Hasil karya yang didaftarkan hak ciptanya, cenderung menjadikan hasil karya tersebut dianggap mahal dan terbatas aksesnya. Kenyataan ini yang membuat pembajakan menjadi marak, terutama untuk produk berupa buku, buku teks, CD ataupun DVD. Adalah hal lumrah kalau masyarakat cenderung berupaya mencari dan mendapatkan produk murah. Akibatnya, mereka terjebak membeli produk hasil bajakan. Namun acapkali konsumen tidak menyadari bahwa produk yang telah dibeli merupakan produk bajakan. Mereka hanya tahu bahwa buku atau CD tersebut dijual dengan harga miring.

Hak Cipta adalah hak monopoli atau eksklusivitas yang diberikan pada pencipta atau pemilik sebuah ciptaan untuk memroduksi dan memanfaatkan ciptaannya selama waktu tertentu. Pemberian hak cipta seharusnya tidak menghalangi akses masyarakat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan. Inilah yang diperjuangkan oleh organisasi konsumen serta kelompok masyarakat lain yang peduli terhadap berbagai hal yang dapat membatasi peluang masyarakat mengembangkan diri. Tentu dengan tetap menghargai kreativitas dan hasil karya individu.

Survei global mengungkapkan bahwa keberadaan Undang-undang Hak Cipta telah menciptakan hambatan bagi konsumen untuk mengakses hasil karya cipta. Kendala terbesar adalah dalam membeli hasil ciptaan yang memiliki hak cipta. Konsumen berharap hasil karya yang mereka beli tidak mahal dan berkualitas tinggi. Ketersediaan produk dengan lisensi asli yang memenuhi kriteria ini sangat memengaruhi konsumen dalam membeli.

Untuk mengetahui hambatan yang dialami konsumen dalam mengakses hasil karya cipta, Consumers International (CI) menyelenggarakan survei global yang diikuti oleh 24 negara. Yang dimaksud dengan hasil karya cipta disini adalah berupa materi pendidikan, film, musik, video dan perangkat lunak (software) komputer, dan semacamnya. Survei ini direncanakan untuk dilaksanakan secara tertulis, menggunakan kuesioner yang harus diisi oleh responden. Namun demikian, kuesioner juga disediakan di website a2k, bahkan dalam 11 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Secara total, 12.049 responden berhasil dijaring, termasuk 1.223 yang mengisi kuesioner secara online. Di Indonesia, survei dilakukan ICT Watch dan YLKI pada akhir tahun 2009. Karena kuesioner yang dikirim kembali dari Indonesia berasal dari 1008 responden, dan menurut CI data Indonesia 1.024 kuesioner, dapat dipastikan 16 responden telah melengkapi  kuesioner secara online.

Hasil survei

Kuesioner utama terdiri dari dari 6 bagian terkait pembelian, peminjaman, penggandaan atau meng-copy, penggunaan, pembajakan, dan pengetahuan tentang materi yang dapat diakses secara gratis dan terbuka. Masing-masing bagian terdiri dari 3 pernyataan. Tanggapan responden cukup dengan memberikan penilaian Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju, Agak Setuju, Setuju, dan Sangat Setuju. Khusus untuk responden di Indonesia, ditambahkan beberapa pertanyaan yang terkait penggunaan internet.

Karakter responden

Seperti disebutkan di atas, total responden Indonesia yang melengkapi kuesioner adalah 1008 responden yang terdiri dari 693 laki-laki (69%) dan 319 perempuan (31%). Sebaran usia responden terbanyak berkisar antara 18-24 tahun (39%) diikuti dengan 14-17 tahun (29%) dan 25-34 tahun (24%). Sejalan dengan usia responden, 58 persen masih berstatus sebagai siswa atau mahasiswa dan 24 persen sebagai pegawai swasta.

  1. A. Membeli hasil karya cipta

Apa yang menjadi pertimbangan responden untuk membeli versi asli/original dibandingkan membeli hasil bajakan? 83 persen responden mengaku akan membeli versi original apabila harganya terjangkau. Jumlah yang sama 83 persen responden, lebih suka membeli versi original dari hasil karya cipta apabila kualitasnya lebih baik dari pada bajakannya.  Sementara,  76 persen menyetujui untuk mempertimbangkan membeli hasil karya versi original apabila produk tersebut sudah tersedia di pasaran. Jumlah yang cukup tinggi, 32 persen, sangat setuju untuk membeli versi original jika tersedia di pasar.

