Warga kota yang modern, adalah warga kota yang orang miskinnya tidak bermimpi mempunyai kendaraan pribadi, dan orang kayanya mau naik angkutan umum.

Itulah tesis mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa; dalam suatu kesempatan kunjungan ke Kota Jakarta, beberapa tahun silam. Tampaknya dengan segala plus minusnya, fenomena itulah yang tengah didorong Pemprov DKI Jakarta. Sangat boleh jadi semua warga Jakarta ingin memiliki kendaraan pribadi, tak terkecuali warga miskin kotanya. Sebaliknya, bagi warga kota nan kaya, tampak ogah-ogahan menggunakan kendaraan umum. Apalagi profil kendaraan umumnya tampak menyeramkan: kumuh, banyak copet, bahkan tukang sirep pula. Fenomena inilah yang secara perlahan hendak digeser, bahkan ditransformasikan oleh pemimpin Jakarta. Tesis Penalosa hendak diwujudkan, warga miskin tak perlu punya mobil dan warga kaya mau naik angkutan umum. Pertanyaannya, mungkinkah hal itu diwujudkan?

Gejala ke arah itu mulai tampak sejak Kota Jakarta “ditukangi” oleh seorang gubernur yang bernama Soetiyoso, alias Bang Yos. Lewat Bang Yos itulah Kota Jakarta “dipaksa” melahirkan busway, pada 2004. Busway inilah yang cikal bakalnya diadopsi dari Ibu Kota Kolombia, Bogota. Saya sendiri berkesempatan melongok hebatnya Transmilenio, busway-nya Bogota, pada awal 2003. Dari situlah Bang Yos, Gubernur Jakarta, mereplikasi Bus Rapid Transit (BRT) untuk diterapkan di Jakarta. Kini Transjakarta sudah 15 tahun beroperasi di Jakarta, dan mampu mengangkut penumpang lebih dari 400 ribu orang per hari. Konon menjadi koridor busway terpanjang dan terbanyak di dunia.

Bagaimanapun Transjakarta merupakan icon dan bahkan kebanggaan Kota Jakarta. Transjakarta bukan hanya didesain untuk menyamankan para penumpangnya tetapi juga untuk mendorong para pengguna kendaraan pribadi bermigrasi ke Transjakarta. Diharapkan dengan migrasi itu akan mengurangi volume traffic di jalan raya, alias ikut mengatasi kemacetan di Jakarta.

Kini setelah terbilang sukses dengan Transjakarta, Kota Jakarta kembali menggeliat dengan angkutan masal berbasis rel. Bahkan kini boleh dibilang Kota Jakarta “dikepung” oleh angkutan masal, mulai dari : MRT (Mass Rapid Transportation) atau kereta cepat bawah tanah, dan 3 (tiga) koridor LRT, meliputi LRT Velodrome-Rawamangun, dan LRT Jabodebek. Belum lagi Commuter Line atau KRL yang makin eksis dengan kapasitas yang terus ditambah dan pelayanan yang kian baik.

Namun keberadaan angkutan masal di Jakarta tidak akan optimal fungsinya jika tidak diback up dengan kebijakan lain. Alih alih angkutan masal yang dibangun dengan dana puluhan triliun itu, hutang pula, akan mangkrak. Salah satu instrumen kebijakan untuk memback up suksesnya angkutan masal adalah kantong-kantong parkir yang terhubung dengan angkutan umum masal. Atau yang lazim disebut park and ride, yang sangat penting untuk mendorong migrasi pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna angkutan umum masal itu.

Ada beberapa catatan dan saran perihal park and ride ini. Yakni, pertama, Pemprov DKI harus membangun sebanyak mungkin wahana park and ride, dan kalau perlu harus bekerja sama dengan pengelola angkutan masal. Misalnya dengan PT KCI, sebagai pengelola Commuter Line di Jabodetabek. Semenjak sistem ganjil genap diberlakukan, penumpang commuter line membludak. Dan dampaknya area parkir di stasiun Commuter Line menjadi over capacity.

