Euforia keberadaan transportasi online lebih didasari oleh faktor harga. Karakteristik mayoritas konsumen Indonesia yang sensitif terhadap harga, dibidik dengan cermat oleh penyedia jasa aplikasi dengan segudang iming-iming diskon. Kendati dalam situasi tertentu, klaim harga murah masih bisa diperdebatkan

Kehadiran teknologi aplikasi di smartphone berbasis sistem operasi andriod, windows atau ios telah membawa perubahan signifikan di segala bidang, tak terkecuali transportasi. Masyarakat konsumen disodori kemudahan untuk memesan tiket pesawat terbang, kereta api, kapal laut dan jenis moda transportasi lain hanya dari gadget yang dimiliki. Konsumen tidak harus mengantri di bandara, stasiun, pelabuhan atau terminal hanya untuk mendapatkan tiket. Cukup dengan pencet gadget, tiket sudah dapat dipesan.

Tidak berhenti di sistem pemesanan tiket, teknologi aplikasi smartphone telah mampu menjawab kebutuhan konsumen akan kemudahan mengakses moda transportasi – terutama di kota-kota besar. Dengan sekali klik, moda transportasi yang dipilih konsumen (sepeda motor atau mobil)  hadir di depan pintu konsumen. Lengkap dengan data diri pengemudi, nomor kendaraan dan nomor telepon. Konsumen juga diberi panduan perjalanan hingga ke tujuan dengan fasilitas GPS (Global Positioning System). Bahkan aplikasi ini sudah dilengkapi informasi tarif yang harus dibayar konsumen sebelum memulai perjalanan. Cukup canggih bukan?

Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh aplikasi inilah yang membuat kian eksis dan digandrungi konsumen di banyak kota besar. Ini nampak dari makin banyaknya konsumen yang mengunduh aplikasi untuk transportasi (transportasi online). Operator penyedia jasa layanan transportasi online juga terus bertumbuh. Di Jakarta, operator penyedia jasa layanan transportasi online dikuasai oleh tiga nama besar, yaitu; Gojek, Grab, Uber. Kendati tidak sebanyak tiga nama sebelumnya, ada juga nama-nama seperti  My Blue Bird, Blue jek dan Lady jek yang turut meramaikan ceruk transportasi online di Jakarta.

Namun kehadiran transportasi online tidak luput dari perdebatan. Pro kontra pendapat terus disuarakan lewat berbagai media. Kelompok yang mendukung beranggapan bahwa transportai online menghadirkan terobosan baru yang mampu membuat perubahan dalam bertransportasi. Khususnya dalam hal kemudahan akses, tarif, kecepatan respon serta dianggap lebih nyaman dan aman. Bagi yang kubu kontra, kehadiran transportasi online dituding sebagai pemicu kecemburuan sosial transportasi konvensional seperti ojek pangkalan, taksi maupun angkutan umum. Transportasi online dituding ilegal karena tidak mengantongi ijin-ijin seperti layaknya moda transportasi lain.

Puncak dari kecemburuan ini adalah munculnya aksi-aksi penolakan dan mogok yang dilakukan oleh awak transportasi konvensional. Di Jakarta protes penolakan pernah terjadi dengan aksi mogok masal oleh awak transportasi konvensional pada  Maret 2016. Paguyuban Pengendara Angkutan Darat (PPAD) mengklaim aksi tersebut diikuti oleh lebih dari 15.000 angkutan konvensional seperti taksi, metromini, kopaja, bajaj, dan angkot.

Namun dukungan terhadap kehadiran transportasi online juga tak kalah ramai, kendati tidak dilakukan dengan cara turun ke jalan. Semakin banyak masyarakat yang mengunduh aplikasi transportasi online, baik dari android, windows maupun ios, menjadi salah satu bukti bahwa kehadirannya juga mendapat dukungan dan diterima oleh konsumen.

Pertanyaannya, benarkah kehadiran transprotasi online sejalan dengan keinginan masyarakat? Bagaimana masyarakat menilai kehadiran transportasi online dari sudut pandang sebagai konsumen?

Guna mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, serta merespon dinamika transportasi online yang kian eksis di beberapa kota besar di Indonesia, YLKI telah melakukan survei secara online kepada konsumen transportasi online. Survei yang dilakukan pada 5-16 April 2017, melibatkan 4.668 (empat ribu enam ratus enam puluh delapan) responden. Survei menggunakan metodologi deskriptif dengan design study cross sectional  yaitu; untuk melihat potret layanan angkutan umum berbasis aplikasi teknologi informasi pada satu waktu tertentu dengan menyebarkan angket berupa kuesioner dalam bentuk online.