Dari sini terlihat bahwa keterjangkauan harga dan kualitas masih menjadi pertimbangan utama dalam membeli versi original/asli dari suatu hasil karya cipta. Survei global pun ternyata menunjukkan hasil yang sama. Konsumen di semua negara lebih memilih untuk membeli karya original jika persyaratan terpenuhi. Persyaratan paling penting adalah keterjangkauan harga dan kualitas. Yang menarik, 12 negara lebih mementingkan kriteria kualitas, sementara 8 negara menunjukkan harga lebih menentukan.

  1. B. Meminjam hasil karya cipta

Meminjam buku atau produk lain yang dilindungi hak ciptanya merupakan salah satu alternatif untuk dapat mengakses tanpa harus mengeluarkan biaya banyak. Perpustakaan seharusnya menjadi tempat yang didatangi konsumen untuk mendapatkan karya-karya yang mereka butuhkan. Namun ternyata hasil survei tidak menunjukkan hal ini. Sebagian besar responden, 84 persen, setuju bahwa hanya sedikit institusi seperti perpustakaan yang dapat meminjamkan produk atau hasil karya yang dilindungi hak ciptanya.

Hambatan lain adalah, meskipun ada institusi atau perpustakaan, karya cipta yang dibutuhkan ternyata tidak tersedia di sana. Hal ini dikatakan oleh 76 persen responden yang menyatakan bahwa masalahnya pada ketidaktersediaan karya tersebut di institusi atau perpustakaan. Sementara itu, jumlah yang cukup besar, 71 persen, percaya bahwa mereka akan memiliki akses yang lebih baik terhadap hasil karya cipta apabila teman atau mereka yang memiliki produk/karya tersebut bersedia meminjamkan. Ini berarti, masih cukup banyak orang yang enggan meminjamkan miliknya pada orang lain.

Lagi-lagi, hal ini sejalan dengan hasil survei global yang menyimpulkan: Konsumen mengalami kesulitan untuk meminjam hasil karya cipta, terutama karena terbatasnya akses karya-karya tersebut di perpustakaan. Namun, ada empat negara yang tidak mengalami hambatan sebagaimana negara-negara lainnya yaitu Perancis, Jepang, Thailand, dan Vietnam.

Seharusnya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, meninjau kembali apakah kebijakan dan fasilitas yang disediakan untuk perpustakaan sudah memadai. Karena keberadaan perpustakaan yang lengkap dan kemudahan akses menjadi penting apabila ingin memajukan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Apalagi mengingat tingginya harga produk atau karya-karya yang dilindungi hak ciptanya, seringkali menjadi kendala bagi masyarakat umum.

  1. C. Menggandakan karya cipta

Menggandakan hasil karya yang dilindungi hak ciptanya bukanlah hal yang sulit bagi konsumen. Meskipun dalam beberapa hal ada keterbatasan-keterbatasan yang menghalangi hal ini. Desain dari hasil karya cipta menyebabkan banyak orang tidak dapat menggandakan hasil karya cipta tersebut. Hal ini dibenarkan oleh 84 persen responden. Karya-karya yang dilindungi hak ciptanya cenderung “dikunci” sehingga sulit atau bahkan tidak dapat digandakan sama sekali.

Alasan ketiadaan akses atau alat untuk meng-copy atau menggandakan hasil karya cipta disetujui oleh lebih sedikit responden, yaitu 79 persen. Dan jumlah yang lebih sedikit lagi, 70 persen, menyatakan bahwa menggandakan hasil karya cipta terlalu mahal. Berarti ada 30 persen responden tidak menyetujui bahwa hasil kopian terlalu mahal dan menjadi kendala dalam penggandaan. Pada kenyataannya, terutama untuk buku-buku text, harga kopian memang lebih murah dibandingkan buku asli.

Survei global menunjukkan sepertiga dari negara-negara yang disurvei, termasuk didalamnya Indonesia, memberikan hasil yang sama terkait kesulitan dalam penggandaan. Kendala dalam menggandakan hasil karya cipta yang dilindungi terutama terkait digital locks atau kemungkinan karya cipta yang didesain sedemikian rupa sehingga sulit untuk digandakan.

