Setelah menjadi tuan rumah Asian Games, Indonesia kembali dipercaya menjadi tuan rumah sebuah pertemuan internasional, yakni APACT Meeting (Asia Pasific Tobacco and Health), diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, 12-15 September 2018. Ini merupakan APACT Meeting ke-12 dan dihadiri oleh lebih dari 20 negara di Asia Pasific, dengan peserta sekitar 1.000 orang, dan menghadirkan puluhan nara sumber internasional, baik dari WHO dan atau LSM internasional.

Opening Ceremony dilakukan pada Kamis, 13 September 2018, oleh Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. Nila Moeloek. Selain Menkes, juga akan hadir Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kepala Bappenas RI. APACT Meeting diselenggarakan setiap 3 (tiga) tahun sekali, dibawah koordinasi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Pelaksana nasional (host) acara ini adalah Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan YLKI menjadi salah satu co host-nya.

APACT Meeting adalah pertemuan internasional di bidang pengendalian tembakau (tobacco control), yang berfungsi sebagai wadah berbagi pengalaman dan best practice dalam upaya pengendalian tembakau di negara-negara Asia Pacifik dan dunia. APACT Meeting juga untuk menyatukan kekuatan serta semangat bersama melawan invasi industri rokok raksasa, baik industri nasional dan atau industri multinasional.

Lalu apa pesan stategis APACT Meeting bagi masyarakat dan Pemerintah Indonesia?

Ada beberapa pesan strategis dari APACT Meeting ini, yakni:

Pertama, bahwa hal ini memperlihatkan adanya kekuatan, keinginan, dan upaya yang kuat yang selama ini dilakukan masyarakat Indonesia dalam upaya pengendalian tembakau, sekalipun Pemerintah Indonesia belum mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). FCTC adalah kerangka konvensi pengendalian tembakau dalam skala global, yang sekarang telah menjadi hukum internasional, dan telah diratifikasi/diaksesi oleh lebih dari 190 negara di dunia.

Kedua, APACT Meeting merupakan bentuk dorongan pada Pemerintah Indonesia untuk melihat bagaimana kebijakan dan regulasi negara lain dalam melakukan pengendalian tembakau, untuk melindungi masyarakatnya dari dampak negatif konsumsi tembakau/konsumsi rokok. Sebagai contoh, semua negara di dunia telah melarang iklan dan promosi rokok di semua media.

Bahkan, di Australia bungkus rokok tidak lagi menggunakan merek rokok, tetapi berupa bungkus putih (plain packaging). Upaya pemerintah Indonesia menggugat hal ini ke WTO, pun ditolak. Implementasi kebijakan dan regulasi yang dibuat Pemerintah Indonesia masih sangat minimalis, karena begitu dominannya intervensi industri rokok dalam mempengaruhi pembuat kebijakan.

Dan ketiga, momen APACT Meeting juga merupakan kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk mendapat dukungan global di bidang pengendalian tembakau. Sebab salah satu dimensi pengendalian tembakau adalah upaya untuk menghadapi perusahaan rokok multinasional yg harus dihadapi secara bersama dan simultan.

Salah satu invasi industri rokok multinasional adalah melakukan pembelian kepemilikan atas industri rokok nasional. Seperti PT HM Sampoerna yang telah dicaplok PT Philip Morris Internasional dan atau anak perusahaan PT Gudang Garam yang juga telah diakusisi oleh Japan Tobacco Company.

APACT Meeting merupakan bentuk dorongan pada Pemerintah Indonesia untuk melihat bagaimana kebijakan dan regulasi negara lain dalam melakukan pengendalian tembakau, untuk melindungi masyarakatnya dari dampak negatif konsumsi tembakau/konsumsi rokok

Melalui APACT Meeting ini, seharusnya Pemerintah Indonesia tidak tutup mata untuk lebih membuat terobosan regulasi dan kebijakan untuk pengendalian tembakau, untuk melindungi masyarakat dari dampak multi dimensi konsumsi tembakau. Saat ini perilaku konsumsi rokok di Indonesia sudah sangat membahayakan, karena 35 persen masyarakat Indonesia adalah perokok aktif.

Dengan pertumbuhan jumlah perokok pada anak-anak dan remaja tercepat di dunia. Dengan konfigurasi seperti itu, tidak heran jika wabah konsumsi rokok telah mengakibatkan rantai kemiskinan yang makin akut. Sebab berdasar data BPS dan Riset Kesehatan Dasar, pola konsumsi masyarakat di rumah tangga miskin adalah sangat dominan. Yakni, nomor dua setelah konsumsi beras.

Oleh karena itu, sangat mendesak bagi Pemerintah Indonesia untuk memotong rantai kemiskinan dengan memisahkan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin. Mustahil bagi pemerintah akan bisa menekan jumlah masyarakat miskin, yang jumlahnya masih 30 jutaan,

jika wabah konsumsi rokok masih dibiarkan seperti sekarang ini. Kebijakan konkrit untuk melindungi rumah tangga miskin dan anak-anak plus remaja dari wabah konsumsi rokok adalah: naikkan cukai rokok sampai maksimal (52 persen), larang iklan dan promosi rokok, larang penjualan rokok secara eceran/ketengan, dan tegakkan kawasan tanpa rokok.

Demikian, terima kasih atas perhatiannya. Selamat Tahun Baru Islam,  1 Muharam 1440 Hijriyah.

TULUS ABADI
KETUA YLKI