Konflik sosial yang disebut merupakan muara dari ekploitasi ekonomi yang dilakukan pelaku usaha atas pemilik dan/atau penghuni perumahan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Ini seharusnya dapat dihindari apabila pemerintah menyadari betapa pentingnya industri perumahan yang fair bagi seluruh warga negara Indonesia.
Memiliki rumah layak huni merupakan dambaan setiap masyarakat diseluruh pelosok dunia, termasuk di Indonesia. Secara normatif, ini dipertegas dan diakui internasional dalam Universal Declaration of Human Rights 1948 pasal 25 ayat (1). Secara khusus juga dijelaskan dalam pasal 11 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (selanjutnya disebut Kovenan EKOSOB) yang pada intinya merupakan pengakuan negara-negara terhadap hak setiap orang atas standard kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan.
Seperti dijabarkan dalam Penjelasan Umum PBB No. 4 Tahun 1991, maksud dari tempat tinggal yang layak memiliki beberapa indikator, diantaranya; aspek legalitas kepemilikan; ketersediaan sarana dan prasarana seperti sanitasi, listrik, air, dan lain lain; harga/biaya yang terjangkau; layak huni yang melindungi penghuni dari kondisi cuaca dan penyebaran penyakit; memiliki akses bagi semua orang (lansia, difabel, dan kelompok rentan); lokasi yang mudah dijangkau (akses pekerjaan, pendidikan dan layanan kesehatan); kelayakan budaya yang mendukung pemeliharaan budaya dan kearifan lokal.
Intinya Kovenan EKOSOB mengamanahkan kepada setiap negara bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan dan hak warga negara atas perumahan yang layak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Di Indonesia, hal ini masih jauh panggang dari api, bahkan paradoks. Masih banyak warga negara yang belum memiliki akses mendapatkan haknya atas rumah yang layak huni akibat keterbatasan finansial.
Sejatinya, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan warga negara terhadap perumahan yang layak, baik pembangunan rumah subsidi secara langsung melalui BUMN, kementrian atau lembaga dan pemerintah daerah, mendorong keterlibatan pihak swasta melalui legislasi dan pemberian insentif, hingga kemudahan fasilitas pembiayaan bagi masyarakat melalui berbagai kebijakan. Sebut saja fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), Badan pertimbangan tabungan perumahan (Bapertarum), Tabungan perumahan rakyat (Tapera) dan sebagainya.
Konflik Sosial
Menurut data BPS (2019), sebanyak 15% (persen) dari 71 juta kepala rumah tangga di Indonesia alias 11 juta ternyata belum mempunyai rumah. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat dengan melihat harga tanah dan bangunan yang terus melejit tiap tahunnya, yang makin mempersulit masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah. Di Jakarta misalnya, sejak tahun 2014, NJOP tanah berkisar antara 464 ribu-68 juta rupiah per meter persegi sedangkan harga pasar tentunya sudah jauh diatas nilai tersebut. Asumsi ini menunjukkan bahwa beragam upaya yang dilakukan pemerintah belum mampu mengatasi kesenjangan akses warga negara terhadap perumahan.
Jangankan untuk memenuhi kebutuhan warga negara terhadap perumahan, terhadap rumah yang sudah dibangun dan dihuni-pun tidak serta merta mampu menjawab hak warga negara atas perumahan yang layak.
Indikatornya dapat dilihat dari jumlah pengaduan perumahan yang diterima YLKI sepanjang 2022 mencapai 7,3% dari 882 kasus yang masuk. Tidak jarang pengaduan yang diterima telah melebar menjadi konflik sosial antara pemilik/penghuni dengan pengelola kawasan perumahan/permukiman.
Konflik sosial yang disebut merupakan muara dari ekploitasi ekonomi yang dilakukan pelaku usaha atas pemilik dan/atau penghuni perumahan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Ini seharusnya dapat dihindari apabila pemerintah menyadari betapa pentingnya industri perumahan yang fair bagi seluruh warga negara Indonesia. Seperti tersurat dalam pasal 33 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Menurut Mahkamah Konstitusi dalam penafsirannya, makna frasa “menguasai” dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945 termasuk kekuasaan untuk mengurus (bestuurdaad), mengatur (regelendaad), mengelola (beheersdaad) dan mengawasi (toezichthoudensdaad).