Untuk mengatasi hambatan dalam penggandaan, salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menyebarluaskan karya cipta yang dapat digandakan secara legal dan bebas sehingga dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan. Selain itu, Undang-undang Hak Cipta sebenarnya memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi kepentingan publik. Penggandaan atau reproduksi dapat diperbolehkan, sebagian atau seluruhnya, apabila untuk kepentingan pendidikan atau riset misalnya, dan tidak untuk tujuan komersial. Sayangnya, pengecualian ini tidak didukung oleh peraturan pelaksanaan yang memadai.

  1. D. Menggunakan dan memanfaatkan hasil karya cipta

Apa yang menjadi kendala konsumen dalam memanfaatkan produk atau hasil karya yang dilindungi hak ciptanya? Bahasa adalah salah satunya. Jumlah responden yang cukup besar, 75 persen, mengalami kesulitan untuk menggunakan hasil karya cipta karena karya tersebut menggunakan bahasa yang tidak dipahami atau tidak dikuasai.

Di sisi lain, 82 persen responden mengalami masalah dalam menggunakan atau memanfaatkan hasil karya cipta karena produk atau karya tersebut tidak kompatibel dengan peralatan yang dimiliki.

Sementara, jumlah yang tidak terlalu berbeda, 79 persen, mengatakan masalah yang dihadapi ketika ingin menggunakan hasil karya cipta adalah tidak dapat diakses pada tempat dan waktu yang diinginkan. Kesulitan ini dapat diatasi dengan teknologi time-shifting, space-shifting, dan format-shifting, serta Undang-undang Hak Cipta yang mendukung penggunaan teknologi ini.

Secara global, dari 24 negara, hanya sembilan negara, termasuk Indonesia yang melaporkan masalah atau kesulitan dalam menggunakan dan memanfaatkan hasil karya cipta, dan jumlah yang lebih besar, tidak menyebutkan masalah yang signifikan.

  1. E. Menggunakan karya bajakan

Kekhawatiran untuk berhadapan dengan hukum atau dituntut pengadilan menjadi alasan 83 persen responden untuk tidak membeli atau mengunduh versi bajakan sebuah karya cipta. Yang menarik, meskipun Indonesia dikenal dengan luasnya peredaran produk atau karya cipta bajakan, 80 persen meyakini bahwa membeli versi bajakan suatu karya cipta merupakan kesalahan secara moral.

Kenyataan ini ditemukan di hampir semua negara yang ikut serta dalam survei, kecuali Argentina, Kamerun, Perancis, dan Vietnam tidak menghadapi masalah ini. Perancis sangat menolak pernyataan bahwa menggunakan hasil bajakan salah secara moral. Hal ini diduga ada kaitannya dengan undang-undang yang baru diterapkan di Perancis tahun 2009 yang lalu, yang mengharuskan penyedia jasa internet (Internet Service Providers) untuk memutuskan akses pengguna terhadap internet selama setahun, apabila menemukan mereka berbagi dokumen melalui internet secara tidak sah. Sebaliknya, responden di Lebanon dan Israel tidak terlalu khawatir dengan tuntutan hukum. Alasan moral jauh lebih tinggi untuk tidak menggunakan produk hasil bajakan. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi dan penegakan hukum terkait pembajakan di negara tersebut sangat terbatas.

Secara umum, meskipun ketergantungan terhadap produk hasil bajakan cukup merata di banyak negara berkembang, konsumen sebenarnya lebih suka untuk menghindarinya, terutama apabila produk yang legal tersedia dan terjangkau.

  1. F. Pengetahuan hasil karya bebas (free and open source/content)

Sejauh mana pemahaman konsumen tentang keberadaan program serta karya-karya bebas yang hak ciptanya tidak dibatasi? Pertanyaan ini terkait dengan hasil karya cipta yang bebas digunakan, digandakan, atau dibagikan dari perangkat lunak terbuka seperti situs Wikipedia, serta buku, musik dan video berlisensi “Creative Commons”. Ternyata hampir 80 persen responden menyatakan ketidaktahuannya akan karya bebas ini, dan hanya 22 persen yang mengetahui keberadaan karya-karya semacam ini.

Disamping itu, jumlah yang lebih sedikit, 75 persen, mengakui ketidakyakinannya bahwa kualitas karya-karya bebas ini sebaik kualitas karya atau produk komersial yang hak ciptanya dilindungi. Yang menarik adalah kekhawatiran dari 80 persen responden terkait tingkat kemudahan menggunakan program atau karya-karya yang terbuka dan bebas ini, dibandingkan produk sejenis versi komersial.

