Bencana lalu lintas, agaknya menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakkan lagi di sepanjang jalan Jakarta. Bencana tersebut bernama gridlock, sebuah kondisi kemacetan yang nyaris tak bisa diurai lagi, dengan cara apapun. Banyak ahli transportasi, dan juga ahli tata ruang berpendapat, fenomena itu terjadi karena beberapa hal, pertama, buruknya tata ruang di Jakarta. Tanda-tanda dari hal ini adalah dengan minimnya ruang publik dan ruang terbuka hijau. Pada konteks inilah Jakarta menjadi kota tidak manusiawi bagi warga kotanya (human city). Tidak salah jika Jakarta sejatinya lebih dominan  mengedepankan “tata uang” daripada tata ruang.

 

Kedua, buruknya sarana transportasi publik. Sampai detik ini, praktis Jakarta tidak mempunyai sarana transportasi publik (masal) memadai, selain Transjakarta. Sayangnya, Transjakarta yang telah beroperasi hingga 10 koridor, dan konon merupakan terpanjang di dunia, agaknya performa Transjakarta acapkali kedodoran. Dan ketiga, pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi  yang nyaris tanpa kendali. Saat ini tak kurang dari 6,3 juta unit kendaraan bermotor pribadi dimiliki warga Jakarta, dan pertumbuhannya per tahun mencapai 11 persen. Setali tiga uang, lonjakan sepeda motor begitu mencengangkan. Pada 2010 terjadi peningkatan kepemilikan sepeda motor baru sebanyak 1,5 juta unit.

 

Dengan konfigurasi permasalahan yang terang benderang ini, salah satu kebijakan radikal yang harus dilakukan adalah pengendalian penggunaan kendaraan pribadi (traffic management). Pada konteks inilah, wacana Pemerintah Jakarta untuk menerapkan electronic road pricing (ERP), patut didukung. ERP merupakan retribusi pengendalian lalu lintas yang dikenakan kepada setiap kendaraan bermotor yang melewati suatu ruas jalan tertentu di kawasan tertentu pada waktu tertentu yang pembayarannya dilakukan secara elektronik.

 

Untuk meneropong pelaksanaan ERP dimaksud, penulis bersama beberapa pihak yang concern dengan isu transportasi telah melakukan “studi banding” (20-27 Maret 2011) di tiga kota di dunia, yaitu :  Stockholm, London, dan Singapura. Berikut ini saripatinya.

 

Reduksi kemacetan dan polusi

 

Imbas pertama dari diterapkannya ERP adalah reduksi kemacetan. Di Stockholm, pasca di terapkan ERP, terjadi penurunan kemacetan yang signifikan. kemacetan di kota dingin ini turun hingga 45 persen. Ini terjadi, karena pengguna kendaraan pribadi mengatur ulang jadwal perjalanan, mengalihkan perjalanan, atau bahkan membatalkan perjalanan/tujuan. Atau memarkir kendaraan pribadinya di area park and ride, dan kemudian berpindah ke angkutan umum.

 

Kedua, reduksi polusi. Kontributor utama polusi di perkotaan adalah kendaraan pribadi, bukan kendaraan umum. Kita lihat perbandingannya. Di Jakarta, jumlah kendaraan pribadi mencapai 98 persen (6,3 juta unit) sedangkan kendaraan umum hanya 2 persennya. Ironisnya, 98 persen kendaraan pribadi tersebut hanya mampu mengangkut 48 persen jumlah total mobilitas warga Jakarta. Sementara angkutan umum justru mengangkut 52 persen jumlah total mobilitas warga Jakarta. Saat ERP diterapkan, masyarakat akan beralih menggunakan sarana angkutan umum dan meninggalkan kendaraan pribadi. Di Stockholm, pasca penerapan ERP, tingkat pencemaran turun hingga 15 persen, khususnya untuk produksi gas karbon (CO2).

 

Ketiga, selain mereduksi kemacetan dan mereduksi polusi, ERP juga instrumen efektif untuk menggali pendapatan. Di Inggris, pendapatan yang diporoleh dari dana ERP mencapai 800 ribu pounds (Rp 12 miliar), per hari. Namun, dana ERP harus didedikasikan sepenuhnya untuk perbaikan dan pembangunan sarana prasarana transportasi publik. Di ketiga kota tersebut, perolehan dana ERP 100 persen dialokasikan untuk sektor transportasi. Jadi, tidak ada alasan bagi pemerintah Jakarta tidak mampu membangun sarana transportasi publik, dengan alasan tidak ada anggaran atau anggarannya belum cair.

 

Namun, penerapan ERP juga tidak boleh gegabah, tetapi harus memenuhi prasyarat pokok. Pertama, harus mempunyai landasan hukum yang kuat, baik dari sisi regulasi di bidang transportasi, maupun regulasi di bidang perpajakan.

 

Beruntung, saat ini Undang-Undang No 22. Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, memberikan legitimasi yuridis yang kuat untuk penerapan ERP. Pasal 133 menyebutkan bahwa pembatasan lalu-lintas dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas yang diperuntukkan untuk meningkatkan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Kedua, pemerintah harus menyediakan sarana transportasi publik yang andal, khususnya pada  jalur yang dikenakan ERP. Bahkan, sarana transportasi publik itu harus terintegrasi dengan baik. Misalnya, ERP diterapkan pada koridor 1 Transjakarta (jurusan Blok M-Kota), yang konon merupakan koridor terbaik. Ketiga, harus ada proses komunikasi publik yang memadai dan berkesinambungan, agar pengguna kendaraan pribadi menerima kebijakan ERP. Pemerintah kota Stockholm mengalokasikan 3 juta kronos (Rp 4,5 miliar) hanya untuk proses konsultasi publik, sebelum ERP diterapkan.

***

Dari sisi perlindungan dan akseptabilitas tarif, penulis merekomendasikan agar Pemerintah Jakarta bisa mengadopsi model ERP di Stockholm dan atau Singapura. Dari sisi pentarifan, di Stockholm dan Singapura lebih terjangkau yaitu antara Rp 10.000-Rp 20.000 per sekali lewat. Tarif ini setara atau bahkan lebih rendah  jika dibandingkan dengan “tarif” joki three in one, yang mencapai Rp 15.000.

 

Sedangkan di London, tarifnya sangat tinggi – walaupun berlaku untuk sehari penuh, yaitu 10 pounds (sekitar Rp 120.0000).  Selain itu, khususnya di Stockholm, pengguna bisa memilih jam perjalanan, karena masing-masing jam tarifnya berbeda. Untuk sesi peak hour, tarifnya 20 kronos (Rp 25.000). Sedangkan pada non peak hour, tarifnya hanya 10 kronos atau Rp 15.000.

 

Terakhir, tak ada tawar menawar lagi untuk menyelamatkan fenomena kelumpuhan lalu-lintas di Jakarta. Kerugian sosial ekonomi akibat kemacetan lalu-lintas di Jakarta, yang mencapai Rp 27 triliun per tahun (USAID, 2008), tak perlu dikembangbiakkan lagi. Perbaikan dan penyediaan sarana transportasi publik masal, dan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi – salah satunya dengan ERP, menjadi dua hal yang sangat mendesak, dan tak layak ditolak oleh siapa pun.

 

 

Tulus Abadi – Pengurus Harian YLKI