Dalam era globalisasi perdagangan yang membawa konsekuensi logis akan tuntutan kualitas dan kuantitas produk yang memenuhi syarat, maka sangatlah diperlukan harmonisasi peraturan agar setiap negara tidak perlu lagi melakukan verifikasi dan penerapan manajemen mutu ISO 9000 dan 9002 yang salah satu basisnya adalah alat ukur. Kepastian dalam pengukuran dapat menekan jumlah selisih dan biaya transaksi. Maka pengukuran memegang peran penting dan mendapatkan perhatian para pihak yang berkepentingan setiap melakukan kontrak jual beli.

Selaras dengan perkembangan dan pesatnya kemajuan produksi dan perdagangan, maka barang-barang dagangan dalam keadaan terbungkus mempunyai peranan yang sangat penting. Diantaranya dapat memberikan kemudahan pelaku usaha dalam hal penjualan dan transport (pendistribusian) barang dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu wilayah hukum suatu negara ke wilayah hukum negara lain. Konsumenpun dapat mudah membeli dan mengonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Artinya hal ini akan memberikan kepraktisan bagi pelaku usaha dan konsumen.

Barang Dalam Keadaan Terbungkus

Pengertian Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT) berdasarkan Keputusan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan No. 31/PJPDN/Kep.XI/99 adalah barang yang ditempatkan dalam bungkusan atau kemasan tertutup yang untuk menggunakannya harus merusak pembungkus atau segelnya.

Namun dalam perkembangannya BDKT berpotensi menimbulkan permasalahan bagi konsumen. Dengan dibungkus atau dikemasnya barang tersebut bukan tidak mungkin menimbulkan  permasalahan baru bagi konsumen jika tidak mencantumkan label. Label adalah setiap keterangan mengenai produk barang yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada produk, dimasukkan kedalam, ditempelkan dan atau dicantumkan yang merupakan bagian dari bungkus atau kemasan. Label menjadi sumber informasi bagi konsumen dan merupakan media komunikasi antara pelaku usaha dan konsumen dalam mengenalkan produknya. Selain itu informasi pada label adalah penentu bagi konsumen untuk memutuskan membeli atau tidak, atau konsumen jadi mengonsumsi atau tidak terhadap produk tersebut. Maka pelaku usaha melalui label tersebut  harus memberikan informasi yang benar, jelas, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran atas klaimnya.

Ironisnya, dalam realita di lapangan dengan mudah dapat kita jumpai, pelaku usaha dalam memroduksi atau menjual produk – khususnya pangan, memiliki kemasan sering lebih besar ukurannya dan tidak sebanding dengan isi. Apakah ini merupakan trik dari pelaku usaha untuk menarik konsumen. Jika konsumen tidak cerdas dalam menyikapi hal ini maka bisa-bisa konsumen akan merasa tertipu (misleading) jika tidak membaca secara cermat label sebenarnya berapa isi (quantitas) dari produk BDKT tersebut.

Contoh kasus nyata menjelang Lebaran tahun 2007, penjualan biskuit yang dikemas dalam kaleng berisi 700 g dan biasanya penuh satu kaleng. Namun betapa kagetnya ketika penulis menemukan biskuit yang sama, ternyata biskuit itu dibungkus satu per satu dalam plastik sehingga terkesan memenuhi kemasan kaleng. Ketika dibuka dari plastiknya dan dimasukan kedalam kaleng, isinya tidak akan lebih dari separoh kaleng. Jika konsumen hanya berpatokan pada fisik kemasannya maka akan salah besar. Dalam berbagai BDKT produk lain ada potensi terjadi hal yang sama sehingga merugikan konsumen, maka patut diwaspadai oleh konsumen serta perlunya pengawasan oleh instansi yang terkait agar tidak terjadi misleading.

Dalam Undang Undang No 2 tahun 1981 tentang  Metrologi Legal (UUML) pada Bab VI pasal 22 dan 23 telah mengatur tentang BDKT. Pada pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa semua barang dalam keadaan terbungkus yang diedarkan, dijual, ditawarkan atau dipamerkan wajib diberitahukan atau dinyatakan pada bungkus atau pada labelnya dengan tulisan yang singkat, benar dan jelas mengenai (a) nama barang dalam bungkusan itu (b) ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan itu dengan satuan atau lambang sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, pasal 5 dan 7 UU ini (c) jumlah barang dalam bungkus jika barang dijual dengan hitungan. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa tulisan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini harus dengan angka Arab dan Huruf latin disamping huruf lainnya dan mudah dibaca.