Indonesia ternyata satu dari sedikit negara termasuk Kenya, Fiji, Korea Selatan dan Israel, yang konsumennya mengklaim tidak mengetahui ketersediaan materi-materi yang bebas. Oleh karena itu, penting bagi pembuat kebijakan untuk melakukan promosi terkait program-program semacam ini dan meyakinkan masyarakat akan kemudahan mengakses dan menggunakannya. Karena hal ini jelas akan meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi dan pengetahuan, tanpa harus dibatasi dengan persoalan legalitas dan biaya.

Sebenarnya, beberapa instansi pemerintah, terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika mendorong dan menggunakan program-program open source. Sayangnya, kampanye penggunaannya pada masyarakat luas masih sangat terbatas.

Rekomendasi

Survei di atas ditujukan untuk mengetahui hal-hal apa yang sebenarnya menjadi penghambat akses masyarakat terhadap informasi, pengetahuan serta program dan produk yang dilindungi hak ciptanya. Dari temuan-temuan ini, jelas terlihat apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan pengambil kebijakan juga sektor industri.

Sesungguhnya konsumen menginginkan produk atau karya cipta yang original/asli sepanjang karya tersebut berkualitas baik dan memiliki harga yang terjangkau. Oleh karena itu harus diberikan kesempatan untuk memperolehnya, dibandingkan memaksa mereka, karena alasan ekonomi, untuk menerima hasil bajakan yang berkualitas rendah.

Pengecualian dan keleluasaan yang sebenarnya tersedia pada Undang-undang Hak Cipta seharusnya dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya. Sehingga tidak ada keraguan, terutama dari segi hukum, pada masyarakat untuk memanfaatkannya.

Pemerintah perlu memiliki kebijakan yang dapat mengoptimalkan peran dan fungsi perpustakaan, terutama terkait akses terhadap buku, buku teks, jurnal, termasuk jurnal-jurnal online. Termasuk juga membangun jejaring di antara perpustakaan sehingga dapat berbagi dokumen (resource sharing).

Pemerintah perlu mendukung alternatif-alternatif yang hak ciptanya bebas dan terbuka, sehingga siapapun dapat mengaksesnya. Seperti menyediakan perpustakaan yang lengkap, serta open content yang dapat digandakan, dibagi dan dimodifikasi secara bebas. Dengan demikian, berbagai hambatan yang dihadapi konsumen untuk mengakses dan menggunakan karya-karya yang memiliki hak cipta dapat ditekan dari waktu ke waktu, dan akses pengetahuan untuk semua dapat tumbuh dan berkembang.

Huzna G Zahir

Perlawanan dari Jejaring Sosial Internet

Untuk melengkapi survei global terkait hambatan dalam mengakses hasil karya yang memiliki hak cipta, Indonesia ‘menumpangkan’ beberapa pertanyaan yang terkait pemanfaatan internet dan media sosial yang memang sedang berkembang di Indonesia. Beberapa isu menarik memang ramai jadi perbincangan di penghujung tahun 2009 itu.

Salah satunya adalah bagaimana seorang Prita Mulyasari, digugat sebuah rumah sakit hanya karena berbagi cerita dengan beberapa teman melalui media online, tentang pengalamannya dirawat di rumah sakit tersebut. Tidak tanggung-tanggung, tuntutannya pidana dan perdata sekaligus. Pada saat kisah ini terangkat di media massa, jelas masyarakat marah. Apalagi pada saat keluar keputusan pengadilan perdata, Prita harus membayar ganti rugi sebesar Rp 261 juta. Di sinilah terlihat betapa media sosial dapat berperan besar menggalang dukungan.

Kasus lain adalah kriminalisasi KPK, demikian menurut media massa. Bibit Samad Riyanto dan M Chandra Hamzah, Komisioner KPK, dituding menyalahgunakan wewenang dan menerima suap dari Anggodo Widjojo, adik tersangka kasus korupsi Anggoro Widjojo. Keduanya lantas ditangkap dan diproses oleh Kejaksaan Agung. Kasus ini merembet menjadi pertentangan antara Cicak dan Buaya, untuk istilah KPK dan Polri. Tak ayal jutaan orang sontak bereaksi lewat jejaring sosial di dunia maya untuk memberikan dukungan kepada dua pemimpin KPK tersebut. Ternyata masyarakat umum masih percaya pada KPK.

