Begitu nelangsa nasib konsumen di negeri ini. Lihatlah konsumen di lapis bawah, yang acap kesulitan mendapatkan bahan makanan pokok, atau terombang-ambingkan oleh harga yang tak menentu akibat permainan harga para tengkulak. Tak terkecuali konsumen yang dari sisi sosial ekonomi cukup mapan pun, hak-haknya acap dilanggar. Contoh yang paling gamblang adalah konsumen jasa perbankan.

 

Terjadinya pembobolan rekening nasabah dan juga terbunuhnya konsumen pemegang kartu kredit bulan lalu, menunjukkan fenomena buruk dimaksud. Ironisnya, hal ini justru terjadi di bank internasional. Kalau bank internasional saja potretnya semacam itu, apalagi bank nasional, atau bahkan bank lokal?

 

Pada konteks ini, penulis akan menyoroti tentang tewasnya nasabah pemegang kartu kredit. Pertanyaannya, ada fenomena apakah gerangan, dan bagaimana solusi hukumnya?

 

Sistemik


Kasus meninggalnya konsumen kartu kredit bernama Irzen Octa, sejatinya hanyalah puncak gunung es saja. Kasus serupa – kendati tidak sampai mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang – acap diterima oleh banyak nasabah kartu kredit. Hal ini, setidaknya mengacu pada pengaduan konsumen kartu kredit yang diterima YLKI, menunjukkan fenomena yang demikian. Misalnya, pada 2005 YLKI mengadakan bulan pengaduan konsumen kartu kredit, yang berhasil menjaring 2000-an kasus, terbukti kebanyakan kasus yang dikeluhkan konsumen adalah perilaku “premanisme” debt collector. Artinya, perilaku premanisme debt collector sudah menjadi kelaziman yang dialami konsumen.

 

Bentuk-bentuk premanisme yang umum dilakukan antara lain, membentak konsumen dengan kata-kata kasar dan tak senonoh, menteror dengan surat, mengirim ratusan faksimili ke tempat kerja konsumen, dengan kata-kata kotor, atau bahkan tindakan kekerasan fisik (memukul konsumen).

 

Pelibatan debt collector oleh pihak bank, dari sisi hukum sebenarnya amat lemah. Pertama, karena hubungan transaksional konsumen adalah dengan pihak bank, bukan dengan pihak ketiga (termasuk debt collector). Pelibatan debt collector juga bukan atas kesepakatan bersama antara pihak bank dengan pihak konsumen, tetapi hanya keputusan sepihak dari bank/penerbit kartu kredit. Kedua, urusan tunggakan kartu kredit adalah urusan utang piutang, yang menjadi ranah keperdataan. Sedangkan, pelibatan debt collector lebih dominan kepentingan pidananya. Sedangkan masalah pidana adalah urusan kepolisian.

 

Harus diakui, berdasar pengaduan konsumen di YLKI, memang mayoritas persoalan yang melilit konsumen adalah tunggakan tagihan yang jatuh tempo, yaitu konsumen gagal bayar atas tagihan yang seharusnya dilunasinya. Namun, tingginya kasus tunggakan ini tidak bisa serta merta ditimpakan sepenuhnya pada konsumen. Mengapa? Pertama, hal ini dipicu oleh longgarnya pihak bank/penerbit kartu kredit, dalam menerbitkan. Cukup bemodalkan KTP, konsumen bisa mengakses kartu kredit. Padahal, jika prosedur yang benar dilewati, seharunsya pihak bank/penerbit kartu kredit, melakukan survei ke ke rumah konsumen. Survei ini untuk mengetahui apakah secara sosial ekonomi konsumen layak mengantongi sepucuk kartu kredit, atau sebaliknya.

 

Kedua, promosi yang dilakukan pihak bank/penerbit kartu kredit, cenderung menyesatkan konsumen. Informasi yang diberikan hanya dari satu sisi saja, yaitu sisi “kelebihan” kartu kredit. Tetapi pihak bank/penerbit kartu kredit, tidak memberikan informasi yang utuh perihal kartu kredit. Misalnya, apa saja kelemahan-kelemahan kartu kredit, bagaimana pula menggunakan kartu kredit secara aman dan efisien. Dengan fenomena yang demikian, menjadi wajar jika banyak konsumen kartu kredit yang sebenarnya secara sosial ekonomi tidak layak mengantongi kartu kredit. Dan, menjadi tidak aneh kalau konsumen terjebak dengan jeratan hutang kartu kredit, karena terjerat bunga berbunga mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Bagaimana mungkin bisa terjadi jika seorang konsumen (dengan kondisi sosial ekonomi yang pas-pasan) tetapi mengantongi lebih dari 10 jenis kartu kredit? Siapa yang goblok sebenarnya, konsumennya, atau bank/penerbit kartu kredit?

 

Pidana korporasi


Polisi seharusnya secara cerdas mengusut kasus ini. Artinya, pihak kepolisian jangan hanya menjadikan kasus pidana biasa terhadap meninggalnya nasabah pemegang kartu kredit. Jangan pula hanya petugas front liner Citibank yang dijadikan tersangka. Polisi, idealnya menjadikan kasus ini sebagai bentuk tindak pidana korporasi. Secara normatif, polisi jangan hanya menjadikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sandaran normatif tunggal. Pada konteks perlindungan konsumen, seharusnya polisi juga menjadikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai dasar normatif.

 

UUPK, secara substantif menganut “paham” pidana korporasi. Artinya, korporasi bisa dikenakan tindakan pidana atas kerugian yang menimpa konsumen, baik konsumen produk barang, dan atau konsumen produk jasa. Jika UUPK juga dijadikan rujukan, maka seharusnya bukan hanya petugas front liner yang dijadikan tersangka atas kasus ini, tetapi juga pihak managemen, bisa di level direksi, atau bahkan komisarisnya. Level managemen layak dimintai pertanggungjawaban, baik perdata dan atau pidana, dengan asumsi kasus ini merupakan kegagalan pihak managemen dalam melindungi konsumen. Atau, bahkan pihak managemen telah juga melakukan pembiaran dan atau kesengajaan terjadinya kasus ini.

 

Dengan kejadian ini, seharunsya pihak Bank Indonesia melakukan tindakan cepat dan antisipatif. Karena, bagaimana pun hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas dan regulator sektor perbankan di Indonesia. Seharusnya Bank Indonesia mereview terhadap aturan yang ada perihal kartu kredit, termasuk proses pelibatan debt collector. Plus menerbitkan aturan baru yang lebih komprehensif. Pihak kepolisian idealnya juga melakukan tindakan yang lebih meluas, yang mampu menjerat pihak managemen bank, sesuai dengan prinsip pidana korporasi yang dianut UU Perlindungan Konsumen, dan peraturan perundangan lainnya. Selain itu, konsumen seyogyanya “mengaca diri” agar tidak mudah tergiur dengan kartu kredit. Citra elit jika di dompet terselip karu kredit, harus ditanggalkan. Ingat, kartu plastik yang bernama kartu kredit hanyalah “kartu hutang” belaka. Mengapa musti bangga dengan banyak hutang?

 

Tulus Abadi -Pengurus Harian YLKI