Produsen menarik barang dagangan terkait masalah keamanan produk seharusnya menjadi komitmen perusahaan yang benar-benar concern pada masalah keamanan dan keselamatan konsumen. Beberapa kasus di Indonesia misalnya terjadi pada produk mobil yang ditarik (recall) karena masalah keamanan (safety). Begitu juga kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika sebuah perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) menarik produknya karena tercemar bakteri.

 

Kepedulian ini, walaupun mungkin berkonsekuensi pada penurunan penjualan, tetapi sangat perlu diapresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa produsen bukan hanya mengeksploitasi konsumen untuk menangguk keuntungan tanpa batas, tetapi juga bersedia ‘mengaku salah’, dengan menarik dan memperbaiki kualitas produknya ketika kedapatan bermasalah.

 

Bagaimana dengan kasus susu formula mengandung bakteri E.Sakazakii? Walaupun jelas bahwa korban adalah manusia paling lemah, yaitu bayi atau batita, toh agaknya tidak tampak kepedulian produsen susu formula (yang mengandung Sakazakii), untuk mau menarik produknya. Lebih celaka karena tidak ada kepedulian dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk membuat surat ‘warning’ kepada Rumah Sakit bersalin dalam kasus bayi meninggal karena radang selaput otak terkait dengan susu formula yang dikonsumsi. Apalagi ‘daya paksa’ BPOM bagi produsen susu formula untuk me-recall produk. Nampak seolah-olah lemah ketika berhadapan dengan produsen susu formula.

 

Belajar dari Kasus di AS


Apa yang terjadi di Indonesia ini bertolak 180 derajat dengan kejadian di Amerika Serikat (AS). Pada tahun 2002, FDA (Food and Drug Administration – BPOM-nya AS), menulis surat kepada rumah sakit bersalin di negara adi daya tersebut soal infeksi akibat bakteri Sakazakii dan peringatan terhadap susu formula yang dikonsumsi. Ini terkait dengan investigasi yang dilakukan oleh US Centers for Disease Control and Prevention (CDC) atas kasus kematian beberapa bayi akibat kasus meningitis (radang selaput otak) yang diduga kematian berkaitan dengan penggunaan susu formula sebagai faktor yang menginfeksi bayi tersebut. Detail mengenai investigasi ini dapat dilihat di Morbidity and Mortality Weekly Report. Surat FDA tersebut dapat dilihat pada www.cfsan.fda.gov/~dms/inf-lts3.html.


Tidak lama dari ‘warning’ FDA tersebut, dua produsen susu formula di AS, yaitu Wyeth Nutrition dan Mead Jhonson Nutrionals mengeluarkan surat penarikan (recall) untuk produk tertentu. Mead Johnson Nutritionals, menarik produk susu formula tertentu dengan batas kadaluarsa hingga 1 Januari  2004. Sementara Wyeth Nutrition untuk produk susu formula tertentu dengan batas kadaluarsa 28 September 2005. Di surat recall tersebut, kedua produsen susu formula ini juga mencantumkan nomer pengaduan yang bisa diakses terkait dengan komplain maupun untuk menampung informasi konsumen.

 

Apakah recall tersebut menimbulkan kepanikan? Tidak, karena konsumen mendapat kejelasan produk mana saja yang mengandung bakteri. Malahan penarikan produk bermasalah oleh produsen (yang menunjukkan iktikad baik produsen terhadap keamanan dan keselamatan konsumen), menjadikan konsumen tetap tenang dan bisa mengambil keputusan dengan baik.

 

Namun tidak demikian dengan Indonesia. Konsumen dihadapkan pada ketidakjelasan mengenai produk mana yang dulu mengandung bakteri seolah seperti tidak berujung. Putusan pengadilan dengan level paling tinggi di negeri ini agaknya tak menggoyahkan para pemangku kepentingan untuk tetap diam seribu bahasa. Nasib bayi-bayi tahun 2003-2006 bahkan hingga sekarang, juga tidak pernah diinvestigasi apakah ada keterkaitan antara kematian akibat radang otak (meningitis) dengan konsumsi susu formula tertentu. Lantas, kapan negeri ini benar-benar peduli terhadap keselamatan dan keamanan manusia?

 

Banyak Negara


Sebenarnya, penarikan susu formula berbakteri tidak hanya semata dilakukan oleh AS. Banyak negara juga menerapkan kebijakan yang pro terhadap konsumen. Berdasarkan data dari IBFAN (International Baby Food Action Network) yang dapat diakses di http://www.ibfan.org/art/85-23.pdf), negara yang pernah melakukan penarikan susu formula adalah sebagai berikut:

 

Pada tanggal 15 Mei 2006, Otoritas Badan Pengawas Obat dan Makanan di Argentina telah melakukan penarikan terhadap produk Nestle dengan merek NAN 1 karena terkontaminasi Enterobacter sakazakii. Penarikan ini dilakukan beradasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan oleh otoritas sanitasi Buenos Aires yang membuktikan kontaminasi bakteri tersebut. Sebelum itu, tanggal 25 Juli 2005, Enfamil AR (produsen Mead Jhonson) juga ditarik dari pasar  Argentina, juga karena tercemar bakteri Sakazakii.

 

Kemudian, 20 Oktober 2006, di Ciprus dilakukan penarikan produk terkait Sakazakii, yaitu merek Sanilac 1 dengan produsen Jotis. Sedangkan di Korea Selatan, produk susu formula bermerk Namyang Infant Formula juga dideteksi mengandung koloni Enterobacter Sakazakii setelah diuji oleh Badan Nasional Pelayanan dan Penelitian Karantina Korsel.

 

Sebelumnya di Belanda, pada 16 Oktober 2005, produk merek Cereabib 1 & 2 dengan produsen Babymill ditarik karena terkena kontaminasi bakter Sakazakii. Demikian juga di China pada 1 November 2002, produk merek Nursoy (produsen Wyeth) juga ditarik karena mengandung Sakazakii. Sedangkan merk Promise (Wyeth) ditarik karena mengandung nitrat yang melebihi standar nasional di China. Penarikan dilakukan atas 100 juta kaleng susu formula.

 

Pada saat yang hampir bersamaan, 5 Februari 2002, produk susu formula merek Beba yang di produksi oleh Nestle Belgia juga ditarik atas permintaan Federal Agency for Food Safety (Badan Federal untuk Keamanan Pangan) di Belgia. Produk ini ditarik setelah kejadian seorang bayi usia 5 hari meninggal karena meningitis (radang selaput otak) yang diakibatkan oleh Enterobacter Sakazakii. Nah, apakah Indonesia juga akan melakukan hal serupa? Atau justru sebaliknya?

 

Ilyani S. Andang – Pengurus Harian YLKI