Pesawat udara sebagai sarana transportasi adalah bentuk public services. Sebagai bentuk pelayanan publik, sudah sepatutnya ada intervensi negara dalam hal penarifan
MENTERI Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi kini tengah melakukan kajian serius untuk merevisi formulasi tarif batas atas (TBA) pesawat udara. Kisarannya sekitar 15% dari formulasi semula. Wacana ini mengemuka setelah adanya tekanan publik yang cukup kencang terhadap Menhub yang dianggap gagal mengendalikan tiket pesawat, yang hingga kini masih menyundul langit. Bahkan muncul tagar #PecatBudiKarya yang sempat menjadi trending topic di Twitter.
Dampak melambungnya tiket pesawat memang membuat banyak pihak kalang kabut. Bukan hanya sektor kepariwisataan, perhotelan, sektor kebandarudaraan pun meradang dibuatnya. Bagaimana tidak meradang jika akibat menurunnya pesawat berdampak langsung terhadap pendapatan bandara. Manajemen PT Angkasa Pura I mengaku pendapatannya dalam lima bulan terakhir drop sampai 36%. Hal yang sama juga dialami oleh manajemen PT Angkasa Pura II, yang sejak tiga bulan terakhir penumpang di bandaranya menyusut hingga 3 juta orang.
Upaya Menhub untuk merevisi formulasi TBA tersebut, secara umum layak diapresiasi. Itu artinya Menhub mendengarkan aspirasi publik yang dalam lima bulan terakhir dibuat kelojotan atas masih mahalnya tiket pesawat udara. Selain itu, merevisi TBA juga merupakan kebijakan yang berimbang jika disandingkan dengan naiknya persentase TBB (tarif batas bawah). Selama ini yang diminta masyarakat adalah turunnya tiket pesawat, tetapi yang dilakukan Menhub malah menaikkan persentase TBB menjadi 35% dari semula 30%.
Namun jika ditelaah apa yang dilakukan Menhub dengan hendak merevisi formulasi TBA, adalah kebijakan yang paradoksal, khususnya dalam konteks keberlanjutan sektor penerbangan di Indonesia. Faktanya selama ini tak ada bukti autentik bahwa pihak maskapai telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan TBB dan atau TBA. Hal tersebut secara verbal juga diakui oleh Menhub, Menteri Negara BUMN Rini Soemarno, pihak maskapai, dan INACA.
Jika tingginya tarif pesawat di satu sisi, dan di sisi lain belum ada bukti pelanggaran regulasi, maka tak punya alasan rasional untuk merevisinya. Menhub sepertinya tidak pede dengan regulasi yang telah dibuatnya. Benar adalah kewenangan Kemenhub, sebagai regulator, untuk menentukan formulasi tarif batas atas pesawat udara sebagaimana diatur dalam UU tentang Penerbangan. Bahkan, Menhub juga mengklaim bahwa upaya merevisi TBA pesawat udara adalah dalam rangka memperhatikan aspek kemampuan (daya beli) masyarakat.
Sekali lagi dalam konteks kebijakan publik, hal yang demikian tentu sangat positif. Bagaimanapun, pesawat udara sebagai sarana transportasi adalah bentuk public services. Sebagai bentuk pelayanan publik, sudah sepatutnya ada intervensi negara dalam hal penarifan. Benar jika merujuk pada Pasal 127 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, disebutkan secara gamblang bahwa TBA ditentukan oleh menhub dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak sehat.
Selanjutnya, dalam bagian penjelasan Pasal 127 ayat 2 tersebut ditandaskan bahwa yang dimaksud perlindungan konsumen adalah melindungi konsumen atas pemberlakuan tarif tinggi oleh badan usaha angkutan udara niaga dan melindungi konsumen dari iklan/informasi yang tarif penerbangan yang berpotensi merugikan/menyesatkan dari persaingan tidak sehat. Dengan demikian, jika merujuk pada substansi pasal dimaksud, titik tekan perlindungan konsumennya adalah melindungi konsumen dari tarif mahal akibat persaingan tidak sehat, dan iklan/informasi tarif yang menyesatkan bagi konsumen.