Dari 4.668 responden, sebanyak 55 persen merupakan konsumen laki-laki, dan 45 persen adalah konsumen perempuan. Jika dilihat usia responden, paling banyak responden berusia 26-35 tahun (37 persen), disusul usia 36-45 tahun (23,6 persen), dan ketiga usia 17-25 tahun sssebanyak 23, 1 persen. Sedangkan secara berurutan responden rentang usia 46 – 55 sebanyak 11,3 persen, usia 56 – 65 (43 persen), dan di atas 65 (0,7 persen). Dengan demikian, responden survei didominasi oleh usia kerja atau dengan kata lain bahwa kehadiran transportasi online banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berusia produktif.

Dianggap Lebih Baik

Transportasi online yang lazim ditemui saat ini terbagi menjadi 2 jenis moda; sepeda motor dan mobil (penumpang/ box – barang). Dalam hal pemilihan moda transportasi, nampaknya kedua moda sama-sama menjadi pilihan konsumen. Ini terlihat dari 4.668 responden konsumen, sebanyak 55 persen menggunakan transportasi online jenis mobil dan motor; sedangkan yang hanya menggunakan jasa motor sebanyak 21 persen dan menggunakan mobil saja sebanyak 24 persen. Artinya, mayoritas konsumen tidak hanya terpaku pada satu moda saja untuk menunjang aktivitasnya melalui transportasi online. Moda transportasi yang dipilih konsumen disesuaikan dengan kebutuhan.

Sedangkan alasan  konsumen  memilih atau menggunakan transportasi online, secara umum beranggapan bahwa transportasi online lebih murah (84,1 persen), dan lebih  cepat (81, 9 persen). Seperti terlihat di diagram 1.

Dari diagram 1 terlihat bahwa faktor harga menjadi pertimbangan mayoritas konsumen. Responden beranggapan transportasi online lebih murah jika disandingkan dengan tarif moda transportasi konvensional. Di urutan kedua, konsumen memilih transportasi online karena dianggap lebih cepat. Namun dalam survei ini tidak mengelaborasi lebih dalam, yang dimaksud adalah lebih cepat ditemukan/ diakses (accessible) atau lebih cepat mencapai tujuan.

Jika dilihat frekwensi penggunaannya, konsumen paling banyak menggunakan transportasi online adalah 2-3 kali dalam seminggu (31,6 persen), 1-2 kali dalam sehari (27,6 persen), seminggu sekali 13, 7 persen dan lebih dari 3 kali dalam sehari sebanyak 8,7 persen.

Anggapan konsumen dan frekwensi penggunaan tersebut sejalan dengan pendapat konsumen yang menilai tingkat pelayanan transportasi online sangat baik (77,7 persen) dan hanya 0,4 persen yang menyatakan kurang baik. Selengkapnya seperti terlihat pada diagram 2.

Dominannya pendapat konsumen yang menilai positif pelayanan jasa transportasi online, nampaknya tidak serta merta menghapus kekecewaan konsumen. Sebab, ketika ditanyakan apakah konsumen pernah dikecewakan oleh pelayanannya; sebanyak 41 persen konsumen mengaku pernah, dan sebaliknya 59 persen konsumen menjawab tidak/ belum pernah dikecewakan.

Jika dielaborasi, bentuk kekecewaan atau keluhan konsumen terhadap pelayanan transportasi online terbagi menjadi dua jenis; terkait dengan aplikasi teknologi dan sumber daya manusia (driver). Dari kedua jenis kekecewaan tersebut bentuknya sangat beragam. Terdapat 13 ragam keluhan yang dialami konsumen, antara lain: pengemudi meminta order konsumen dibatalkan sebanyak 1.041 responden (22.3 persen), sulit mendapatkan pengemudi sebanyak 989 responden (21.19 persen), pengemudi membatalkan order secara sepihak sebanyak 757 responden (16.22 responden), aplikasi map rusak/error/ tak dapat diakses sebanyak 612 responden (13.11 persen), pengemudi tidak datang sebanyak 296 responden (6.34 persen), kondisi kendaraan kurang baik sebanyak 282 responden (6.04 persen), dan pengemudi ugal-ugalan sebanyak 221 responden (4.73 persen) dan sebagainya (lihat tabel). Hal ini menandakan tidak adanya standar pelayanan minimal yang diberikan oleh operator transportasi yang bersangkutan. Dampaknya potensi kerugian konsumen sangat besar.

