Jatuhnya Lion Air JT-610 ada­lah klimaks dari potret bu­ruknya pelayanan Lion Air di mata publik, khususnya para pengguna Lion Air. Di mata konsumen, Lion Air dianggap sebagai maskapai “raja delay”.

Rontoknya pesawat Lion Air JT-610 ju­rusan Jakarta-Pang­kal Pinang yang merenggut 189 korban nyawa adalah sebuah tragedi. Bukan saja tragedi bagi para korban/ahli waris korban, tapi bagi wajah penerbangan na­sio­nal secara keseluruhan. Oleh karenanya, atas tragedi itu, bisa jadi ini sebuah kondisi “da­ru­rat” penerbangan nasional. Ka­sus Lion Air JT-610 bisa me­mo­rak-porandakan reputasi pe­ner­bangan nasional di mata internasional.

Jatuhnya Lion Air JT-610 ada­lah klimaks dari potret bu­ruknya pelayanan Lion Air di mata publik, khususnya para pengguna Lion Air. Di mata konsumen, Lion Air dianggap sebagai maskapai “raja delay”. Pantas jika Lion Air sering di­pa­ro­dikan sebagai Late Is Our Nature  atau bahkan Lie On Air. Pada konteks empiris parodi semacam itu tidaklah salah. Mengingat keterlambatan de­mi keterlambatan, bahkan da­lam skala massal, seolah men­jadi habit bagi penerbangan ber­logo singa ini.

Data peng­adu­an konsumen di Yayasan Lem­baga Konsumen Indo­ne­sia (YLKI) juga menjadi bukti sejak tujuh tahun terakhir, peng­aduan konsumen Lion Air sangat dominan, paling tinggi. Ironisnya, nihil respons dari ma­najemen Lion Air. Kece­la­ka­an yang menimpa JT-610 pun bukan kali pertama, bahkan secara akumulasi sejak perta­ma Lion Air beroperasi hingga se­karang telah 20 kali meng­alami accident. Termasuk kece­la­kaan Lion Air di Bandara Adi Soemarmo-Solo yang mene­was­kan 26 penumpang.

Di sisi lain, jatuhnya Lion Air JT-610 merupakan antik­li­maks jika dilihat dari prestasi pe­nerbangan nasional akhir-akhir ini. Sebab sejatinya po­tret penerbangan nasional te­lah mendapat berbagai apre­siasi prestisius. Misalnya, men­da­pat rating  pertama dari FAA  (The Federal Aviation Admi­nis­tration) Amerika. Selama ini rating kita bertengger pada posisi kedua, kalah dengan Singapura dan Malaysia.

Ke­dua, pencabutan larangan ter­bang ke wilayah Uni Eropa un­tuk semua maskapai di Indo­ne­sia. Penerbangan Indonesia se­la­ma 16 tahun belakangan ini dil­arang terbang ke wilayah udara Eropa. Ketiga, pener­bang­an Indonesia juga men­da­pat apresiasi tinggi dari ICAO (Internasional Civil Aviation Organisation). Kasus yang me­nimpa Lion Air JT-610 bisa men­jadi ancaman serius bagi pe­nerbangan nasional untuk di-down grade  oleh FAA, bah­kan larangan terbang ke Eropa diberlakukan kembali. Apalagi jika punishman yang diberikan Kementerian Perhubungan (Ke­menhub) sebagai regulator terkesan lembek.

Patut diduga dengan kuat, kasus ini terjadi karena ber­mu­la dari lemahnya pengawasan Kemenhub sebagai regulator kepada operator (Lion Air). Ada beberapa sebab kenapa peng­awasan Kemenhub lembek dan di sisi lain manajemen Lion Air terlihat jemawa dan defensif. Pertama, minimnya sumber daya Kemenhub, khususnya Dit­jen Perhubungan Udara.

Se­mentara bisnis Lion Air makin menggurita, makin mendo­mi­na­si sektor penerbangan nasio­nal (45%). Akibatnya, peng­awas­an yang dilakukan makin kedodoran. Kedua, banyaknya pensiunan pejabat Kemenhub, bahkan TNI/Polri, yang dipe­ker­jakan di manajemen Lion Air. Akibatnya, menimbulkan conflict of interest. Terjadi ewuh pekewuh dalam peng­awas­an­nya. Risikonya, pelanggaran de­mi pelanggaran tak ter­hin­darkan.

Niat Kemenhub meng­eva­luasi penerapan tarif murah di penerbangan bisa dimengerti. Sebab bisa jadi buntut pe­ne­rapan tarif murah itu akhirnya budget  untuk maintenance  di­su­nat dengan alasan peng­he­mat­an. Padahal maintenance  ada­lah aspek safety yang men­jadi taruhannya. Selama ini yang jelas-jelas disunat adalah aspek services, khususnya cabin services. Potensi untuk mengu­rangi biaya maintenance  akibat menerapkan tarif murah bisa saja terjadi.

Tetapi ma­sa­lah­nya, konsep penerbangan mu­rah atau LCC (low cost carrier) adalah hal lazim di seluruh du­nia. Di Indonesia pun bukan ha­nya Lion Air yang mene­rap­kan. Jadi, pada tataran konsep, seharusnya tidak ada per­soal­an dengan penerapan LCC. Na­mun, yang krusial dilakukan Ke­menhub adalah mening­kat­kan pengawasan kepada Lion Air.

Kalau perlu Kemenhub ha­rus bisa membuka laporan ke­uangan Lion Air yang sudah audited agar  mengetahui bera­pa persen alokasi dana untuk biaya perawatan di Lion Air. Jika hal ini bisa diendus akan terkuak, apakah memang ada rekayasa finansial untuk me­ne­kan biaya perawatan, atau sebaliknya.

Kasus yang menimpa Lion Air harus dijadikan pem­be­la­jaran oleh semua pihak. Ini ha­rus menjadi kasus terakhir yang menimpa penerbangan komersial di Indonesia. Jangan korbankan konsumen jasa pe­nerbangan hanya karena ga­gal­nya pengawasan dan atau con­flict of interest  akibat kepen­tingan pribadi. Kemenhub se­ba­gai regulator harus berani me­lakukan moratorium eks­pansi Lion Air, baik untuk pe­nambahan rute baru dan atau penambahan jadwal pe­nerbangan pada rute tertentu.

Dominannya market share Lion Air mengakibatkan peng­awasan oleh regulator yang makin kedodoran, konsumen makin terdikte, dan per­saing­an bisnis tidak sehat. Per­nya­ta­an CEO Lion Air, Rusdi Kirana, bahwa pelayanan Lion Air bu­ruk, tapi konsumen tak ada pi­lih­an, harusnya menjadi triger bagi regulator untuk mem­buk­tikan sebaliknya. Itu adalah pernyataan sangat aro­gan, bahkan menantang regulator dan konsumen yang meng­aki­batkan regulator makin mem­ble dan konsumen tak berkutik karena minim pilihan.

Darurat penerbangan na­sional harus diakhiri, wu­jud­kan wajah penerbangan na­sio­nal yang nyaman, aman, dan se­lamat. Captive market  yang ma­sih terbuka lebar plus karakter negara kepulauan, Indonesia masih banyak memerlukan ak­ses penerbangan nasional yang handal. Penerbangan yang meng­utamakan kenyaman, ke­amanan, dan keselamatan bagi penggunanya. Bukan pe­nerbangan yang arogan, tapi abal-abal pula.

Artikel ini sudah dimuat di Koran SINDO, Senin; 5 Oktober 2018 dan SINDONEWS.com

TULUS ABADI
Ketua Pengurus Harian YLKI