Dalam suatu diskusi internal, seorang pejabat eselon satu di Kementrian Perhubungan mengungkapkan pendapatnya pada penulis. Kunci dari pendapat tersebut bahwa suatu negara yang menggelontorkan subsidi kepada rakyatnya melalui bahan bakar minyak, adalah kebijakan yang bodoh. Rasanya, dari aspek apapun, pernyataan itu mendekati titik kebenaran yang sempurna.
Adalah suatu kebodohan yang hakiki ketika rezim negeri ini secara terus-menerus mempertahankan tingginya subsidi bahan bakar minyak (BBM), di tengah harga minyak mentah yang nyaris tanpa kendali. Betapa tidak, harga minyak mentah Indonesia sudah menyundul 123 dolar Amerika Serikat, per barel. Akibatnya, harga pertamaks yang semula hanya pada kisaran Rp 8.700 per liter, kini membubung tinggi hingga Rp 9.050 per liter.
Argumen apalagi yang diinginkan pemerintah untuk menepis hal tersebut, peruntukkan dan ketepatan? Begitu terang benderang, bahwa penikmat subsidi BBM mayoritas adalah kelas menengah kota, alias orang berpunya. Kebijakan energi makro? Ah, ini juga lebih konyol. Mempertahankan subsidi bahan bakar minyak jelas tidak sejalan dengan kebijakan makro di bidang energi. Pasalnya, nyaris 100 persen bahan bakar yang kita gunakan adalah bahan bakar yang basisnya fosil, alias tidak terbarukan (non renewable energy). Kebijakan sektor transportasi? Itu apalagi, subsidi bahan bakar hanyalah red carpet bagi pemilik kendaraan pribadi.
Di Jakarta, pertumbuhan kendaraan pribadi per tahun mencapai 12,5 persen. Sebagai contoh, pada 2010 terdapat 1,5 juta sepeda motor baru yang dimiliki warga Jakarta. Jadi, begitu gamblang subsidi bahan bakar hanya menghasilkan kemacetan, plus polusi. Ini terjadi, karena 60 persen pasokan premium sebesar 53 persen dinikmati pengguna kendaraan bermotor roda empat, dan 40 persen dinikmati oleh pengguna sepeda motor.
Akibatnya, pemerintah menjadi malas mengembangkan sarana transportasi publik masal, di semua kota besar di Indonesia. Selebihnya, Pemerintah juga selalu mangkir untuk mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan, yang sejatinya amat melimpah ruah potensinya. Minyak jarak yang dulu digembor-gemborkan itu, dimana rimbanya? Terbukti “omdo”, alias omong doang kan? Energi panas bumi juga terbengkalai begitu rupa. Padahal, negeri khatulistiwa ini menyimpan 40 persen dari cadangan pasokan panas bumi dunia. Kurang apalagi?
Lalu, apa dan mengapa Pemerintah seperti membisu dan membatu terkait dengan kebijakan subsidi BBM ini? Setidaknya terdapat lima ironisme mengapa pemerintah terus melanggengkan subsidi bahan bakar minyak.
Pertama, masyarakat rentan/miskin. Pemerintah tidak mempunyai konsep kebijakan yang jelas dan terukur untuk melindungi masyarakat rentan yang terkena dampak atas kenaikan harga bahan bakar minyak. Paling banter pemerintah hanya berperilaku bak sinterklas saja, membagi-bagikan dana bantuan langsung tunai (BLT), yang terbukti tidak efektif. Bahkan, menurut hasil survei, lebih dari 40 persen dana BLT digunakan untuk membeli rokok.
Kedua, desakan masyarakat kelas menengah. Pemerintah tak punya nyali untuk berhadapan dengan kelas menengah kota. Kelompok inilah yang sesungguhnya menikmati subsidi bahan bakar minyak. Sayangnya, kelas menengah kota ini berwatak cengeng, bahkan tak punya rasa malu; karena masih gemar menyusu subsidi yang bukan haknya. Mereka “sok borju”, tapi realitanya mereka bermental peminta-minta. Sialnya, Pemerintah kerap ciut nyalinya saat berhadapan dengan kelas menengah, karena kelompok inilah yang banyak mendominasi opini publik. Sementara Pemerintah begitu gagah berani saat berhadapan dengan masyarakat miskin. Misalnya, saat Pemerintah mencabut subsidi untuk minyak tanah. Sekalipun puluhan, bahkan ratusan, nyawa masyarakat miskin harus meregang nyawa, Pemerintah tetap bergeming.
Ketiga, Kebijakan sebagai komoditas politis. Ini yang paling dominan, kebijakan subsidi BBM terbukti hanya sebagai komoditas politik belaka. Pemerintah, politisi, dan juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin tampil populis di depan konstituennya. Ingin tampil seolah sebagai pembela kepentingan wong cilik.
Secara konkrit, subsidi BBM praktis hanya dijadikan komoditas politik untuk kepentingan jangka pendek, yaitu Pemilu 2014. Pemerintah pun tidak mau repot dengan hantaman kritik dari partai politik oposisi yang pasti akan menolak kebijakan ini. Sekalipun partai politik oposisi yang menolak pengurangan/pencabutan subsidi BBM, terbukti hanya waton suloyo, alias asal menolak.
Keempat, fenomena mobil plat merah. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini menyebar spanduk di berbagai SPBU (Stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum), bertajuk: “Bahan bakar bersubsidi hanya untuk golongan yang tidak mampu”. Himbauan ini sangat lucu, lebih lucu dari lawakan Srimulat. Seharusnya Pemerintah bisa melakukan kebijakan yang lebih konkrit dan memaksa, mengapa hanya menggunakan jurus himbauan? Lantas, apa bedanya Pemerintah dengan lembaga sosial?
Lagipula, seharusnya unsur Pemerintah memberikan contoh terlebih dahulu kepada masyarakat. Misalnya, wajibkan semua mobil berplat merah menggunakan pertamaks. Bahkan kalau perlu, menggunakan BBG. Contoh semacam ini menjadi sangat penting, ditengah karakter masyarakat Indonesia yang amat paternalistik.
Kelima, laju inflasi. Selain itu, sangat boleh jadi Pemerintah tidak akan mampu mengendalikan kenaikan laju inflasi yang ditimbulkan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Tanpa adanya kenaikan harga bahan bakar minyak pun, Pemerintah terbukti terseok-seok menahan laju inflasi.
Kesimpulan
Jika rezim ini ingin menjalankan kebijakan yang berkesinambungan, bahkan berkeadilan untuk semua; rasanya tidak cukup alasan untuk terus melanggengkan tingginya subsidi BBM. Dengan kata lain, semakin menjadi tidak berkeadilan jika Pemerintah terus menggelontorkan subsidi BBM, yang nyaris tanpa kendali. Subsidi BBM hanya layak diberikan kepada kelompok masyarakat yang berstatus “miskin energi”. Kelompok masyarakat inilah yang layak menyusu negara via subsidi BBM, bukan kelas menengah perkotaan yang ongkang-ongkang dengan mobil mewahnya. ***
Tulus Abadi- Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
0 Comments on "Blunder Kebijakan Bahan Bakar Minyak"