (mass rapid transit). Selain sebagai sarana transportasi alternatif, pembangunan jalur MRT saat ini berkontribusi menambah kemacetan dan tersendatnya Transjakarta mencapai halte. Headwaytransjakarta yang digadang-gadang kurang dari 10 menit pun batal terwujud.Kedua, penegakan hukum yang serius. Tanpa penegakan hukum yang sungguh-sungguh, sistem ganjil genap hanya akan bernasib sama dengan kebijkan-kebijakan sebelumnya. Sebagaimana sistem 3 in 1, yang ditelikung oleh joki atau denda lima ratus sampai sejuta bagi penyerobot jalur busway yang tak lagi terdengar gaungya. Sistem ganjil genap mutlak memerlukan dukungan dari berbagai pihak untuk penegakkan hukum. Boleh saja dalam masa uji coba (27 Juli – 26 Agustus), pelanggar hanya mendapat teguran, tetapi dalam implementasi sesungguhnya sanksi harus diterapkan. Jangan sampai hanya menjadi macan kertas belaka. Termasuk mengantisipasi terjadinya “main mata” antara oknum petugas di lapangan dengan pelanggar hukum.Ketiga, segera matangkan sistem electronic road pricing (ERP), yaitu sistem jalan berbayar untuk kendaraan pribadi. Kebijakan ganjil genap merupakan kebjakan antara sebelum sampai pada pembatasan kendaraan pribadi menggunakan sistem ERP. Konon, sistem ERP mandeg karena belum adanya lelang untuk operator sistem tersebut. Diharapkan akhir 2016 operator sudah ada pemenang lelang sebagai operator ERP, sehingga pada 2017 sistem jalan bebayar ini sudh bisa diterapkan.
Sudah saatnya Jakarta memiliki kebijakan yang mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi serta menyediakan angkutan masal yang handal, manusiawai dan terintegrasi. Bukan malah mengujicoba kebijakan yang justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Sudah selayaknya sistem ganjil genap dilaksanakan dalam kerangka untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, serta mendorong terwujudnya transportasi publik yang manusiawai bagi masyarakat. Jangan sampai muncul anggapan sistem ganjil genap merupakan “kebijakan panik” akibat imbas dihapusnya 3 in 1 dan belum siapnya sistim ERP.
Berbagai kegagalan di kota-kota besar lain di dunia terhadap sistem ganjil genap, seperti di Meksiko City, Santiago, Roma, dan beberapa kota besar lain; harus menjadi pelajaran berharga. Tanpa hal itu, sistem ganjil genap hanya akan menjadi catatan sejarah tentang kebijakan gagal dalam mengatasi kemacetan Jakarta.
Agus Sujatno (Sekertaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
0 Comments on "Menyoroti Kebijakan Sistim Ganjil-Genap"