Setiap tanggal 28 September 2018, seluruh masyarakat dunia memperingati Hari Hak Untuk Tahu Sedunia (The International Right To Know Day). Gagasan dari perayaan ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa mereka memiliki hak dan kebebasan untuk mendapatkan informasi. Di Indonesia, ini sejalan dengan mandat dari Undang-undang Perlindungan Konsumen. Pada pasal 4 poin (c) menyebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar jelas dan jujur terhadap kondisi barang yang akan dikonsumsinya.
Namun secara faktual di lapangan, hak mendapatkan informasi yang jelas benar dan jujur nampaknya masih jauh panggang dari api. Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha cenderung menyembunyikan informasi produk yang bersifat merugikan konsumen. Produk rokok contoh konkritnya; alih-alih memberikan informasi yang benar jelas dan jujur, sebaliknya justru memberikan informasi melalui iklan yang sangat menyesatkan.
Benar bahwa pemerintah telah memberikan informasi bahaya merokok melalui pencantuman peringatan kesehatan bergambar (Pictorial Health Warning/ PHW) pada bungkus rokok. Tapi realitanya? Alamak…… Sudah ukuran PHW-nya kecil, tertutupi pita cukai pula! Sehingga masih jauh dari kata efektif untuk membeikan informasi kepada konsumen akan bahaya merokok.
Peringatan Hari Hak untuk Tahu ini menjadi refleksi terhadap keberadaan regulasi pengendalian tembakau di Indonesia yaitu PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Produk Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau pada Kesehatan. dalam konteks saat ini, PP tersebut sudah tidak lagi efektif melindungi masyarakat konsumen, baik konsumen perokok aktif, pasif maupun calon perokok pemula, terutama kelompok anak. Buktinya, prevalensi perokok anak terus melonjak tinggi mulai dari tahun 2013 sebesar 7,2% menjadi 9,1% pada tahun 2018. Alhasil, target penurunan prevalensi perokok anak dalam RPJMN 2014-2019 yang disusun oleh pemerintah gagal karena jumlah perokok anak jauh dibawah dari target yang semestinya hanya 5,4%.
Pada jilid dua masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah dibuat target baru RPJMN 2020-2024, yaitu prevalensi perokok anak di Indonesia diharapkan turun menjadi 8,7%. Meskipun dari prevalensi yang ada hanya turun sebesar 0,4% tetap patut diapresiasi terkait upaya pemerintah menciptakan generasi penerus yang maju, unggul, sehat dan berdaya saing. jika Presiden Jokowi konsisten dengan kebijakannya, maka salah satu strategi untuk menurunkan prevalensi perokok anak adalah revisi PP 109 Tahun 2012 utamanya pada perluasan peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok.
Relevansi dengan UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pada pasal 4 disebutkan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dan berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur dalam hal ini bahaya produk prokok.
Saat ini, besaran PHW di Indonesia adalah yang terkecil di tingkat Asia, yaitu 40%. Masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Malaysia (55%), Singapura 75% bahkan Timor Leste 92,5%. Dengan ukuran yang kecil, pesan dan informasi akan bahaya merokok tentu tidak sampai pada konsumen. Celakanya, masih harus tertutup dengan pita cukai, maka jangan harap konsumen terinformasi dengan jelas. Alih-alih sampai tingkat sadar sebaliknya semakin ambyar akan bahaya rokok.
Apalagi di masa pandemi Covid-19, terbukti bahwa perokok lebih berisiko tinggi terinfeksi Covid-19. Jadi ini adalah momentum terbaik pemerintah segera mengeluarkan kebijakan terkait perluasan peringatan kesehatan di bungkus rokok. Sehingga masyakarat konsumen akan terinformasi dengan jernis, jujur dan jelas.
Bertepatan dengan peringatan Hari Hak untuk Tahu Sedunia, YLKI mendesak agar Pemerintah segera mengamandemen PP 109 Tahun 2012 guna melindungi konsumen utamanya anak dari bahaya zat adiktif merokok. Waktu 2 tahun sudah cukup lama untuk menunda.
dan berikut beberapa catatan krusial YLKI:
- Ukuran PHW saat ini harus segera diperluasan dan mengubah bentuk penempelan pita cukai yang selama ini menutupi gambar bahaya merokok. Perluasan PHW merupakan cara yang paling efektif dan efisien serta pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun.
- Perluasan PHW merupakan hak konsumen yang wajib dipenuhi pemerintah dalam rangka perlindungan kesehatan masyarakat konsumen dari produk yang merugikan.
- Ukuran pencantuman PHW merupakan indikator keseriusan pemerintah dalam melindungi warga negaranya dari bahaya zat adiktif merokok secara transparansi.
- Salah satu upaya untuk mencapai target RPJMN 2020-2024, dan bahkan target tujuan pembangunan yang berkelanjutan (SDG’s).
Demikian siaran pers YLKI, sebagai upaya mendorong dan mengetuk hati Presiden Joko Widodo dalam konsistensi melindungi warga negaranya terhadap bahaya merokok, dan upayanya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Salam sehat selalu.
Wassalam,
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI.
0 Comments on "Perluasan PHW Wujud Komitmen Pemerintah Menjamin Hak atas Informasi"