Jika berbicara tentang pangan bukan hanya soal harga semata, tetapi mencakup tentang kebutuhan dasar. Secara garis besar ada tiga aspek penting tentang pangan, yaitu ketahanan pangan, kedaulatan pangan dan keamanan pangan. Ketiga aspek penting ini mutlak diperlukan suatu negara untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya.

 

Namun, sejauh ini Pemerintah Indonesia lebih fokus pada isu ketahanan pangan, yaitu bagaimana kebutuhan pangan domestik terpenuhi, walaupun harus impor. Padahal dalam jangka panjang, seharusnya yang lebih penting adalah mewujudkan kedaulatan pangan, yaitu kebutuhan pangan domestik, dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Artinya bahwa produksi pangan Indonesia dapat secara menyeluruh memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, tanpa harus bergantung impor negara lain.

 

Masalah keamanan pangan, bukan rahasia lagi, juga menjadi problem serius bagi sebagain masyarakat. Terutama mereka yang kemampuan ekonomi, sosial dan informasinya terbatas. Indikatornya jelas, masih maraknya kasus keracunan makanan dan produk pangan Indonesia sering ditolak pasar global, karena tidak memenuhi syarat higienis.

 

Perang Masa Depan


Selain memperebutkan sumber energi primer, pemicu terjadinya perang di masa depan adalah memperebutkan komoditas pangan, dan ini sudah terjadi tahun 2008. Bahkan  “pertempuran” ini akan semakin sengit di masa yang akan datang, jika melihat pertumbuhan jumlah penduduk dunia jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan produksi hasil pertanian.

 

Peristiwa awal tahun ini mirip dengan apa yang terjadi pada 2008, ketika negara penghasil produk pertanian ( khususnya beras ) seperti Thailand dan Vietnam tidak hanya membatasi ekspor, tetapi juga menghentikan ekspor dengan alasan untuk mengamankan cadangan pangan domestik. Tidak cukup sampai di situ, kedua negara ini juga berburu beras di pasar international untuk mempekuat cadangan pangan domestik mereka.

 

Pada saat yang sama, banyak negara – khususnya yang punya uang – sanggup membeli produk pangan dengan harga berapapun, sehingga mengakibatkan kenaikan harga produk pertanian di pasar global tidak bisa dihindari. Gejolak harga pangan tahun 2008 baru berhenti, ketika banyak negara meminta Jepang untuk melepas cadangan pangan ke pasar international. Akhirnya Jepang berkomitmen “akan” melepas cadangan beras ke pasar international. Hasilnya harga beras di pasar internatonal turun, walaupun  pemerintah Jepang baru menyatakan komitmen, secara riil belum melepas cadangan beras mereka ke pasar international.

 

Malangnya, dalam menyikapi ancaman krisis pangan global, posisi Indonesia sangat lemah. Hal ini disebabkan; pertama, pertumbuhan penduduk lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan produk pertanian. Hasil sensus penduduk tahun 2010 mencatat jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237 juta orang. Kedua, Pemerintah Indonesia lebih suka impor dalam memenuhi kekurangan kebutuhan produk pangan domestik, bukan meningkatkan produksi hasil pertanian. Adalah sebuah ironi, sebagai negara agraris berbagai kebutuhan pokok pangan seperti beras, kedelai, gula. daging sapi bahkan garam pun harus dipenui dengan impor. Ketiga, adanya penurunan luas lahan pertanian produktif akibat adanya perubahan fungsi lahan produktif (agricultural land). Cukup banyak tanah yang bisa dipakai bercocok tanam berubah fungsi menjadi perumahan, pabrik, pusat bisnis dan lain-lain. Keempat, pilihan diversifikasi pangan di Indnesia juga salah, karena menjadikan mie instant berbahan pokok terigu sebagai produk susbsitusi pengganti beras, dimana 100 persen kebutuhan terigu domestik adalah impor. Kelima, konsumen di Indonesia tidak pernah diedukasi pemerintah dalam berkonsumsi untuk lebih mengutamakan produk pangan lokal.

 

Genjot Produk Domestik


Dengan terjadinya tren kenaikan harga beras, akan berdampak kepada kenaikan inflasi. Dalam metode perhitungan angka inflasi di Indonesia, proporsi pangan cukup besar, sehingga terjadinya gejolak harga pangan akan berdampak signifikan pada angka inflasi. Kenaikan inflasi tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan akan mengakibatkan penduduk miskin akan semakin miskin dan penduduk hampir miskin terjun menjadi penduduk miskin.

 

Langkah pemerintah Indonesia untuk menstabilkan harga pangan domestik dengan membebaskan bea impor produk pertanian adalah potret/cermin pemerintah yang malas untuk berfikir. Mengatasi masalah krisis pangan secara instan, parsial dan jangka pendek tetapi tidak masuk ke jantung persoalan. Seharusnya Pemerintah dapat menciptakan iklim/ kebijakan  kondusif di sektor produksi produk pangan, sehingga secara bertahap ketergantungan terhadap produk pangan impor bisa dikurangi.

 

Sudah waktunya menjadikan peningkatan produksi hasil pertanian menjadi misi nasional yang harus didukung semua pihak, dengan menjadikan  Kementrian Pertanian sebagai ujung tombak. Kalau perlu namanya diganti lebih fokus menjadi Kementrian Produksi Pertanian. Masalah pangan adalah isu lintas sektoral, untuk itu perlu ada kebijakan yang terintegrasi antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta  antar departemen.

***

Sudaryatmo – Ketua YLKI