Kedua, tarif park and ride sebisa mungkin gratis, atau setidaknya semurah mungkin. Park and ride yang dibangun DKI di beberapa titik terminal, sudah memenuhi syarat itu. Untuk sepeda motor tarifnya Rp 2.000 dan mobil Rp 5.000, berlaku flat selama 13 jam. Ini hal yang positif, agar mereka bermigrasi ke angkutan umum masal. Namun jangan dilupakan terhadap sisi pelayanan dan keamanan. Walau murah, pelayanan tetap harus standar, harus mempunyai standard pelayanan minimal yang jelas.

Ketiga, ini yang mungkin dilupakan, wahana park and ride di Jakarta banyak dijadikan arena penitipan mobil. Mereka sengaja memarkirkan kendaraannya dan tidak menggunakan angkutan umum. Fenomena ini terjadi selain karena tarifnya yang amat murah, juga karena di Jakarta banyak orang punya mobil tetapi tidak mempunyai garasi di rumahnya. Akhirnya mereka parkir sembarangan, parkir di jalan raya atau parkir numpang di pekarangan tetangga. Untuk mengatasi hal ini harus dibuat mekanisme baru bahwa yang bisa parkir di area park and ride adalah penumpang angkutan umum, dibuktikan dengan tiket. Atau cara lain yang lebih ketat. Dan yang paling ideal adalah siapa pun yang ingin punya mobil diwajibkan punya garasi di rumahnya. Dan kenakan tilang semahal mungkin jika ngeyel melakukan parkir liar di jalan raya. Contohlah Jepang, warganya bisa punya mobil jika bisa membuktikan bahwa dirumahnya ada garasi, dan kepolisian akan mengeceknya.

Simpulan, Saran

Kita layak memberikan apresiasi pada pemimpin Jakarta atas dibangunnya berbagai akses angkutan masal di DKI Jakarta. Kita berharap benar agar Gubernur Anies Baswedan menyempurnakan dengan kebijakan komprehensif guna mewujudkan Kota Jakarta sebagai kota yang manusiawi. Setidaknya, kini Jakarta mempunyai 6 (enam) jenis angkutan masal; mulai dari Transjakarta busway, Commuter Line alias KRL, dan segera beroperasi MRT, dan tiga koridor KRL. Luar biasa! Jakarta akan segera setara dengan kota-kota besar lain di dunia, seperti London, Tokyo, Shanghai, dll. Namun, ini yang harus kita tekankan, keberadaan angkutan masal itu akan mangkrak alias menjadi besi tua, jika tidak ada back up dengan kebijakan nan komprehensif. Selain park and ride, masih setumpuk yang lain yang bisa diwujudkan semisal ganjil genap, implementasi ERP/Electronic Road Pricing, harga BBM yang mahal, bahkan tarif tol yang mahal pula. Dan jangan lupa pembatasan penggunaan kendaraan bermotor di koridor yang dilalui angkutan masal harus diterapkan, termasuk sepeda motor.  Kebijakan semacam itu cukup fair diterapkan jika akses dan sarana angkutan umum masal sudah tersedia, dengan kenyamanan yang terukur, plus tarif yang terjangkau. Jika kebijakan semacam itu tidak diberlakukan, maka angkutan masal itu akan bernasib buruk, ora payu, alias tidak laku. Jika sepeda motor dibiarkan seperti sekarang, menyemut dimana-mana, maka hal itu akan mempercepat kematian angkutan masal.

Warga Jakarta mau tidak mau harus bertransformasi, harus melakukan revolusi mental, seperti jargon rezim kekinian. Tanpa mengubah kultur dan perilaku maka Kota Jakarta dan warganya, akan tetap ndeso, tertinggal dengan warga kota lain di dunia yang lebih beradab. Dengan demikian kemacetan di Jakarta bukan lagi menjadi hantu di siang bolong. Kalau pun masih macet juga, tersedia sarana transportasi alternatif yakni angkutan masal yang nyaman, aman, cepat dan tepat waktu, plus tarifnya terjangkau. Cukup fair kan? ***

Artikel ini pertama kali dimuat di indonesiana.tempo.co; Jumat, 28 September 2018

TULUS ABADI
KETUA PENGURUS HARIAN YLKI