Meski kata konsumen tidak dijumpai dalam undang-undang tersebut, namun penyebutan kata ‘pemakai barang’ telah digunakan oleh UUML, 18 tahun sebelum UUPK lahir. Dan keberpihakan terhadap perlindungan konsumen nampak nyata dalam UUML tidak seperti peraturan perundangan lain yang mana keberpihaknya lebih kepada pelaku usaha.

Penjelasan pasal 22 sangat gamblang dan lugas dalam memberikan penjelasan mengenai alasan keharusan perlunya pencantuman ukuran, berat bersih, isi bersih, jumlah yang sebenarnya terhadap BDKT. Isi bersih/berat bersih atau jumlah dalam hitungan adalah banyaknya kuantitas barang yang tertera di dalam bungkus dan atau label. Sedangkan kuantitas nominal adalah nilai kuantitas yang tertulis atau tercantum pada bungkus dan atau label.

Ada pembatasan dan  pengecualian dalam BDKT sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 22 yaitu bahwa yang dimaksud barang disini tidak termasuk makanan atau barang lain yang mudah basi atau tidak lebih lama dari 7 (tujuh) hari.

Untuk mengantisipasi kejadian sebagaimana yang ditemukan penulis dalam kasus biskuit, maka antisipasi telah dilakukan sebagaimana penjelasan pasal 22 UUML yaitu bila sesuatu barang dijual berdasarkan ukuran berat atau isi dimasukkan dalam bungkusan, akan memberikan kesulitan bagi pembeli untuk mengetahui secara pasti ukuran, berat, isi bersih atau jumlah dalam bungkusan, karena tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain membuka bungkusan atau akan menerima begitu saja tentang isinya. Ukuran besarnya bungkusan tidak selalu memberikan anggapan yang benar tentang ukuran, berat bersih, isi bersih, atau jumlahnya. Tanpa memberitahukan atau menonjolkan ukuran, berat bersih, isi bersih, atau jumlah akan menimbulkan keraguan bagi pemakai barang (konsumen) dalam membeli barang-barang dalam keadaan terbungkus. Oleh karena itu sangat perlu atau diwajibkan pencantuman tentang ukuran, berat bersih, isi bersih atau jumlah yang sebenarnya terhadap barang-barang yang dijual dalam keadaan terbungkus dengan jelas, terang serta mudah dibaca pada setiap bungkusnya.

Memerhatikan hal tersebut maka jelas adanya keberpihakan pembuat regulasi untuk mengakomodir adanya perdagangan yang sehat dan perlindungan pada masyarakat khususnya para konsumen  hingga dalam perkembangan saat ini.

Ketentuan pada pasal 22 UUML ini sangat selaras dalam semangat untuk memberikan perlindungan pada masyarakat konsumen, khususnya dengan UUPK No 8 tahun 1999,  Undang Undang Pangan No 7 tahun 1996 dan PP No 69 tahun 1999 tentang label (PP Label).

Pasal 8 ayat (1) butir b,c,e dan i UUPK melarang secara tegas kepada Pelaku usaha memroduksi dan/atau memerdagangkan barang dan atau jasa yang :

(b)   tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut

(c)    tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya

(e)    tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

(i)      tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih (netto), komposisi atau aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.

Pada ayat (4) dikatakan pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada pasal 8 (1) dilarang memerdagangkan barang dan atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Selanjutnya terkait dengan ketentuan pasal 22 UUML, dalam UU Pangan No 7 tahun 1996 pun telah mengatur ketentuan yang sama yaitu khususnya pada Bab IV tentang label dan Iklan Pangan pasal 30 dan pasal 31.

Pasal 30 :

1)      Setiap orang memroduksi atau memasukkan ke dalam wilayahIndonesia, pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib menyantumkan label pada, di dalam, dan di kemasan pangan;

2)      Label, yang dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai : nama  produk, daftar bahan yang dipergunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memroduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayahIndonesia;

Pasal 31 ayat (2) keterangan pada label ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasaIndonesia, angka arab dan huruf Latin.

 

Tanggung Jawab

Terkait dengan label maka pencantuman alamat pelaku usaha sangat penting. Jika terjadi permasalahan konsumen dengan mudah untuk melakukan komplain. Artinya dapat diketahui siapa yang bertanggungjawab terhadap kesalahan dari barang tersebut sehingga menimbulkan kerugian pada konsumen.

