Kasus gizi buruk merupakan fakta yang tak bisa ditutupi di negeri ini. Pemberitaan media tentang belasan balita gizi buruk yang tengah dirawat di sejumlah rumah sakit di Nusa Tenggara Timur tahun 2010 yang lalu merupakan contoh konkrit. Gizi buruk juga ditemukan di daerah lain di Indonesia, sebagian diantaranya bahkan menjadi kasus busung lapar dan merenggut korban jiwa.

Data nasional hingga 2008 menunjukkan bahwa balita yang mengalami masalah gangguan gizi di Indonesia masih menembus angka 4 juta jiwa dengan sekitar 700 ribu diantaranya mengalami kasus gizi buruk. Kasus gizi buruk umumnya merujuk pada kondisi tak imbangnya asupan zat gizi pada tubuh, kurangnya asupan zat gizi atau bahkan tidak terpenuhinya asupan zat gizi pada diri seseorang. Permasalahan gizi buruk kerap dikaitkan dengan faktor ekonomi, dimana kemiskinan menyebabkan satu keluarga tak mampu memberi kecukupan asupan makan bergizi pada anaknya.

Sah-sah saja kemiskinan dituding menjadi biang kerok gizi buruk, namun kasus gizi buruk pun ternyata bisa disebabkan salah pemahaman, seperti pemahaman pentingnya ASI, pemahaman ragam gizi, kondisi lingkungan, buruknya layanan kesehatan hingga salah dalam mengalokasikan pendapatan.

Untuk yang terakhir, sangat relevan jika fenomena ketidakmampuan memberi asupan makanan bergizi pada keluarga miskin acapkali tidak sebanding dengan belanja rokok di dalam keluarga tersebut. Alokasi belanja rokok justru lebih diprioritaskan dari pada membeli bahan kebutuhan untuk gizi keluarga. Sifat adiksi rokok ‘memaksa’ keluarga miskin di Indonesia melupakan pemenuhan kebutuhan gizi.

Hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas – 2006) mencatat alokasi belanja bulanan untuk rokok pada keluarga perokok menempati urutan kedua (9%) setelah beras (12%). Pengeluaran bulanan untuk rokok ini setara dengan 15 kali biaya pendidikan dan 9 kali biaya kesehatan. Jika disandingkan dengan kebutuhan makanan bergizi, jumlah alokasi belanja rokok keluarga perokok setara dengan 17 kali pengeluaran untuk membeli daging, 2 kali lipat untuk membeli ikan, dan 5 kali lipat biaya untuk membeli telur dan susu. Lebih mencengangkan bila kelompok keluaga termiskin mempunyai proporsi belanja rokok yang lebih besar (12%) daripada kelompok keluarga terkaya yang hanya 7 persen.

Kini konsumsi rokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia (semula nomor 5), setelah China dan India. Tidak heran jika lebih dari 60 juta orang membelanjakan uangnya untuk membeli rokok. Mereka rata-rata menghabiskan 11 batang rokok per hari. Ironisnya, perokok aktif justru didominasi dari kelompok keluarga miskin (70%).

Sebuah studi yang dilakukan oleh Richard D. Semba dan rekannya (2007) menemukan bahwa dari 175.859 rumah tangga miskin perkotaan di Indonesia yang diteliti sepanjang tahun 1999-2003, sebanyak 73,8 persen kepala keluarganya adalah perokok aktif. Pengeluaran mingguan untuk membeli rokok sebesar 22 persen, jauh menggungguli pengeluaran untuk makanan pokok (beras), yang hanya 19 persen. Sementara pengeluaran untuk telur dan ikan masing-masing hanya 3 persen dan 4 persen. Hasil penelitian yang dipublikasikan pada Public Health Nutrition Journal edisi Januari 2007 ini telah menunjukkan betapa belanja rokok ternyata telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang balita.

Padahal, perilaku merokok kepala rumah tangga berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk, yaitu prevalensi anak sangat kurus (1%), berat badan sangat rendah (6,3%) dan anak sangat pendek (7,0%). Studi sejenis pada 2000-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan membuktikan kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok.

Dengan begitu tingginya perilaku merokok pada rumah tangga miskin, maka risiko kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14 persen di perkotaan, dan 24 persen di perdesaan. Atau 1 dari 5 kematian balita berhubungan dengan perilaku merokok orang tuanya.

Menurut Unicef bahwa di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, diketemukan anak balita yang jatuh sakit, terhambat perkembangannya bahkan meninggal dunia karena masalah gangguan gizi. Di Indonesia, dengan angka kematian balita sebesar 162 ribu per tahun (Unicef, 2006), maka konsumsi rokok pada keluarga miskin menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita setiap hari.

Rokok dan Gizi buruk

Dampak jangka panjang yang ditimbulkan akibat gizi buruk menurut beberapa penelitaian mengakibatkan penderita menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan lainnya. Selain itu anak juga akan terhambat perkembangan dan pertumbuhan otaknya secara optimal. Jika anak terhambat perkembangan otaknya, akan sangat fatal bagi perkembangan anak sendiri, karena otak adalah aset vital bagi anak untuk menjadi manusia yang berkualitas dikemudian hari.

Gizi buruk bukan saja menjadi stigma yang ditakuti tetapi memang harus diwaspadai, hal ini tentu saja sangat terkait dengan kelangsungan suatu tatanan sosial ekonomi dan keberlangsungan suatu negara serta tentu saja keberlangsungan hidup terhadap anak itu sendiri. Tidak heran jika gizi buruk tidak ditangani secara serius akan mengancam jiwa dan menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa.

Agus Sujatno – Staff YLKI