Jangan heran bila nyaris tak ada kebijakan publik yang nihil dari aspek politisasi di negeri ini. Bukan saja oleh Pemerintah, tetapi juga oleh wakil rakyat (baca: DPR). Mulai dari kebijakan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, dan terakhir tarif kereta api kelas ekonomi. Padahal, jika kebijakan beraspek politik tersebut terus dilanggengkan, bukan mustahil bila kemudian justru akan menelikung obyek kebijakan dan masyarakat sendiri.

 

Dalam kasus tarif kereta api, dengan kebijakan yang dipolitisasi maka Pemerintah sebetulnya sedang mendorong sektor perkeretaapian Indonesia menuju maut. Bahkan, sejatinya sudah terlalu lama Pemerintah tidak berpihak ada sektor perkeretaapian. Coba kita bandingkan. Pada zaman Belanda, panjang rel kereta api di Indonesia mencapai lebih dari 5.000 km. Tetapi sekarang panjang rel kereta api hanya tersisa 4.000-an km saja. Seharusnya, jika kebijakan transportasinya berpihak pada sektor perkeretaapian, maka panjang rel kereta api seharusnya bertambah, bukan malah menyusut. Jelas ini hal yang amat ironis. Di negara manapun, angkutan kereta api justru dikembangkan menjadi sarana transportasi masal, baik kereta antar kota maupun  kereta dalam kota.

 

Hal ini bukan saja merupakan kesengajaan, tetapi merupakan upaya sistematis untuk mematikan sektor perkeretaapian. Fenomenanya jelas, kebijakan yang digulirkan adalah membangun infrastruktur jalan, baik jalan tol maupun jalan non tol. Contoh yang paling nyata, misalnya tol Cipularang, yang kemudian mematikan kereta Parahyangan. Juga, kebijakan membangun jalan tol Trans Jawa, pada akhirnya merupakan instrumen ampuh untuk melumpuhkan sektor perkeretaapian. Dari sisi keberpihakan anggaran pun demikian. Misalnya, pada 2010, anggaran yang digelontorkan Pemerintah untuk sektor jalan raya mencapai Rp 16 triliun, sementara  sektor perkeretaapian hanya kecipratan Rp 3,7 triliun saja.

 

Ngemplang PSO


Pemerintah bisa saja tidak menaikkan tarif kereta kelas ekonomi, namun, Pemerintah musti konsisten dengan alokasi dana public service obligation (PSO) bagi sektor perkeretaapian. Tetapi, dari diskusi antara YLKI dengan pimpinan Serikat Pekerja PT KAI terkuak dengan gamblang, betapa Pemerintah sangat mencla-mencle dengan alokasi dana PSO-nya itu.

 

Pertama, besaran dana PSO yang diajukan managemen PT KAI tidak pernah dikabulkan secara utuh. Misalnya, pada 2011 managemen PT KAI mengajukan dana PSO sebesar Rp 775 miliar. Tetapi yang dikabulkan hanya Rp 639 miliar saja. Itu pun, sesuai “tradisi”, dana PSO sangat lambat pembayarannya. Dana PSO baru dibayarkan pada Agustus-September, sementara kereta kelas ekonomi menggelinding sejak Januari. Managemen PT KAI musti nomboki dulu untuk bisa mengoperasikan kereta api kelas ekonomi. Secara finansial hal ini jelas sangat mengganggu cash flow PT KAI.

 

Kedua, sejak 2002 hingga 2010, berdasar hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pemerintah justru menunggak dana PSO ke PT KAI, sebesar Rp 1,7 triliun! Pemerintah ingkar janji dalam membayar dana PSO-nya. Yang lebih memprihatinkan lagi, kalangan DPR pun minta “disawer” pula (minim 5 persen dari dana PSO).

 

Maintenance Infrastruktur


Secara normatif, infrastruktur perkeretaapian seperti rel, wesel, sinyal; adalah milik Pemerintah, baik pada konteks pengadaan dan atau perawatan. Namun, nyatanya Pemerintah hanya mampu pada pengadaan saja, sedangkan biaya perawatannya, pemerintah praktis tidak mengeluarkan anggaran sepeser pun. Akibatnya, biaya perawatan dipegang oleh managemen PT KAI sendiri. Memang, disini terjadi “barter” kebijakan. Di satu sisi, Pemerintah tidak mengeluarkan biaya perawatan infstruktur. Tetapi, di sisi lain, sebagai bentuk barter, maka managemen PT KAI tidak diwajibkan membayar suatu biaya yang bernama Track Acces Charge (TAC). Intinya, dengan instrumen TAC managemen PT KAI diwajibkan membayar atas jasa penggunaan infrastruktur milik pemerintah tersebut (seperti rel, wesel, sinyal, dan lain-lain); sesuai frekwensi perjalanan kereta. Pada tataran konseptual, pengenaan TAC pada sektor perkeretaapian menjadi kebijakan yang aneh, janggal.

Hal aneh lagi, terjadi pada kebijakan harga bahan bakar untuk perkeretaapian. Selama ini, PT KAI dalam membeli bahan bakar untuk mengangkut batu-bara, dikenakan harga industri, alias harga pasar  (plus kena PPn pula). Bandingkan dengan truk-truk yang mengangkut batu bara, yang masih menikmati bahan bakar bersubsidi. Padahal, truk-truk pengangkut batu bara menimbulkan dampak eksternalitas yang sangat serius: kerusakan jalan, kemacetan, dan polusi.

 

Jadi, baik pada tataran kebijakan makro dan atau implementasi kebijakan mikro, tampaknya memang ada upaya sistematis untuk melumpuhkan sektor perkeretaapian. Secara normatif, fenomena yang demikian sejatinya merupakan pelanggaran. Karena, sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 2008 tentang Perkeretaapian, seharusnya Pemerintah melakukan penyehatan sektor perkeretaapian di Indonesia. Namun, sudah tiga tahun pasca UU Perkeretaapian disahkan, yang terjadi malah sebaliknya: Pemerintah memporakporandakan sektor perkeretaapian itu sendiri. Demikian juga jika mengacu pada amanat UU tentang Perseroan Terbatas, seharusnya sektor perkeretaapian diberikan ruang untuk mengeduk keuntungan (profit seeking).

 

Pada akhirnya, jika Pemerintah cerdas dan mempunyai visi jauh ke depan, apalagi dengan bertumpu pada kebijakan energi makro dan sektor transportasi publik, maka seharusnya Pemerintah menjadikan sektor perkeretaapian sebagai moda transportasi utama. Sungguh ironis dan tidak masuk di akal, jika yang terjadi malah sebaliknya: sektor perkeretaapian dimatikan!

***

Tulus Abadi – ANGGOTA PENGURUS HARIAN YLKI DAN ANGGOTA DEWAN
TRANSPORTASI KOTA JAKARTA

(Tulisan dimuat di Koran Tempo)