Banyaknya keluhan konsumen terhadap operator transportasi online, menunjukkan bahwa; pertama, operator transportasi online belum mempunyai standar pelayanan minimal yang terukur. Ini berakibat antara pengemudi satu dengan lainnya dalam satu operator tidak sama dalam memberikan pelayanan terhadap konsumennya.

Dan kedua, operator transportasi online belum mempunyai mekanisme penanganan pengaduan (complaint handling mechanism). Seperti diamanatkan dalam Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa konsumen berhak didengar keluhannya atas penggunaan barang/ jasa (pasal 4).

Persaingan operator di ceruk transportasi online juga terlihat dari survei YLKI yang menyebutkan Gojek menduduki rating tertinggi dipilih konsumen, sebanyak 72,6 persen; kemudian Grab sebanyak 66, 9 persen; Uber digunakan oleh 51 persen dan My BlueBird sebanyak 4,4 persen. Hasil ini tidak mengejutkan mengingat tiga operator tersebut yang menguasai aplikasi transportasi online – khususnya Jakarta. Pemandangan lazim di jalanan Jakarta bersliweran – terutama ojek online – sepeda motor dengan atribur tiga operator di atas.

Menolak Kebijakan

Salah satu perdebatan keberadaan transportasi online adalah kebijakan; kelompok yang kontra menganggap kehadiran transportasi online menimbulkan ketidakadilan, karena tidak ada kebijakan yang mengatur layaknya transportasi konvensional, seperti uji kir, kepemilikan pool, bengkel dan teknisi serta berbadan hukum. Tanpa kewajiban seperti transportasi konvensional diduga menyebabkan tarif transportasi online jauh lebih murah dibanding transportasi konvensional. Terlepas benar tidaknya anggapan tersebut, namun Kementrian Perhubungan dengan sigap telah menelorkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek sebagai payung hukum transportasi online.

Kemudian aturan mengalami revisi dengan 11 poin perubahan per 1 April 2017. Salah satu poin perubahan adalah batas tarif angkutan sewa khusus. Tarif angkutan tertera pada aplikasi berbasis teknologi informasi ditentukan berdasarkan tarif batas atas atau bawah. Menurut revisi dalam Permenhub tersebut bahwa penetapan tarif batas atas dan bawah diserahkan sepenuhnya kepada gubernur sesuai domisili perusahaan dan Kepala BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Lantas, bagaimana tanggapan konsumen dengan adanya intervensi regulasi dan wacana kebijakan pentarifan oleh Kemenhub tersebut? Survei YLKI menyebutkan bahwa mayoritas responden  (63 persen) bersikap tidak setuju jika pemerintah akan mengatur transportasi online, dan hanya 37 persen yang setuju. Bahkan, perihal wacana implementasi tarif batas atas dan batas bawah, hanya  37, 2 persen responden yang setuju, dan 62, 8 persen responden yang menyatakan tidak setuju jika transportasi online menerapkan tarif batas atas dan bawah.

Kesimpulan

Di era yang serba digital serta pesatnya perkembangan teknologi seperti saat ini, keberadaan transportasi online tidak bisa dielakkan, apalagi dilarang. Fenomena ini terjadi karena masih buruknya pelayanan angkutan umum di kota-kota besar Indonesia, termasuk Kota Jakarta. Keberadaan transportasi konvensional saat ini, belum mampu menjawab kebutuhan konsumen. Akibatnya konsumen mencari alternatif sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Ceruk ini dimanfaatkan oleh penyedia layanan jasa aplikasi dengan menghadirkan transportasi secara online.

Namun, euforia keberadaan transportasi online lebih didasari oleh faktor harga. Karakteristik mayoritas konsumen Indonesia yang sensitif terhadap harga, dibidik dengan cermat oleh penyedia jasa aplikasi dengan segudang iming-iming diskon. Kendati dalam situasi tertentu, klaim harga murah masih bisa diperdebatkan. Beberapa penyedia layanan aplikasi online juga menerapkan “tarif atas” ketika jam sibuk (peak hours). Sedangkan dalam tataran pelayanan,  transportasi online masih memiliki cacat, sebab belum ada aturan standar pelayanan minimal yang jelas dan terukur. Alhasil, perilaku pengemudi satu dengan lainnya kepada konsumen akan beragam, kendati dalam satu payung aplikasi yang sama. Dominannya keluhan konsumen menyangkut perilaku pengemudi transportasi online menjadi bukti konkrit ketiadaan standar pelayanan. Oleh karena itu mendesak untuk segera ditetapkan standar pelayanan minimal, khususnya moda taksi online. Standar pelayanan minimal sangat urgen, untuk menjamin pelayanan yang terukur bagi konsumen.

Tim Peneliti YLKI