Era kebebasaan pers makin memperkokoh taji bisnis periklanan. Intervensi iklan dalam ranah kehidupan begitu dominan. Iklan berhasil membius perilaku masyarakat yang semula berkonsumsi secara rasional menjadi emosional (baca: konsumtif). Iklan juga menampilkan sesuatu ketidakbenaran menjadi seolah-olah benar, dan memoles sesuatu kebenaran menjadi seolah-olah salah. Iklan mampu mendikte kebutuhan dan keinginan masyarakat konsumen, hingga menciptakan perilaku pandangan dan gaya hidup baru, bahkan ”agama baru”, yang senantiasa dipedomani oleh sebagian masyarakat konsumen. Berikut monitoring, betapa iklan telah mengharu-biru perilaku dan bahkan ’ideologi’ masyarakat konsumen.
Soal mencuci pakaian, misalnya. Semula, ibu-ibu rumah tangga cukup dengan sabun colek untuk membersihkan noda di pakaian. Tetapi, kini nasib sabun colek relatif sudah tamat. Kalaupun ada hanya beberapa gelintir saja yang setia menggunakan sabun colek. Muncul pertanyaan, mengapa peran sabun colek tergeser dan pandangan masyarakatpun berubah? Jawabnya Iklan.
Ya, iklan produk detergen inilah yang berhasil menggeser habis peran sabun colek. Iklan merek detergen bertebaran di semua media. Klaim yang ditawarkan sangat variatif, dari yang sekedar ”menghilangkan bermacam noda”, sampai memutihkan pakaian dengan keharuman yang semerbak. Padahal, sabun jenis detergen diduga tidak ramah lingkungan karena menggunakan bahan dasar konsentrat, yang sangat polutif untuk lingkungan.
Ternyata, dengan detergen saja belum dianggap afdol. Iklan masih memerintahkan agar direndam dahulu dengan pelembut dan pewangi, sebelum dijemur. Puluhan jenis pelembut dan pewangi juga digencarkan oleh iklan. Pasca dijemur, iklan juga memerintahkan agar si empunya menyemprotkan pelicin dan pelembut sebelum diseterika. Agar hasilnya halus mulus dan wangi sampai berminggu-minggu, demikian kata iklan. Merek pelicin dan pelembut jenis ini juga mulai ramai bertebaran di media.
Tidak cukup sampai disitu, iklan juga masih memerintahkan, ketika pakaian yang sudah diseterika itu hendak masuk dan disimpan di lemari, maka si empunya harus menyandingkannya dengan kapur barus (kamper). Katanya agar tidak diendus oleh ngengat, semut, kecoa maupun serangga lain. Alhasil, berbagai merek kapur pembunuh serangga juga ditebar oleh iklan.
Sudah selesaikah ”birokrasi” berpakaian?. Ternyata belum, sebab ketika pakaian tersebut hendak digunakan, iklan masih mewartakan untuk disemprot dengan parfum. Puluhan merek parfum menebar pesona. Parfum pun masih belum dianggap cukup untuk berpenampilan pede, kalau (maaf) ketiaknya masih bau dan berambut pula. Lagi-lagi iklan masih merekomendasikan agar si pemakai pakaian mengolesi ketiak dengan deodoran, dan lotion untuk pemberih ketiak. Iklan jenis ini juga banyak berjumpalitan.
Jadi menurut iklan, agar pakaian tersebut layak dipakai, maka setidaknya harus melewati 6 (enam) tahapan birokrasi. Ini semua terjadi karena iklan, tidak ada yang lain. Tanpa brain wash oleh iklan, si pemilik pakaian tidak akan pernah tahu, dan tidak akan pernah peduli, bahwa setelah mencuci harus direndam dahulu dengan pelembut dan pewangi, dan disemprot pelicin ketika hendak diseterika, dan seterusnya. Iklan telah mengubah birokrasi tata cara berpakaian secara radikal.
Remeh-temeh
Relevan dengan pertumbuhan ekonomi dan bisnis, kehadiran iklan terasa tidak terelakkan. Betapapun kecilnya, iklan seharusnya menebar manfaat bagi masyarakat konsumen. Sebagai sebuah instrumen marketing, idealnya iklan menjadi sumber informasi pertama bagi masyarakat konsumen saat menggunakan barang/ jasa.
Tetapi sialnya, iklan kini membuat sebagian (besar) masyarakat konsumen ”tidak berdaya”, untuk memutuskan apakah dirinya membutuhkan barang tersebut, atau malah sebaliknya. Fungsi utama iklan yang seharusnya memberdayakan menjadi sirna. Akibat gempuran iklan, secara perlahan tetapi pasti, telah menjadi ’ideologi’ masyarakat konsumen berubah, sekalipun hanya untuk urusan domestik, layaknya mencuci pakaian dan membuat area ketiak wangi. Iklan pula yang turut berandil menyebabkan sebagian anak dan remaja menghisap rokok, dengan pencitraan gagah, macho, jantan dan galmour.
Sayangnya, hal seperti ini masih dianggap remeh temeh. Tangan-tangan kuasa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nampaknya belum mampu menjangkaunya, sekalipun telah dipayungi oleh Undang-undang tentang penyiaran dan Undang-undang perlindungan Konsumen.
Tulus Abadi – Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
0 Comments on "“Birokrasi” dalam berpakaian"