Memiliki tubuh sehat dan terhindar dari segala jenis penyakit, bisa dipastikan menjadi dambaan setiap orang. Segala jenis usaha, seperti pemeriksaan kesehatan secara rutin (medical check-up), mengonsumsi makanan sehat dan jenis multivitamin/ suplemen serta olahraga telah menjadi kebiasaan. Demi merealisasikannya diperlukan biaya yang tidak sedikit. Takhayal munculah istilah di masyarakat bahwa “kesehatan itu mahal harganya”. Tentunya jargon ini bukan isapan jempol semata. Bagi mereka yang mampu secara finansial, lebih mudah mewujudkannya, tetapi bagaimana dengan nasib kelompok miskin?

 

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja susah apalagi jika harus mengonsumsi segala jenis multivitamin ataupun melakukan medical check-up. Bagi kelompok ini, makan dua kali sehari saja sudah cukup, tidak penting makanan itu sehat atau tidak. Jika sakit, mereka lebih mengandalkan obat-obatan bebas yang tersedia di warung-warung, ketimbang harus lari ke rumah sakit. Agaknya kata rumah sakit, menjadi trauma tersendiri bagi mereka. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Apakah ada yang salah dengan pelayanan rumah sakit?

 

Kendati telah ada program pemerintah di bidang kesehatan bagi kelompok miskin, berupa kartu keluarga miskin (Gakin), jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) serta jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang dapat digunakan di rumah sakit Pemerintah ataupun Swasta. Hal ini tidak mereduksi trauma tersebut. Dengan kartu ini serta status yang tersemat, acapkali mereka mendapatkan perlakukan yang diskriminatif jika disandingkan dengan pasien umum (tanpa kartu Jamkesmas, Gakin). Dimulai dari pengurusan administrasi yang berbelit-belit, sampai penolakan dengan alasan kamar/ bangsal sudah penuh. Tentu saja perbuatan ini tidak sesuai dengan pasal 2 Undang-undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

 

Pelangggaran terhadap Bab XX pasal 190 ayat 1, UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga kerap terjadi, yaitu bila pasien tidak membayar/ menjaminkan uang muka ke pihak rumah sakit, maka pasien tidak akan dilayani walaupun pasien sangat membutuhkan pertolongan / pelayanan kesehatan. Beberapa kasus yang terjadi belakangan, seakan menegaskan hal ini. Seperti kasus; ketika sebuah keluarga tidak mampu menebus biaya persalinan, harus merelakan bayinya ditahan rumah sakit sampai terjadi pelunasan administrasi. Contoh lain, ketika seorang suami meminta pihak rumah sakit agar melakukan euthanasia (memberi suntikan mematikan) kepada istrinya yang sedang koma akibat malpraktek. Ini dilakukan karena tidak mampu melunasi biaya perawatan yang menumpuk.

 

Puskesmas layak


Banyaknya kejadian yang menimpa masyarakat miskin dalam pelayanan kesehatan membuat Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan riset tentang pelayanan rumah sakit. Riset ini dilakukan di 5 wilayah, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Hasil yang dapat disimpulkan bahwa pelayanan rumah sakit bagi masyarakat miskin masih buruk. Adapun responden dalam objek penelitian ini merupakan pasien miskin yang mendapatkan pelayanan buruk di 5 rumah sakit swasta dan 18 rumah sakit pemerintah dengan jumlah responden 738. Data yang diperoleh, yaitu sebanyak 76,8 persen responden mengeluhkan pelayanan dalam administrasi rumah sakit, sedangkan sebanyak 34,1 persen mengeluhkan pelayanan perawat dan tenaga kesehatan rumah sakit. Tak berlebihan bila dikemudian muncul anekdot di masyarakat bahwa orang miskin tidak boleh / dilarang sakit.

 

Beginikah pelayanan rumah sakit di negeri ini? Lupakah mereka akan janji yang pernah diucapkan? Mungkin seperti itu yang ada dipikiran kita jika melihat dan mendengar kejadian tersebut. Usaha pemerintah membangun rumah sakit yang terjangkau oleh semua kalangan tampaknya sia-sia. Masyarakat miskin bila ke rumah sakit, belum menunjukkan kenyamanan layanan serta finansial. Agaknya pemerintah lebih bijaksana jika memperbanyak pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang lebih membumi dengan fasilitas lengkap, baik dari segi layanan maupun peralatan.

 

Contoh dalam hal ini adalah di Tangerang, yang telah mendirikan 6 Puskesmas, yaitu : Puskesmas Sukasari, Cipondoh, Batuceper, Neglasari, Cibodas dan Karawaci Baru yang lulus dalam proses sertifikasi sistem manajemen mutu (SMM) ISO 9001. Hal ini terus digiatkan oleh Pemkot Tangerang, agar tercapainya peningkatan mutu pelayanan yang baik dan professional sesuai dengan standar operasional pelayanan. Puskesmas Sukasari, contohnya telah menjadi puskesmas percontohan bagi peningkatan mutu puskesmas lain. (www.tempointeraktif.com)

 

Noor Jehan – Staff YLKI