Kendati telah dipimpin oleh seorang gubernur yang mengaku “ahlinya”, toh kota Jakarta hingga kini belum beranjak dari berbagai permasalahan yang melilitnya. Bahkan, di beberapa sektor vital tampaknya justru terjadi kemerosotan signifikan. Selain belum terbebas dari ancaman banjir bandang, kemacetan lalu-lintas yang makin menganga; juga potret layanan bus Trans Jakarta, yang kian kedodoran. Betapapun, dengan segala plus minusnya, bus Trans Jakarta merupakan icon kota megapolitan ini. Namun, di tengah ketidakberdayaannya melayani warga kota, Gubernur Jakarta menyeruak dengan wacana baru: menaikkan tarif Trans Jakarta! Jika pendekatannya teknis finansial ansich, sah-sah saja Gubernur Jakarta mengusung wacana itu. Faktanya Trans Jakarta masih digelontor subsidi sekitar Rp 130 milyar per tahun.
Terlepas dari faktor teknis finansial, niat Gubernur Jakarta harus dipertanyakan. Pertama, untuk tujuan apakah menaikkan tarif; mengurangi subsidikah atau meningkatkan pelayanan? Kedua, sudahkah Gubernur melakukan review total terhadap kinerja Trans Jakarta? Oleh karena itu, sebelum Gubernur Foke berwacana menaikkan tarif, evaluasi terhadap kinerja Trans Jakarta tak bisa dihindarkan. Bukan saja dari “sisi hilir” (aspek pelayanan) tetapi juga “sisi hulu”, meliputi aspek kelembagaan, proses bisnis, dan transparansi pengelolaan keuangan.
Kelembagaan dan Proses Bisnis
Kini, Trans Jakarta bukan lagi entitas ekonomi yang ecek-ecek. Terbukti, pendapatannya tidak kurang dari Rp 1 milyar, dengan jumlah total penumpang per hari mencapai 250.000-270.000. Adakah perusahaan (daerah) yang pendapatannya sebesar itu? Sayangnya, dengan pendapatan sebesar itu, kelembagaan Trans Jakarta hanya “dicangkokkan” pada Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, dengan status Unit Pelayanan Teknis (UPT). Posisi demikian jelas berimplikasi serius bagi managerial Trans Jakarta. Managemen Trans Jakarta berjalan amat lamban, karena harus mengikuti irama dan sopan santun birokrasi yang kaku, njelimet, lamban, dan nuansa kolutif-koruptifnya pun sangat kentara.
Relevan dengan status kelembagaan, pada akhirnya berpengaruh terhadap proses bisnis di internal managemennya tidak independen (otonom). Contoh, manakala ruas jalan yang dilewati bus Trans Jakarta mengalami kerusakan, maka managemen Trans Jakarta tidak bisa memperbaikinya. Mengapa? Karena kerusakan jalan menjadi kompetensi Dinas Pekerjaan Umum (PU). Managemen Trans Jakarta musti mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas PU terlebih dahulu untuk perbaikan jalan dimaksud. Demikian juga untuk urusan halte, jembatan penyeberangan dan traffic management, managemen Trans Jakarta masih bergantung pada institusi lain. Seandainya managemen Trans Jakarta merupakan institusi yang mandiri (otonom), maka hal semacam itu tidak akan terjadi.
Transparansi Keuangan
Di tengah runyamnya persoalan kelembagaan dan proses bisnis, pengelolaan keuangan dan budgeting managemen Trans Jakarta juga tidak transparan (uncontrollable). Baik pada pendapatan yang diperolehnya (diduga lebih dari Rp 1 milyar per hari) maupun dalam hal biaya operasionalnya. Tak ada satu orang pun yang mengerti berapa pendapatan riil Trans Jakarta saat ini. Hal itu terjadi karena tiketing tidak menggunakan online system. Jangan heran, jika proses pengumpulan uang dari loket ke loket menggunakan “tas kresek”. Tidak ada yang bisa mengontrol, berapa gepokkah petugas loket menjual tiket, dan berapa rupiah uang yang diperoleh dari menjual tiket tersebut. Padahal, dengan pendapatan Rp 1 milyar per hari, pihak perbankan akan berebut menanganinya, tentu dengan sistem yang controllable (online system). Tampaknya kondisi ini terus dipelihara, karena ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan. Diduga, ada semacam “raja-raja kecil” yang menguasai pos-pos tertentu yang amat basah dari sisi finansial. Kelompok inilah yang mempunyai peran amat menentukan agar pengelolaan keuangan Trans Jakarta tidak transparan.
Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Ini juga aneh bin ajaib. Sejak Trans Jakarta beroperasi (2005) hingga sekarang, belum secuil SPM bisa diwujudkan. Padahal, jika Trans Jakarta ingin menjadi moda transportasi kota yang modern, keberadaan SPM menjadi keharusan. Tidak aneh, kalau saat ini jadwal kedatangan bus menjadi tidak menentu, waktu tempuhnya molor, dan kenyamanan dalam kabin yang menurun. Rute Ragunan-Kuningan yang semula bisa ditempuh hanya dengan 30 menit, kini ngaret menjadi 60-90 menit. Padahal, hasil survei YLKI menunjukkan; selain faktor kenyamanan, keamanan dan keselamatan; alasan utama konsumen memilih Trans Jakarta adalah faktor kecepatan waktu tempuh. Konon draf SPM masih mangkrak di Biro Hukum Pemerintah Jakarta, dan entah kapan dikukuhkan via Peraturan Gubernur (Pergub). Padahal, secara normatif, berbasis UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, keberadaan SPM menjadi wajib hukumnya bagi institusi yang mengelola pelayanan publik, termasuk Trans Jakarta.
Kesimpulan
“Managemen warung” ala Trans Jakarta yang dicangkokkan pada “ketiak” Dishub harus segera diakhiri. Struktur dan kelembagaan managemen Trans Jakarta musti mengalami perubahan yang radikal. Berdasar hasil kajian Institute for Transportation and Development Program (ITDP) Indonesia, kelembagaan yang paling ideal dimaksud adalah BUMD. Hanya dengan format itulah, managemenTrans Jakarta bisa tampil lebih independen, otonom, lincah, dan cepat; tanpa harus dikungkung oleh kultur birokrasi yang lamban dan bertele-tele. Kelembagaan baru juga akan mendorong terwujudnya pengelolaan keuangan yang lebih transparan, terkontrol secara real time. Implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) juga menjadi prasyarat yang tak boleh dipinggirkan, sebagaimana disyaratkan oleh UU Pelayanan Publik. Tanpa mengakomodir prasyarat semacam itu, maka haram hukumnya bagi Gubernur Jakarta untuk menaikkan tarif Trans Jakarta. Dan, jangan mimpi Trans Jakarta akan menjelma menjadi sebuah moda transportasi publik yang modern, berjangka panjang, ramah lingkungan, dan manusiawi. ***
Tulus Abadi – Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
0 Comments on "Menguliti Kinerja Bus Trans Jakarta"