green-recycle-img

Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh manusia, tetapi tidak akan mampu memenuhi keinginan seseorang atau segelintir manusia yang serakah – Mahatma Gandhi

 

Konsumsi berkelanjutan. Mungkin terdengar kurang familiar dibandingkan istilah asingnya: sustainable consumption. Bahkan kalah beken dibandingkan dengan istilah-istilah lingkungan seperti perubahan iklim (climate change) ataupun pemanasan global (global warming). Padahal, sustainable consumption sudah dibincangkan dalam lingkup gerakan konsumen sejak belasan tahun yang lalu.

Berawal dari KTT Bumi di Rio de Janero, Brazil tahun 1992, penggerak konsumen menyadari bahwa pembangunan berkelanjutan, sustainable development, tidak dapat berjalan tanpa perubahan pola konsumsi masyarakat. Jadilah konsep sustainable consumption ditambahkan dalam UN Guidelines for Consumer Protection (Panduan PBB untuk Perlindungan Konsumen) pada 1999 untuk melengkapi rujukan perlindungan konsumen yang telah diakui PBB sejak 1985 ini.

Apa sebenarnya yang diusung oleh konsep ini? Kalau kita kaji definisi yang ada, beberapa kata kunci yang patut dipahami: “Penggunaan produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menuju kualitas hidup yang lebih baik, dengan meminimalkan penggunaan sumber daya alam, bahan kimia serta pembuangan sampah dan polutan sehingga tidak membahayakan kebutuhan generasi mendatang”.  Jelas di sini, yang dimaksudkan adalah berkonsumsi secara efisien. Bukan sekadar mengurangi jumlah konsumsi, tetapi tetap memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar dan tanpa harus mengurangi kualitas hidup.

Kebutuhan Dasar

Masyarakat negara maju, masyarakat kelompok menengah atas, disinyalir memiliki pola konsumsi yang berlebihan. Kondisi dan kemampuan ekonominya, membuat mereka dapat mengonsumsi apa saja dan dalam jumlah berapapun. Bagi kelompok ini, perubahan pola konsumsi yang diharapkan adalah mengurangi jumlah konsumsi. Namun di sisi lain, sebagian besar penduduk bumi ini tinggal di negara-negara sedang berkembang, atau bahkan negara-negara miskin. Bagi mereka, jangankan mengurangi konsumsi, kebutuhan dasar pun belum terpenuhi.

Prinsip konsumsi berkelanjutan harus memastikan setiap warga negara, setiap penduduk bumi terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kelompok yang kurang beruntung ini justru harus ditingkatkan konsumsinya. Akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, juga energi harus dipastikan dapat diperoleh. Tetapi tentu saja tidak dengan cara-cara yang menguras sumber daya alam dan merusak bumi . Tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.

Kualitas Hidup

Dalam berkonsumsi, konsumen cenderung menginginkan kemudahan dan kepraktisan, serta kenyamanan. Inilah yang tengah dinikmati oleh kelompok menengah tadi. Memiliki kendaraan sendiri, kenyamanan rumah berpendingin, menikmati makan di luar rumah dan berbagai kepraktisan lain yang membanggakan. Perkembangan kelompok menengah di dunia cukup pesat. Tujuh puluh persennya ada di negara-negara Asia dan merupakan penyumbang utama perekonomian dunia. Tidak heran bila kelompok inilah yang menjadi sasaran kampanye untuk mengubah pola konsumsi.

Ide perubahan pola konsumsi mungkin mengkhawatirkan sebagian orang karena beranggapan harus meninggalkan berbagai kemudahan dan kenyamanan yang tengah dinikmati. Berarti mengurangi kualitas hidup dan menempatkan diri ke masa lalu. Misalnya harus bersusah payah mengejar angkutan umum, berkeringat karena tidak menggunakan pendingin ruangan, atau lainnya.

Menerapkan pola konsumsi berkelanjutan tidak berarti harus meninggalkan berbagai kemudahan dan kenyamanan tersebut. Lantas, apa yang membedakannya dari pola-pola yang konvensional? Memahami prinsip-prinsip konsumsi berkelanjutan sebenarnya sederhana. Penerapannya yang mungkin dirasakan tidak mudah. Beberapa prinsip dasar adalah: (1) memahami apa yang kita konsumsi, (2) memahami dampak konsumsi terhadap lingkungan dan keselamatn bumi, (3) memahami dampak konsumsi terhadap masyarakat lain, (4) memahami dampaknya terhadap neraca perdagangan, perekonomian nasional dan industri lokal.