Lalu, bagaimana masyarakat merespon berbagai peristiwa ini, dikaitkan dengan perilaku berinternet?

Dari 1008 responden, lebih dari setengahnya ternyata menggunakan email dan facebook secara rutin (berturut-turut 58% dan 55%). Twitter masih menjadi layanan online yang belum rutin digunakan, pada saat survei dilakukan. Namun, dengan berjalannya waktu, diduga penggunaan twitter mulai menjadi favorit para netter.

Layanan Online yang dimiliki/digunakan secara rutin Jumlah
Email 58,2%
Blog 17,4%
Facebook 55,0%
Twitter 10,1%
Mailing-list 18,6%
Forum Online 20,3%

 

Terkait dengan kasus Prita di atas, responden ditanyakan apakah ada perubahan dalam cara berekspresi dan bertukar informasi melalui internet. Kasus ini ternyata cukup berpengaruh bagi masyarakat pengguna internet. Terbukti 44 persen responden mengaku menjadi hati-hati, sementara hanya 27 persen yang mengaku tidak terpengaruh, biasa saja dan tetap bebas.

Meski pada akhirnya Prita divonis bebas dari tuntutan pidana pencemaran nama baik, ada pelajaran lain yang dapat dipetik. Mengingat internet merupakan media yang demikian terbuka, dimana satu cerita dapat dengan begitu mudahnya menyebar ke ribuan bahkan jutaan orang tanpa kita sadari, ada baiknya kita memperhatikan apa yang ingin disampaikan. Karena setelah kasus ini, muncul beberapa tuntutan lain yang disebabkan oleh ‘komentar’ atau pernyataan yang dituliskan melalui facebook.

 

Aktivitas berekspresi/bertukar informasi setelah kasus Prita Jumlah
Biasa saja, tetap bebas 27,4%
Menjadi hati-hati 44,3%
Cenderung Kuatir 22,4%
Tidak Tahu 5,9%

 

Facebook ternyata merupakan layanan online yang paling dapat menggerakkan berbagai aksi perubahan. Pengumpulan koin untuk Prita, dukungan bagi Bibit-Chandra, memang berkembang luas melalui media ini, selain media massa yang kemudian memberitakan dengan cukup intens. Sampai saat ini pun, media sosial seperti Facebook dan Twitter masih menjadi penyebar berita super cepat. Selain itu, lebih dari 80 persen responden juga mengakui peran komunitas-komunitas online yang terbentuk melalui aktivitas berinternet dalam menggerakkan aksi-aksi untuk mendorong perubahan di negeri ini.

Paling dapat menggerakkan aksi perubahan Jumlah
Email 12,8%
Blog 7,4%
Facebook 46,0%
Twitter 3,6%
Mailing-list 16,8%
Forum Online 13,4%

 

Peran komunitas online dalam menggerakkan aksi menuntut perubahan Jumlah
Sangat Berperan 34,0%
Cukup Berperan 47,0%
Kurang Berperan 15,2%
Tidak Berperan 3,8%

 

Akses internet paling banyak dilakukan responden melalui komputer atau laptop di rumah (31,2%), diikuti dengan di kantor dan warnet, berturut-turut 22,3 dan 21,7 persen. Saat survei dilakukan, akses melalui telepon seluler non Blackberry dan Blackberry masih cukup rendah, hanya 6 dan 5 persen. Diduga, setelah setahun berlalu dan dengan perkembangan fasilitas telepon seluler yang harganya cenderung terus menurun, kemungkinan sudah lebih banyak konsumen yang memanfaatkan telepon ataupun Blackberry untuk berselancar dan berbagi informasi melalui dunia maya.

Internet sehat merupakan program utama ICT Watch dalam mengedukasi masyarakat untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya melalui internet dan mengampanyekan penggunaan internet yang bertanggung jawab. Meski masih sedikit responden (9,8%) yang benar-benar mengetahui kegiatan ini, paling tidak lebih dari 40 persen pernah mendengar tentang program yang dilansir ICT Watch sejak beberapa tahun yang lalu ini.

Huzna G Zahir – Anggota Pengurus Harian YLKI