Sekali tempo sempatkan diri Anda untuk menyimak iklan di televisi. Amati berapa kali Anda menemukan klaim produk yang ”mencampurkan” unsur alam – baik aroma maupun bahan-bahan yang digunakan. Berapa pula iklan dengan klaim ramah lingkungan dan tidak berbahaya bagi manusia.

 

Ya, seiring munculnya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) secara ekstrim, fenomena pemakaian produk hijau (green product) kian marak dikampanyekan. Di era perdagangan bebas, isu tersebut lantas dikaitkan dengan tuntutan bisnis. Tanpa menggunakan ”embel-embel” produk hijau, jangan harap produk akan diterima pasar internasional.

 

Tuntutan produk hijau semacam ini sejatinya telah mulai diterapkan dikawasan Eropa dan Amerika. Sementara di Asia, khususnya Indonesia, mulai bermunculan produk dengan klaim ramah lingkungan. Dari produk dengan menggunakan bahan tumbuhan, tanpa unsur kimia berbahaya, produk recycle, reuse dan refill.

 

Namun patut dicermati, apakah produk-produk dimaksud benar-benar produk hijau? Atau hanya sekedar klaim dalam iklan/label yang tidak jelas kebenarannya? Pertanyaan lain bagaimana etika pemasaran produk hijau internasional?

 

Di belahan benua Eropa, seperti Perancis dan Belanda, telah dikembangkan kode etik pariwara berwawasan lingkungan. Demikian juga di Amerika Serikat. Pada prinsipnya, kode etik pariwara tersebut ditujukan untuk mencegah praktik curang dan tidak etis dalam pemasaran, dengan memanfaatkan isu lingkungan.

 

Tahun 2009, Consumers Internasional bahkan menganugerahi beberapa perusahaan multi nasional yang dalam iklannya mengangkat isu ramah lingkungan hanya demi menutupi penggerusan lingkungan dan sumber daya alam yang jauh lebih dahsyat. Penghargaan dengan nama Bad Company Awards 2009 Greenwash Special ini, menempatkan Audi, British Petroleum, Easy Jet, Microsoft dan CO2 is Green sebagai perusahaan yang melakukan kesalahan edukasi kepada konsumen tentang gaya hidup hijau melalui iklannya.

 

Etika periklanan di dunia internasional memang telah memuat tentang produk hijau dan memungkinkan memberi sanksi kepada pelaku usaha yang melanggar. Sedangkan di Indonesia tatakrama periklanan belum sampai menyentuh persoalan produk hijau. Di layar kaca acap dijumpai iklan produk yang mengklaim berbahan dasar alami dan merupakan produk hijau. Klaim yang lazim digunakan antara lain;

 

  1. Ramah Lingkungan. Umumnya diketemukan pada produk semprot (spray) semacam penyegar ruangan maupun obat anti nyamuk. Iklan produk tersebut mengklaim ramah lingkungan dan aman bagi manusia. Benarkah? Ini jelas menyesatkan. Dalam iklan – juga label kemasan – tidak menjelaskan komposisi atau zat apa yang terkandung didalamnya sebagai kriteria ramah lingkungan dan aman bagi manusia.
  2. Recycle. Biasa terdapat pada produk dengan kemasan plastik maupun kaleng. Namun klaim ini perlu dipertanyakan. Sejauhmana konsumen dapat turut berpartisipasi me-recycle. Misalnya seperti anjuran untuk me-recycle kaleng bekas minuman atau botol/gelas plastik maupun tas. Bukankah selama ini produsennya tidak menyediakan lokasi pengolahan kemasan bekas untuk didaur ulang?
  3. Non CFC. Banyak dijumpai pada iklan jenis kulkas atau pendingin ruangan (AC). Produk jenis ini mengklaim dirinya sebagai ozone save atau ozone friendly. Jelas ini dapat membelokkan pemahaman konsumen, seolah produk dimaksud aman bagi lapisan ozon atau atmosfir bumi. Bagaimana kenyataanya? Belum tentu benar. Mungkin saja sebagai pengganti CFC merupakan zat kimia lain yang termasuk kelompok bahan-bahan penyebab menipisnya lapisan bumi. Bisa juga ternyata berupa gas yang dapat menyebabkan kabut asap pada atmosfer bumi. Bila konsumen telah terlanjur percaya bahwa produk tersebut benar-benar bebas CFC, maka produsen wajib menyantumkan bahan pengganti yang terbukti memang ramah lingkungan.
  4. Isu Kesehatan. Trik dagang dengan mengusung isu kesehatan merupakan modus baru. Biasanya dalam sebuah produk mengklaim dirinya tidak mengandung racun berbahaya. Misalnya dengan menyantumkan tulisan no toxic/toxic free, aman bagi kesehatan, tidak berbahaya dan sebagainya. Klaim seperti ini banyak ditemukan pada produk peralatan kantor (ATK), mainan anak, perekat dan sebagainya. Zat-zat kimia berbahaya yang terkandung didalamnya diganti dengan alternatif lain yang lebih aman. Tetapi, berapa kadar zat yang dianggap tidak berbahaya tersebut dikandung? Dan tetap amankah bila digunakan secara terus menerus? Hal semacam ini yang tidak terinformasi sampai ke konsumen.

 

Tanpa Regulasi

 

Dalam tataran perlindungan konsumen, bagaimana menilai bahwa suatu produk dinyatakan ramah lingkungan? Bagaimana pula konsumen membuktikan klaim label tidak mengelabui?. Ini menjadi persoalan serius. Di Indonesia belum ada etika pariwara dan pelabelan yang secara rinci menjelaskan. Sejauh ini etika periklanan hanya membuat rambu-rambu dengan memberikan informasi jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Belum ada hukum positif (berbentuk UU) yang mengatur iklan. Peraturan periklanan masih ”ndompleng” Undang-Undang lain seperti UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

 

Dengan begitu teknik pemasaran yang mengaitkan isu lingkungan tidak memiliki dampak positif kepada sumber daya alam kecuali strategi bisnis semata, bila tidak dibarengi dengan sikap dan falsafah usaha green product. Dengan kata lain, isu ramah lingkungan hanya sekedar kegiatan lips service untuk mengambil hati konsumen dan mengubah persepsi masyarakat terhadap perusahaan. Dampaknya, konsumen malah mendapatkan edukasi yang salah tentang gaya hidup hijau.

 

Sejatinya, konsumen tidak perlu tergiur dengan klaim iklan atau label diatas, jika produk tersebut tidak menjelaskan apa zat penggantinya. Masih banyak cara untuk menjadi seorang konsumen hijau. Berperilaku hemat, tidak menghamburkan sumberdaya alam yang ada, memilih menggunakan energi terbarukan merupakan ujud nyata perilaku hidup ramah lingkungan.

Agus Sujatno- Staff YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)