Pemerintah berencana/memutuskan akan memungut dana ketahanan energi pada masyarakat sebesar Rp 200 per liter harga bahan bakar minyak. Pemerintah berdalih bahwa dana tersebut dilakukan atas dasar UU tentang Energi. Terhadap rencana itu, perlu dikritisi beberapa hal :

1. Bahwa pungutan dana energi tersebut tidak jelas dasar regulasinya bahkan terjadi penyimpangan regulasi. Karena yang disebut dalam UU Energi adalah depletion premium, bukan untuk memungut dana masyarakat dengan alasan dana ketanahan energi. Dengan demikian, pungutan dana ketahahan energi dimaksud bisa dikatakan sebagai “pungutan liar”.

2. Bahwa dana ketahanan energi dimaksud berpotensi untuk disalahgunakan, untuk kepentingan kebijakan non energi atau bahkan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan ketahanan energi, karena kelembagaan yang mengelola dana yang dipungut tersebut tidak jelas. Kalau masih disatukan dengan dana APBN secara umum, maka potensi penyalahgunaannya sangat besar

3. Sampai detik ini roadmap tentang ketahanan energi yang dimaksud pemerintah juga belum jelas, bahkan mungkin tidak ada.  
Bahwa, energi fosil itu perlu diberikan disinsentif dalam penggunaan, secara filosofi adalah hal yang rasional.  Namun demikian, ini bisa diterapkan jika masyarakat sudah ada pilihan energi non fosil (energi baru terbarukan).

Oleh karena itu, pemerintah harus memperjelas lebih dulu perihal regulasi yag dijadikan acuan, harus jelas dulu lembaga yang akan mengelola dana tersebut (harus lembaga independen dan terpisah dengan ESDM), plus harus jelas lebih dulu roadmap tentang ketahanan energi dan bahkan kedaulatan energi nasional. Dan yang terpenting juga harus ada pilihan lain selain energi fosil.  Oleh karena itu, sebelum hal ini bisa dipenuhi, maka pungutan dana ketahanan energi harus dibatalkan. Jangan bebani masyarakat dengan kebijakan yang belum jelas juntrungannya.