Apa yang Kita Konsumsi?

Apa yang kita beli dan konsumsi seringkali tidak dipikirkan secara mendalam. Karakter konsumen secara umum adalah sulit membedakan antara belanja produk-produk yang hanya memenuhi keinginan semata, atau membeli barang yang benar-benar sedang dibutuhkan. Akui dengan jujur, berapa sering kita belanja, dan sampai di rumah hati kecil kita mengatakan, bahwa sesungguhnya kita tidak memerlukannya? Atau lebih parah lagi, produk tersebut akhirnya tidak terpakai dan terbuang percuma?

Menggunakan pusat perbelanjaan sebagai tempat rekreasi bisa membahayakan apabila kita bukan tergolong orang yang disiplin. Apalagi dengan kemudahan pembayaran yang ditawarkan saat ini: tidak perlu ada uang tunai di dompet, cukup ada beberapa kartu di dalamnya, kita diberi jalan untuk belanja apa saja.

Selanjutnya, apa yang mendasari keputusan kita dalam memilih produk. Kita mungkin akan menjawab: tergantung produknya. Tapi, secara cepat sebenarnya kita akan mengatakan, harga, merek, model, kualitas. Sudahkah kita mempertimbangkan dampak produk yang akan dibeli terhadap bumi? Lagi, secara cepat kita mungkin menjawab ‘sudah’, karena merasa sudah memperhatikan klaim “lingkungan” yang ada pada label.

Tidak sederhana mungkin untuk mengetahui suatu produk ramah lingkungan atau tidak. Diperlukan pengetahuan yang cukup serta ketersediaan informasi yang memadai dan akurat. Dalam memilih produk, periksalah kandungannya. Atau apakah untuk memproduksinya memerlukan bahan-bahan kimia yang kemudian dilepas dan menghasilkan limbah berbahaya dan mengancam lingkungan. Atau dari produknya sendiri, menyebabkan sampah yang akan menjadi beban bumi.

Saatnya Bertindak

Inti dari semua itu adalah kepedulian kita pada generasi mendatang. Pola konsumsi kita jangan sampai hanya menggerus sumber daya alam dan membuang segala rupa sampah ke bumi. Apa yang kita tinggalkan untuk anak cucu nantinya? Kemajuan teknologi tidak akan mampu mengatasi keserakahan penduduk bumi. Seperti kata Mahatma Gandhi: Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh manusia, tetapi tidak akan mampu memenuhi keinginan seseorang atau segelintir manusia yang serakah.

Lantas, kenapa kita tidak memulainya dengan melihat kembali pola konsumsi kita. Jangan-jangan kita memang perlu melakukan berbagai perubahan.

  1. Jika biasanya belanja apapun yang kita inginkan, lebih banyak lebih baik; mulai sekarang mari belajar mengendalikan konsumsi kita: berkonsumsi lebih sedikit, tetapi dengan manfaat yang lebih besar.
  2. Jika selama ini terbiasa memilih produk-produk sekali pakai, dengan hanya mempertimbangkan kenyamanan dan kegunaan sesaat; mulailah memilih produk-produk dengan masa pakai yang lebih panjang, lebih baik lagi apabila dapat didaur ulang.
  3. Jika pertimbangan kita biasanya sekedar harga, apakah menguntungkan secara ekonomi, atau nilai ekonomi untuk diri sendiri; saatnya sekarang untuk melihat kepentingan yang lebih luas, dampak terhadap perekonomiam nasional misalnya.

Semua ini tidak sekadar teori. Tidak sulit menerapkannya, asalkan memang punya niat. Yang diperlukan adalah informasi. Rajinlah membaca label dan mencari informasi dari berbagai sumber untuk produk-produk yang akan kita beli. Mari mulai ‘menghitung’ dampak konsumsi terhadap bumi, juga terhadap industri lokal. Berikutnya, apabila kita selama ini terlanjur menggunakan produk atau merek yang, ternyata, tidak bersahabat dengan bumi maupun sosial, mari kita kurangi rasa bersalah itu dengan mencari dan mengganti ke produk atau merek lain.  Kita juga bisa mencari alternatif-alternatif lain yang setara, tanpa harus merubah gaya hidup atau kehilangan kenyamanan.

Jadi, inti dari semua ini adalah berkonsumsi secara efisien, secukupnya, tidak boros dan berlebihan, tanpa harus kehilangan kenyamanan, kemudahan, dan mundur ke pola-pola masa lalu.

Selamat Hari Bumi 2016

Huzna G Zahir