Jakarta, 27 Agustus 2024 – Menanggapi pernyataan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) yang menyarankan peta jalan pengendalian Garam, Gula, dan Lemak (GGL) sebagai alternatif pengenaan cukai, kami menegaskan bahwa cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tetap menjadi solusi yang efektif dan perlu dalam upaya mengurangi konsumsi gula berlebih di Indonesia.

Cukai MBDK bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan bagian dari strategi komprehensif untuk mengatasi tingginya angka penyakit tidak menular (PTM) yang dipicu oleh konsumsi gula berlebih. Berdasarkan data yang ada, minuman berpemanis dalam kemasan memberikan kontribusi signifikan terhadap asupan gula harian masyarakat, khususnya di kalangan anak muda dan remaja. Fakta ini memperkuat urgensi penerapan kebijakan cukai untuk menurunkan konsumsi produk ini dan mendorong pola hidup yang lebih sehat.

Indah Sukmaningsih, Pelaksana Sementara Ketua Harian YLKI mengatakan, “penting untuk dicatat bahwa fokus utama dari kebijakan cukai adalah meminimalkan konsumsi produk yang terbukti berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan, seperti minuman berpemanis”.

“Argumen bahwa kontribusi minuman berpemanis terhadap total konsumsi gula nasional hanya 4% tidak mengurangi urgensi pengendalian produk ini. Sebaliknya, pengenaan cukai akan secara langsung mendorong produsen untuk menyesuaikan kadar gula dalam produk mereka, yang pada gilirannya akan mendorong konsumen untuk beralih ke pilihan yang lebih sehat”, paparnya kemudian.

Kebijakan Fiskal Bagian Dari Peta Jalan

Adapun peta jalan yang diusulkan Gapmmi, yang menitikberatkan pada edukasi dan penyesuaian gradual, patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya jangka panjang. Namun, tanpa disertai kebijakan fiskal yang tegas, langkah tersebut belum cukup untuk menghasilkan perubahan perilaku konsumsi yang dibutuhkan. Contoh dari negara lain, misalnya Mexico menunjukkan bahwa kombinasi antara edukasi dan kebijakan cukai terbukti lebih efektif dalam mengubah kebiasaan konsumsi masyarakat.

Mengenai argumen bahwa pangan olahan hanya berkontribusi 30% pada total jenis pangan yang dikonsumsi, penting untuk diingat bahwa kontribusi ini tetap signifikan dalam konteks PTM. Fokus pada pengendalian konsumsi gula melalui MBDK tidak dimaksudkan untuk menggantikan edukasi mengenai konsumsi pangan lainnya, tetapi untuk melengkapi dan memperkuat upaya pengendalian secara keseluruhan.

Minuman Manis Tidak Lebih Baik Dari Nasi

Dalam berbagai riset yang telah dilakukan, terbukti bahwa minuman manis dan nasi putih keduanya memiliki potensi meningkatkan risiko diabetes, namun tingkat resiko nya berbeda. Minuman manis, seperti soda atau teh kemasan, mengandung gula tambahan dalam jumlah besar yang langsung meningkatkan kadar gula darah tanpa memberikan manfaat gizi. Konsumsi rutin minuman manis dikaitkan kuat dengan peningkatan risiko obesitas dan diabetes tipe 2. Sebaliknya, nasi putih, meskipun memiliki indeks glikemik tinggi, tidak mengandung gula tambahan dan masih memberikan karbohidrat sebagai sumber energi, terutama jika dikonsumsi dalam porsi yang wajar.

Jika dibandingkan, minuman manis memiliki risiko lebih tinggi untuk menyebabkan diabetes dibandingkan nasi putih karena kandungan gula yang tinggi dan pengaruh langsungnya pada resistensi insulin. Namun, untuk menjaga kesehatan, pilihan yang lebih aman adalah mengurangi konsumsi keduanya. Menggantikan minuman manis dengan air putih atau teh tanpa gula, serta mengganti nasi putih dengan karbohidrat yang lebih sehat seperti nasi merah atau quinoa, adalah langkah yang lebih bijak.

Cukai Salah Satu Pendekatan Holistik Untuk Pembatasan Konsumsi MBDK

Kami percaya bahwa upaya untuk menyehatkan masyarakat Indonesia memerlukan pendekatan holistik yang mencakup kebijakan fiskal seperti cukai, regulasi yang ketat, dan kampanye edukasi yang masif. Cukai MBDK adalah bagian integral dari upaya tersebut, yang diharapkan dapat membantu masyarakat Indonesia mengurangi konsumsi gula berlebih dan mencegah peningkatan prevalensi PTM di masa depan.