Dalam UUPK, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum NegaraRI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha disini bisa berupa pembuat produk, distributor, agen, importir, penjual atau pengemas. UUPK menganut sistem tanggung jawab produk (product liability).

Jika pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain, yang mana jika pelaku usaha lain tidak melakukan perubahan apapun atas barang atau dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi maka pelaku usaha yang memroduksi atau menjual bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi konsumen. Pelaku usaha lain tersebut bebas dari tuntutan.  Namun jika pelaku usaha lain yang membeli barang kemudian melakukan perubahan (misalkan dengan menambah, mengurangi atau merubah komposisi) maka tanggung jawab pada pelaku usaha lain (pasal 24).

Sedangkan dalam pasal 23 UUML mengatur bahwa :

(1)   Pada setiap bungkus atau label sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 UU ini  wajib dicantumkan nama dan tempat perusahaan yang membungkus;

(2)   Semua barang yang dibuat atau dihasilkan oleh perusahaan yang dalam keadaan tidak terbungkus dan diedarkan dalam keadaan terbungkus, maka perusahaan yang melakukan pembungkusan diwajibkan memenuhi ketentuan sebagaimana menyebutkan nama dan tempat kerjanya.

Jika pasal 23 UUML dikaitkan dengan UUPK pasal 24 maka pelaku usaha yang melakukan pembungkusan atau pengemasan, ia bertanggung jawab atas takaran atau ukuran yang tercantum pada label. Namun untuk keamanan produk tetap menjadi tanggung jawab produsen pelaku usaha dengan syarat pelaku usaha yang melakukan pengemasan tidak melakukan perubahan atas konten produk. Pelaku usaha pengemas bertanggung jawab atas akurasi ukuran, takaran, kuanta dari produk yang dikemas sebagaimana yang tercantum pada labelnya.

Ukuran bungkusan sangat banyak dan bermacam-macam sehingga tidak jarang akan menimbulkan kebingungan bagi konsumen dalam memilih harga yang lebih ekonomis baginya terhadap bungkusan yang berisi barang yang sama dan sama pula berat dan isi bersihnya. Untuk menghindarai hal-hal yang demikian, maka diperlukan suatu pengaturan mengenai barang yang biasa digunakan umum agar pembungkusnya dalam ukuran yang seragam dan berat atau isi bersihnya sama.

Mungkin juga terdapat beberapa barang dagangan yang dibungkus akan berubah berat atau isinya, karena berkurangnya kelembaban atau disebabkan perubahan lain sejak pembungkusan sampai terjual. Dalam hal ini maka perlu diperhitungkan berapa jumlah kemungkinan berkurang /berubah bagi tiap macam barang dagangan. Dalam peraturan harus dinyatakan batas kekurangan berat atau isi bersih yang diakibatkan oleh perubahan tersebut.

Dengan demikian keharusan mencantumkan berat atau isi bersih pada waktu pembungkusan barang dagangan tidak akan merugikan perusahaan pembungkus ataupun pemakai barang dilihat dari sudut keuangan maupun susutnya barang. Agar dapat memudahkan penaksiran harga atau membandingkan harga, maka disarankan bahwa pembungkusan barang ditetapkan dalam kuanta 1x10n, 2x10n, atau 5x10n (n = bilangan bulat) misalnya 100ml, 500ml, 50m dsb.

 

Masih relevan

Dari tulisan tersebut diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan, bahwa UUML masih sangat relevan dengan perkembangan hingga saat ini mengingat bahwa UUML adalah mengalami perkembangan dan semakin memegang peranan yang sangat penting dalam tertib ukur di segala bidang yang menyangkut juga segi keamanan, kesehatan  manusia sendiri dan lingkungan hidup. Namun, perlunya sosialisasi pada masyarakat, pelaku usaha, pemerintah dan penegak hukum.

Peraturan tentang UTTP cukup memadai namun dalam realitanya yang sering terjadi kerancuan karena banyak yang belum dimengerti baik oleh konsumen maupun pelaku bisnis lainnya sehingga terjadi salah kaprah dalam satuan ukur yang dipakai dalam ukuran kemasan.

Masih minimnya pengawasan terbukti masih banyaknya ketidak sesuaian aturan yang dilakukan oleh pelaku usaha dan terkesan adanya pembiaran. Serta perlunya ketegasan instansi mana yang bertanggung jawab atas pengawasan di lapangan terhadap UTTP dan penegakan hukumnya.

***

Sularsi, SH, Senior Staff YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)