Berdasarkan catatan akhir tahun dari Komisi Ombudsman Nasional (KON) 2012, disimpulkan bahwa masyarakat sudah mulai berani mengadu ketika tidak mendapatkan haknya. Kesimpulan dimaksud didasar pada jumlah pengaduan ke KON yang meningkat sebesar 8,41 persen. Pada 2011 KON ‘hanya’ menerima aduan masyarakat sebanyak 1.867 kasus, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 2.024 kasus yang diadukan. Dari angka tersebut, pengaduan terkait Pemerintah Daerah menuai angka tertinggi, yakni 669 kasus (33,5%).

Apa yang disimpulkan oleh KON tidaklah salah. Secara faktual sejak era reformasi bergulir, keberanian masyarakat untuk mengadu terus meninggi, bahkan kelewat tinggi. Artinya, masyarakat mulai kritis terhadap beragam persoalan yang menimpanya. Namun tingginya pengaduan juga bisa dimaknai sebaliknya, bahwa pengaduan yang tinggi adalah cermin masih buruknya pelayanan publik di Indonesia.
Individualistik

Lantas, bagaimanakah model pengaduan masyarakat sebagai konsumen terhadap produk layanan yang disediakan sektor swasta, termasuk layanan publik oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?. Pada batas tertentu, terdapat perbedaan karakter, antara rakyat (sebagai citizens) yang berhadapan dengan negara (state), dan konsumen (end user) yang berhadapan dengan pelaku usaha.

Norma hukum yang mengatur pun berbeda (walau agak berhimpitan), masyarakat sebagai pengguna produk birokrasi dipayungi oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UUPP). Sedangkan konsumen payung hukumnya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Faktanya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih senior 10 tahun ketimbang UU Pelayanan Publik.

Titik temu dari kedua Undang-Undang ini adalah pada komoditas pelayanan yang disediakan oleh BUMN. Oleh UU Perlindungan Konsumen, BUMN (dan BUMD) dikategorikan sebagai pelaku usaha. Sementara pada UU Pelayanan Publik, BUMN dikategorikan sebagai “korporasi” penyedia pelayanan publik. Jadi, komoditas yang disediakan BUMN, tunduk pada kedua norma hukum dimaksud.

Kendati ada titik persamaannya, kesimpulan KON terkait dengan keberanian masyarakat yang berani mengadu, secara psikologis agak berbeda dengan posisi konsumen. Persamaannya, kadar keberanian mengadu sudah lama pula mengristal di kalangan konsumen, terutama sejak disahkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Sebab, didalam UU Perlindungan Konsumen ditegaskan bahwa konsumen berhak: didengar keluhan dan pendapatnya, mendapatkan kompensasi dan ganti rugi, plus mendapatkan advokasi dan perlindungan (Pasal 4). Ketiga poin inilah yang menjadi spirit konsumen untuk mengadu jika produk barang/jasa yang diberikan merugikan dirinya.

Keberanian konsumen untuk mengadu, selain ditujukan pada pelaku usaha (provider), juga ditujukan kepada lembaga konsumen – seperti misalnya YLKI dan atau BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), yang kini telah eksis diberbagai kota besar di Indonesia. Bahkan, pasca lahirnya UUPK, konsumen bukan hanya berani mengadu, tetapi juga berani melakukan gugatan hukum, baik gugatan individual atau gugatan kelompok. Ini tercermin dalam Pasal 46 ayat (1). Banyak kasus konsumen melakukan gugatan perdata, bahkan laporan pidana, dan gugatan class action pada pelaku usaha nakal. Sementara hal ini justru tidak terlalu kuat diatur dalam UU Pelayanan Publik.

Namun, ada beberapa catatan kritis terkait dengan keberanian konsumen untuk mengadukan kasusnya; pertama, mayoritas keberanian tersebut masih bersifat individualistik. Artinya, konsumen akan mengadu jika persoalannya menimpa dirinya. Keberanian dan kepedulian konsumen belum kuat muncul, manaka persoalan tersebut menimpa orang lain.

Kedua, keberanian konsumen juga masih terkendala oleh minimya tindak lanjut pengaduan. Konsumen belum yakin bahwa pengaduannya akan diselesaikan dan ditindaklanjuti. Sebagai contoh, berdasar survei YLKI – kasus konsumen Transjakarta – hanya 55 persen yang yakin bahwa pengaduannya akan ditindaklanjuti. Sisanya, 45 persen (sangat signifikan), tidak yakin pengaduannya ditindaklanjuti oleh managemen Transjakarta.

Keberanian konsumen juga rada surut, ketika beberapa waktu yang lalu ada fenomena gugatan balik oleh pelaku usaha yang diadukan konsumen. Kasus Prita (yang digugat balik oleh rumah sakit), dan juga beberapa kasus lain, seperti kasus perumahan, kasus operator seluler yang mencuri pulsa, membuktikan hal itu.

Secara psikologis, gugatan balik oleh pelaku usaha menyurutkan nyali konsumen untuk merebut haknya. Fenomena ini menjadi preseden sangat buruk bagi konsumen untuk menjadikan dirinya kritis dan berani merebut haknya. Untuk mengantisipasi gugatan balik, pengaduan dan gugatan konsumen harus konkrit, dengan disertai bukti-bukti yang cukup. Plus, sudah melakukan komunikasi dan mediasi dengan pihak pelaku usaha.

Potret pelayanan publik, secara umum, bagaimanapun belum membaik, kecuali di beberapa sektor. Tingginya pengaduan, baik yang diterima oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON), YLKI, media masa dan lembaga lain, adalah sinyal kuat bahwa potret pelayanan publik di negeri ini masih buram. Masyarakat dan juga konsumen memang sudah lama mempunyai nyali kuat untuk mengadu, atau bahkan menggugat kepada pemerintah, dan atau pelaku usaha. Namun hingga kini keberanian itu belum mengkristal secara kolektif.

Keberanian masyarakat ataupun konsumen masih tercerai-berai pada kepentingan individunya. Ironisnya, keberanian mereka menyurut atau bahkan kandas, makala minim tindaklanjut dan bahkan menuai gugatan balik dari pelaku usaha. Keberanian rakyat dan konsumen untuk mengadu dan bahkan menggugat ke ranah hukum, harus terus dibangunkan. Mereka tak boleh patah arang untuk merebut haknya, kendati menuai gugatan balik. ***