Pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim secara ekstrim terlanjur dituduh sebagai biang kerok krisis pangan. Iklim dan cuaca yang sudah tidak mampu lagi diprediksi keberadaannya menjadikan sebagian besar lahan pertanian produktif tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Banjir, kekeringan, tanah longsor, sapuan angin topan, gempa dan tsunami telah menghadirkan kegagalan panen. Secara global, laporan dari Intergovermental Panel on Climate Change (IPPC) juga menyebutkan, perubahan suhu rata-rata yang terjadi belakangan ini berdampak pada menurunnya produksi pangan.

Global warming merupakan proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan bumi. Naiknya suhu terjadi akibat efek rumah kaca yang merupakan proses pemantulan energi panas ke atmosfir dalam bentuk sinar-sinar infra merah. Penyerapan sinar inframerah oleh rumah kaca menyebabkan kenaikkan suhu. Akibat selanjutnya, menyebabkan terjadinya perubahan iklim dalam kurun waktu tertentu.

Proses terjadinya pemanasan global, sejatinya mulai terjadi di zaman revolusi industri pada akhir abad ke-18. Diketemukannya alat-alat pertanian bermesin sebagai pengganti tenaga binatang diduga sebagai awal dari perubahan iklim. Penggunaaan traktor berbahan bakar fosil sebagai pengganti sapi atau kerbau untuk membajak sawah, misalnya. Di satu sisi dapat mendatangkan efisiensi dan efektifitas, namun gas buang yang berupa karbondioksida berefek pada lingkungan.

Dalam perkembangannya, gas buang pemicu pemanasan global terbanyak dihasilkan oleh industri (termasuk industri pertaian) disusul gas buang yang dihasilkan dari polusi asap kendaraan bermotor. Deforestasi (penggundulan hutan) secara masif, turut menyumbang percepatan pemanasan global dengan menghambat proses penyerapan CO2 oleh tumbuhan.

Akibat dari pemansan global tentu saja juga berdampak bagi kelangsungan hidup manusia di bumi. Perubahan iklim secara ekstrim, perubahan suhu yang mencolok, terjadinya banjir, dan bencana lain yang disinyalir efek dari pemanasan global, telah merenggut nyawa manusia yang tidak sedikit jumlahnya. Bahkan di daerah/negara yang sebelumnya merupakan zona hijau (aman) dari bencana alam, tak urung terimbas oleh perubahan iklim.

Invasi Industri

Tergerusnya lahan petanian, bukan saja ulah banjir maupun tanah longsor, namun juga oleh ulah serakah manusia dalam mengalihfungsikan lahan. Ini menjadi mata rantai efek pemanasan global serta pemicu cuaca ekstrim tanpa ujung. Mudahnya mendapat ijin pengalihfungsian lahan pertanian menjadi area industri, bisnis dan perumahan sangat berkontribusi terjadinya krisis pangan dan pemanasan global. Lahan-lahan produktif sebagai daerah penyangga pangan, secara salah telah dialihkelolakan kepada perusahaan besar.

Gencarnya industri menggusur lahan produktif juga secara nyata menghadirkan bencana ekologi di berbagai wilayah. Datangnya banjir maupun kekeringan tidak hanya disebabkan akibat pemanasan global, namun juga disebabkan oleh hilangnya tatanan ekosistem disebuah wilayah akibat dari pembabatan hutan, penutupan rawa, pemangkasan pegunungan hanya demi kepentingan industri semata.

Berdalih kepentingan komersial dan konsekwensi dari perkembangan dinamika sosial ekonomi, dengan pertumbuhan penduduk yang membutuhkan sarana perumahan sekaligus dibutuhkannya lahan. Namun keterbatasan lahan non produktif berpotensi menggeser dan memanfaakan lahan pertanian subur. Undang-Undang Tata Ruang sebagai pijakan aturan di Indonesia agaknya belum efektif mencegah dan mengendalikan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Kecenderungan alih fungsi lahan, tak terkecuali pembabatan hutan yang dijadikan perkebunan kelapa sawit, terus mengalami peningkatan di hampir seluruh wilayah. Bahkan dalam dua tahun terakhir, menurut Ketua umum DPP Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, yang dikutip dari beritabali.com, Indonesia telah kehilangan sekitar 100.000 hektar lahan produktif.

Degradasi lahan pertanian akibat perubahan iklim telah dimulai. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi kelangsungan sistem pertanian, dan tantangan bagi upaya konservasinya. Pertanyaannya adalah siapkah pihak-pihak yang bertanggug-jawab untuk menghadapi tantangan yang terus membesar tersebut? Memadaikah kemauan dan kemampuan bangsa ini untuk mengelola konservasi lahan pertanian di seluruh Indonesia?

Noor Jehan – Staff YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)