Tidak ada perintah secara tersurat dan atau tersirat bahwa aspek daya beli konsumen menjadi pertimbangan dalam menentukan TBA pesawat. Dengan demikian, pertimbangan Menhub bahwa reformulasi TBA pesawat adalah dalam rangka mempertimbangkan aspek daya beli masyarakat adalah hal yang absurd. Rencana aksi Menhub merevisi TBA juga merupakan hal yang anomali. Bagaimana tidak anomali, jika sejatinya sejak 2017, sektor penerbangan nasional (INACA) berteriak-teriak agar TBA pesawat udara dinaikkan.
Usulan itu bukan tanpa alasan, mengingat tekanan eksternal sektor penerbangan juga tak kalah kencangnya, dari naiknya harga avtur, jebloknya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, naiknya tarif kebandarudaraan, hingga faktor lainnya. Akibat belum dikabulkannya usulan kenaikan TBA di satu sisi dan di sisi lain tekanan eksternal yang sangat memengaruhi struktur biaya, wajar jika finansial semua maskapai Indonesia mengalami pendarahan, termasuk maskapai pelat merah (Garuda). Anomali yang lain, pada konteks momen mudik Lebaran yang merupakan peak season, adalah hal yang aneh jika malah diturunkan.
Banyaknya anomali di balik kebijakan revisi TBA pesawat ini bisa berbuntut panjang dan kompleks, yang dalam batas tertentu justru merugikan kepentingan publik yang lebih luas. Manajemen maskapai udara tentu akan patuh pada regulasi yang ada. Namun, mereka pun tidak akan kehilangan akal, yakni akan menutup rute-rute yang dianggap yang tidak menguntungkan. Atau akan mengurangi jumlah penerbangan sekalipun untuk jalur-jalur gemuk.
Penutupan atau pengurangan jadwal penerbangan semacam ini tidak bisa dihindari guna menekan tingginya kerugian. Nah, kalau sudah begini siapa yang dirugikan, apalagi untuk daerah-daerah yang remote area? Apakah pemerintah bisa menggantikan peran maskapai tersebut, dengan mengerahkan armada pesawat? Bahkan, tekanan dan intervensi yang sangat keras ini bisa berpotensi mengancam keselamatan penerbangan, karena sangat mungkin maskapai akan mengurangi biaya perawatan.
Upaya Menhub untuk mendengarkan aspirasi publik agar tarif pesawat turun, sekali lagi, patut diapresiasi. Namun, seyogianya Menhub konsisten dengan regulasi dan jangan pula menabrak kelaziman sektor penerbangan. Upaya menurunkan persentase TBA harus punya justifikasi yang jelas dan rasional, bukan (hanya) berbasis tekanan masyarakat semata. Aspek perlindungan konsumen, jelas harus mendapatkan perhatian serius, sebagaimana dijamin dalam UU tentang Penerbangan, yakni bagaimana pemerintah menjamin bahwa tingginya tarif pesawat itu bukan karena adanya kongkalikong antarmaskapai.
Kini dugaan kartel tengah diendus via penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Seharusnya Menhub bersinergi dengan KPPU untuk membuktikan adanya praktik kartel atau sebaliknya. Kita khawatir, sekalipun persentase TBA telah diturunkan oleh pemerintah, toh tidak akan mampu menurunkan tingginya tarif pesawat sebagaimana harapan masyarakat. Pasalnya, kalau hanya diturunkan 15%, sementara maskapai saat ini menerapkan 80% dari TBA, maka jika TBA hanya turun sebesar 15% tidak akan mampu mereduksi tingginya tiket pesawat.
Pemerintah dan maskapai dituntut untuk memberikan suatu pencerdasan kepada masyarakat selaku pengguna jasa penerbangan, perihal tarif yang sebenarnya dari pesawat. Bahwa murahnya tarif pesawat selama ini adalah bentuk “subsidi internal” oleh maskapai, dengan berbagai jurus tarif promosi. Kini subsidi internal itu telah diambil kembali oleh maskapai udara, demi keberlanjutan maskapainya. Namun demikian, manajemen maskapai harus punya empati untuk tetap memberikan diskon tarif secara selektif dan secmented, sehingga persepsi publik bahwa tarif pesawat di Indonesia harganya menyundul langit bisa dihindari (sirna).
Artikel asli dapat dilihat di SINDONEWS.com Selasa, 14 Mei 2019 – 07:05 WIB
TULUS ABADI KETUA YLKI
0 Comments on "Patgulipat Kebijakan Tiket Pesawat"