Melihat cabang-cabang produksi yang dimaksud dalam UUD 1945, dan UU No. 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian, maka sudah sewajarnya jika industri perumahan digolongkan kedalam industri strategis bila mencermati pengaruhnya terhadap sistem perekonomian nasional dan hajat hidup orang banyak.
Namun, secara faktual pemerintah tidak memiliki cukup penguasaan terhadap industri perumahan sebagaimana menguasai industri strategis lainnya. UU Perumahan dan Kawasan Permukiman maupun UU tentang Rumah Susun, tidak mampu menjalankan fungsinya secara efektif, baik sebagai sarana kontrol sosial (social control) ataupun alat rekayasa sosial (social engineering).
Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum. Selama ini pembinaan dan pengawasan administratif terhadap industri perumahan dilakukan secara berjenjang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan prinsip dekonsentrasi. Pembagian tersebut mengacu pada UU Pemerintahan Daerah. Penyerahan kewenangan kepada pemerintah daerah sejatinya tidak menjamin efektifitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan terhadap industri perumahan. Berjalan atau tidaknya suatu pembinaan, pengawasan dan penegakan hukum lebih bergantung kepada political will pemerintah.
Ketiadaan political will terhadap industri perumahan berakibat kepada tersanderanya pemerintah, baik pusat ataupun daerah, bila dihadapkan dengan permasalahan developer perumahan “kelas kakap”. Pemerintah seakan tidak memiliki cukup wibawa ketika berhadapan dengan developer besar sehingga pengawasan dan penegakkan hukum acapkali jalan di tempat. Dan dampaknya masyarakat konsumen perumahan yang sangat dirugikan.
Political will pemerintah sangat bergantung pada integritas aparatur negara maupun aparat penegak hukum untuk mengawal regulasi yang telah disusun. Apabila dianalisa menggunakan pandangan Soerjono Soekanto, kelemahan utama industri perumahan terletak pada faktor aparat penegak hukum serta sarana dan prasarana yang meliputi SDM pelaksana, birokrasi kelembagaan.
Oleh karena itu, pemerintah harus berani mengubah dirinya, merevolusi mental dan berperang melawan diri sendiri yang sebagiannya resisten dan kontra terhadap perubahan serta pembaharuan. Pembaharuan yang dimaksud meliputi perubahan karakter birokrasi yang selama ini cenderung korup, tidak akuntabel dan tidak transparan.
Melalui program revolusi mental, pemerintah sebenarnya telah meletakkan fondasi perubahan dan pembaharuan di tubuh pemerintah. Sayangnya hingga 2 periode program revolusi mental berjalan, belum menunjukkan perubahan secara signifikan. Program revolusi mental harus meresap kedalam tubuh korps abdi negara sebagai penawar racun oknum-oknum yang kontra terhadap pembaharuan. Apabila berhasil memenangi pertarungan melawan diri sendiri, maka dipastikan pemerintah dapat menguasai industri perumahan sebagaimana yang dimaksud mahkamah konstitusi. Sehingga industri akan berjalan secara sehat dan mampu memenuhi kebutuhan warga negara atas papan. Dan menjadikan industri properti menguntungkan bagi sektor swasta.
Pilihannya, apakah terus diam dan berpangku tangan atas komersialisasi hak dasar masyarakat atas perumahan atau memilih mengembalikan wibawa pemerintah sebagai tokoh sentral dalam industri perumahan sebagai industri strategis dan mengembalikan penguasaan negara sebagaimana yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran masyarakat tetap mengawal pemerintahan dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait pemenuhan hak warga negara. Khususnya, pemenuhan hak atas perumahan yang layak yang selama ini hanya sekedar ilusi dan paradoksal ditengah kehidupan bernegara.
Mustafa A. Bintoro Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI
0 Comments on "Paradoksal Industri Properti"